Follow

Selasa, 14 November 2017

Make A Wish - Karya Ananda Nizzma


"Tiup lilinnya, Fanda. Jangan lupa make a wish dulu. Minta pacar yang ganteng, biar nggak jones melulu," Sinta mengingatkan setengah meledek, diamini oleh cekikikan pelan teman-temanku.

"Iya, sekalian minta wajah cakep biar kayak kita-kita, mirip artis Korea gitu," sambung Clara, tawanya membahana mengalahkan musik yang diputar oleh DJ terkenal yang dibayar oleh Papa.
Aku menghela napas panjang, sudah terbiasa dengan ledekan atau hinaan mereka secara tidak langsung. Kalau bukan karena orangtua kami yang tergabung dalam pergaulan sosialita, rasanya aku tidak akan sudi bergaul dengan mereka yang hanya bisa memamerkan kekayaan orangtua masing-masing.

Aku menengok ke atas, ke langit-langit kaca aula rumahku. Sekilas aku melihat ada bintang jatuh di sana. Kupejamkan mata, berharap dengan sepenuh hati.

'Aku berharap agar semua yang kukatakan menjadi kenyataan,' pintaku dalam hati.
Sebelum aku sempat meniup lilin di kue ulang tahun tiga tingkat di depanku, embusan angin dingin yang entah berasal dari mana mematikan semuanya.

Teman-temanku terkesiap, beberapa di antaranya menyeringai.

"Bahkan lilin saja tidak mau ditiup olehnya, kasian sekali," ejek Clara.

Dia memang biang masalah.

"Tutup mulutmu, Clara! Lebih baik kau pergi saja dari sini, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi. Pesta selesai, kalian boleh pulang!" kataku muak.
Aku segera berlari menaiki tangga dan masuk ke kamar. Merebahkan tubuhku di kasur, pikiranku menerawang.

Seharusnya ini menjadi hari bahagiaku. 18 tahun. Bahkan setelah 18 tahun, orangtuaku tidak pernah hadir di hari ulang tahunku. Mereka hanya menyuruh orang untuk mengadakan pesