Follow

Sabtu, 24 Februari 2018

Merinding - Karya Doni Kataniama


Cerpen ini pernah dikirim di fp Story Club dengan judul
"Antara Ada Dan  Tiada"
gambar hanya ilustrasi diambil dari tempo.co


Aku tak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini.
Yang jelas saat ini aku merasa sangat ketakutan.
Udara dingin berhembus seakan menusuk tulang sum-sumku. Suara binatang malam semakin membuat suasana menyeramkan.

Rere, iya Rere lah yang mengajak aku ke tempat aneh ini, tempat yang sama sekali sangat tidak menarik bagiku.
Tapi Rere bersikukuh mengajakku ke tempat yang tidak jelas ini, entah apa yang ingin dicarinya.

Senter yang dipegang Rere tak cukup cerah untuk menerangi jalan setapak yang licin karena baru saja diguyur hujan.

"Re, pulang aja yuk!" Aku merengek sambil sesekali memperhatikan daun-daun yang menari tertiup angin.

"Bentar lagi nyampe, Kak." Jawab Rere penuh semangat.

"Sebenernya kita mau kemana, sih?"

"Udah ikut aja, ntar juga tau kok."

Aku terpaksa mengikuti Rere, bukan karena aku tak berani pulang sendirian tapi aku tak mungkin meninggalkan adik perempuanku itu di tengah hutan sepi dan gelap seperti ini.

"Nah itu dia tempatnya." Rere mengarahkan senternya ke sebuah batu.

Aku terkejut, badanku gemetar dan bulu kudukku pun merinding.

"Re, itu kan batu nisan, ngapain sih kita ke sini?"
Rere hanya tersenyum, dia perlahan mendekati batu nisan itu, sama sekali tak terlihat ada rasa takut pada dirinya.

'Anak ini sudah gila.' Gumamku.

Rere duduk tepat di samping batu nisan itu, matanya memandang takjub, entah apa yang ada di pikirannya.
Rere memang punya hobi yang aneh. Dia suka sekali hal-hal yang berbau mistis, seperti film horror dan cerita hantu, rasa penasarannya yang tinggi membuatnya mempunyai koleksi lebih dari ratusan buku berbau misteri.

Semua itu masih wajar menurutku, tapi kali ini sudah keterlaluan. Bayangkan, aku saja yang seorang laki-laki dan empat tahun lebih tua dari Rere merasa sangat ketakutan, sementara dia justru menikmati pemandangan menyeramkan ini.

"Apa menariknya batu nisan itu?" Tanyaku yang mulai merasakan firasat-firasat yang tidak enak.

"Ini makam kuno, Kak, lihat aja tahunnya, sudah hampir dua abad." Jawab Rere santai sambil menyorotkan senternya ke batu nisan tua itu.

"Pieter van Hamel
Geboren 12-3-1801
Dood. 29-7-1842"

"Dia orang Belanda, ya?"

"Iya, menurut buku yang aku baca, Tuan Pieter dulunya adalah orang yang sangat disegani, beliau meninggal karena tertembak peluru emas oleh anaknya sendiri." Rere membersihkan rumput-rumput kecil yang tumbuh di atas makam itu.

"Terus?" Rasa takutku perlahan berkurang, kini justru berubah menjadi rasa penasaran.

"Masih menurut buku yang aku baca, konon dulunya di sini adalah rumah Tuan Pieter, dia dikubur di halaman belakang rumahnya, aku rasa mungkin masih ada sisa-sisa bekas bangunan rumah itu."

"Mana mungkin, ini kan sudah menjadi hutan."

"Rumah Tuan Pieter memang sangat luas, halaman bekangnya saja hampir satu hektar."

Aku mengerutkan keningku.

"Tapi itu sudah berabad-abad Re."

Rere menatapku, senternya diarahkan tepat ke mataku, membuat aku harus menutup mukaku dengan telapak tangan.

"Ayo kita lanjutkan, aku mau melihat kesana, siapa tau masih ada puing-puing bekas rumah Tuan Pieter." Rere menarik tanganku.

Sesaat kulihat arloji yang melilit di lengan kiriku.
Sudah jam 10 malam, aku sebenarnya sudah mulai mengantuk, tapi Rere memaksaku untuk menemaninya.
Setelah berjalan sekitar 30 meter, kami melihat seperti ada cahaya lampu yang redup di ujung sana.

"Apa di dekat sini ada perkampungan?" Bisikku.

"Ga tau, Kak, coba kita kesana, siapa tau bisa dapat informasi." Rere begitu bersemangat menuju cahaya lampu itu.
Semakin dekat cahaya itu terlihat semakin terang dan ternyata bukan hanya satu, ada beberapa lampu yang terpasang di sebuah rumah besar yang dindingnya sudah banyak ditumbuhi jamur.

"Woooow!" Teriak Rere kagum.

Bangunan kuno ala belanda, terlihat kotor dan kurang urus.
"Ini pasti rumah Tuan Pieter." Tanpa ragu Rere mendekati rumah itu, kakinya dengan cepat meniti tangga kecil yang menghubungkan pendopo dengan pintu utama.
"Sepertinya rumah ini masih ada penghuninya." Rere mendekatkan telingannya ke daun pintu.

Lalu tiba-tiba..
Suara pintu di buka menyayat telingaku, seorang laki-laki berjas menyambut dengan senyum datar.

"Silahkan masuk, Tuan sudah lama menunggu kalian." Ucap laki-laki itu dengan logat belandanya yang masih kental.
Rere memandangku, aku menggangkat bahuku, dan akhirnya Rere melangkah masuk ke rumah besar itu.
Karena aku merasa penasaran, akupun segera berlari ke dalam.

Rumah besar ini sepertinya jarang sekali dibersihkan, bayak sarang laba-laba di setiap sudut ruangan. Lantainya juga berdebu. Selain itu, penerangannya pun tidak maksimal sehingga jarak pandangku terbatas.

Di sebelah utara, tepatnya di bawah jam dinding besar itu ada sebuah kursi goyang, seorang laki-laki berpakaian serba putih, dia memakai pakaian khas belanda seperti kolonial dalam film si pitung sedang duduk santai di sana.

Sementara Rere menikmati pemandangan unik rumah tersebut, ada banyak barang-barang antik, guci dan ukiran-ukiran yang pasti sangat mahal harganya.

"Ternyata buku yang aku baca itu bohong, katanya rumah Tuan Pieter sudah hangus terbakar." Bisik Rere sambil menggigit bibirnya sendiri.

Pemuda berjas yang tadi membukakan pintu lalu menyuruh kami duduk. Sementara laki-laki yang berpakaian putih itu menatap kami dengan tatapan yang serius.

"Selamat datang anak muda." ucapnya dengan suara yang serak.

Aku dan Rere hanya tersenyum dan menganggukan kepala.
Tak lama kemudian, beberapa perempuan datang membawakan minuman dan buah-buahan lalu menyuguhkannya di depan kami.

"Silahkan dinikmati, kalian adalah tamuku.". Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati kami.

Tatapan matanya seolah mengisyaratkan kalau dia menginginkan sesuatu dari kami.

"Ah dimana kamar mandinya, Tuan? aku ingin buang air kecil.". Tanya Rere pada laki-laki itu.

"Ada di sebelah barat, belok kanan dan lurus saja sekitar tiga meter lalu belok ke kiri dan naik tangga, adanya di lantai dua." Laki-laki itu memberi aba-aba dengan bahasa tubuhnya.
Rere segera menuju arah yang di beritahu laki-laki itu.

Tap..tap..tap..
Langkah Rere menapaki tangga yang menuju ke lantai dua rumah besar itu.

Sementara aku masih berbincang-bincang ringan dengan laki-laki berbaju serba putih. Dia bercerita tentang ayahnya yang tak sengaja tertembak oleh nya, saat itu dia ingin menembak orang pribumi yang memberontak, tapi pelurunya justru mengenai ayahnya, Tuan Pieter van Hamel.
Dari situ aku tahu bahwa laki-laki itu adalah putra dari Tuan Pieter. Aku Agak cepat tanggap karena Rere tadi sudah bercerita tentang Tuan Pieter.

*

(Author Pov)

Rere akhirnya sampai di lantai dua, dia mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, mencari kamar mandi.
Di sudut sana ada sebuah pintu yang sedikit terbuka.
"Mungkin itu kamar mandinya." Rere menghampiri pintu itu.
Pintu kayu yang hampir lapuk. Rere mendorong pintu itu, serat sekali, sepertinya sudah lama tidak dibuka.

Di dalamnya ada sebuah bak mandi dan kloset, tapi bak mandinya kering, klosetnya pun terlihat kotor.
Rere memutar keran di atas bak mandi itu, perlahan ada cairan yang menetes. Lampu ruangan yang redup membuat cairan itu terlihat berwarna hitam.

"Ah airnya butek." Rutuk Rere.

Rere membasuh kedua tangannya, tapi cairan itu malah menempel di tangannya. Rere mencium tangannya.

"Huuueek.." Rere merasakan perutnya sangat mual mencium tangannya yang berbau amis.


Cairan itu ternyata darah, Rere mulai merasa ketakutan. Dia berlari keluar, tapi langkahnya terhenti karena seorang wanita memakai jubah hitam menghalangi jalannya, matanya menatap Rere dengan tajam. Tangan kanannya memegang pisau belati putih berkilau.

"Sii...siia...pa kaa..mu..?"

"Aku malaikat yang akan mencabut nyawamu anak manis.."
"Tidaaaaaaak....." Rere berteriak, menutup mukanya dengan kedua tangannya sambil berlari menuju tangga. suaranya terdengar sampai ke lantai bawah.

Aku mendongak, dan bangkit dari tempat dudukku.
Segera aku berlari mencari sumber suara itu. Laki-laki berpakaian putih yang tak sempat ku tanyakan namanya itu mengikuti ku dari belakang.

"Hahahaaa." Laki-laki di belakang ku itu tertawa, membuatku terkejut dan membalikkan badan.
Kulihat tiba-tiba wujud laki-laki itu berubah drastis, pakainya perlahan menjadi hitam dan mukanya berubah seram seperti mengelupas karena terkena luka bakar yang parah.
Aku bergidik, jantungku berdetak sangat cepat.
Tiba-tiba aku teringat batu nisan yang tadi kulihat bersama Rere.

Tuan Pieter sudah meninggal hampir dua abad yang lalu, jadi tidak mungkin putranya masih hidup sampai sekarang, dan Rere juga sempat mengatakan bahwa dalam buku yang dia baca, dinyatakan bahwa rumah tuan Pieter sudah hangus terbakar, lalu semua ini?

Otakku terasa begitu berat memikirkannya. Sementara laki-laki berwajah menakutkan itu berjalan mendekatiku.
Tiba-tiba Rere berlari dari atas tangga.

"Kakak." Teriaknya lantas memelukku dengan erat.

"Kamu ga apa-apa Re?" Tanyaku prihatin.
Rere menggelengkan kepalanya.

"Diatas sana ada seorang wanita berjubah hitam yang ingin membunuhku, kita harus pergi dari sini, Ka!" Ku lihat raut wajah Rere begitu ketakutan, baru kali ini aku melihat adikku ini merasa takut.

"Kalian tak akan bisa lolos." Laki-laki berwajah seram itu kini sudah berada tepat di depan kami.

Rere semakin ketakutan, aku menyuruhnya bersembunyi di belakangku.

Ku tepiskan rasa takutku, aku tak ingin terlihat lemah, aku harus bisa melindungi adikku.

Tiba-tiba laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau dari balik bajunya. Sebuah pisau berkarat yang siap menikam siapapun yang ada di hadapannya.
Aku mengepalkan tanganku, bersiap-siapa untuk melakukan perlawanan.

Laki-laki itu mengibaskan pisaunya, aku mengelak, hampir saja pisau itu mengenai mukaku.
Laki-laki itu terlihat marah karena aku berhasil mengelak dari serangannya.

Kembali dikibaskannya pisau berkarat itu, kali ini aku melihat pisau itu sepertinya benar-benar akan menembus leherku, aku memejamkan mataku karena kurasa aku takkan sempat lagi mengelak.

Tapi ternyata Rere mendorong tubuhku ke kiri.
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, pisau itu mengenai dada Rere.

Darah menggenangi lantai.

"Cepat pergi, Kak!" Seru Rere sambil menahan sakit.

"Aku ga mungkin ninggalin kamu Re."

"Jangan bodoh kak, cepet selamatkan diri kakak."

"Tapi kamu ?"

"Jangan pikirin aku! Cepat pergi sebelum terlambat."
Aku tak sempat berpikir banyak, segera aku bangkit dan berlari meninggalkan rumah besar itu. Beruntung tak ada yang mengejarku. Aku berlari sekencang-kencangnya menjauh dari rumah yang penuh misteri tersebut.

*

Aku sampai di halaman depan rumahku. Kulirik arlojiku, sudah jam dua belas malam, lebih lima menit.

"Maafkan aku, Re. Aku ga bisa nyelamatin kamu. Aku bukan kakak yang baik." Bulir-bulir hangat jatuh dari kelopak mataku.
Aku tertegun di depan pintu rumah.

"Apa yang akan ku katakan pada Orangtuaku tentang Rere. Semoga mereka memaafkan aku." Dengan hati-hati aku memberanikan diri mengetuk pintu.

"Kreeeek." Pintu terbuka.

Shock setengah mati, aku terasa tersengat listrik jutaan volt melihat sosok Rere berdiri di balik pintu.

"Kenapa, sih? Kayak ngeliat hantu aja." Rere mengerucutkan bibirnya.

"Kakak dari mana aja? Jam segini kok baru pulang?" Rere bertanya dengan nada yang seperti memang tak tau apa-apa tentang apa yang baru saja terjadi.
Kupegang pundak adikku itu, kubelai rambutnya, lalu kucubit pelan pipinya. Aku ingin memastikan bahwa dia bukan jelmaan setan.

"Ini beneran kamu, Re?"

"Ya iyalah, emangnya siapa lagi?"

Rere menggandeng tanganku dan mengajakku duduk di sofa ruang tamu.

"Kamu dari tadi di rumah, Re?" Tanya setengah tak percaya.
"Iya." Jawabnya santai lalu meneruskan membaca sebuah buku misteri kesukaannya.
Kulirik sampul buku itu.

"Leider Gedood
Pieter van Hamel" tulisan itu terukir jelas di sampul buku itu. Aku menajamkan mataku.

Sejenak aku teringat makam itu.
"Sudah, makan dulu sana!" Rere mengejutkanku.
Aku kemudian bangkit dan berjalan menuju dapur.

"Baru pulang?" Sapa Ibu yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya.
Aku hanya mengangguk.

"Rere mana?"

"Tuuuh!" Aku mengarahkan telunjukku ke ruang tamu.
Ibu mengikuti arah telunjukku.

"Mana?" Tanya Ibu.

"Itu di sofa."

"Nggak ada siapa-siapa."

"Ada Bu, barusan dia yang bukain aku pintu."

"Bukain kamu pintu? Bukannya Rere pergi bareng sama kamu?"
Praang.. Piring yang ku pegang terjatuh, aku terkejut mendengarnya.

Lalu siapa yang tadi membukakan pintu?
Tiba-tiba.. Jleb... Lampu padam.
Semuanya gelap, aku tak bisa melihat apa-apa.

"Bu! Re!" Aku berharap ada seseorang yang akan membawa senter atau sejenisnya.

Tapi tak ada jawaban, kemana Ibu yang baru saja masih ada di depan pintu kamar?

kini suasana begitu hening. Aku merasakan sesak di dadaku, seperti ada sesuatu yang menghalangi pernafasanku.
Sampai akhirnya aku sadar bahwa sebenarnya Ibuku sudah lama meninggal.

**TAMAT**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar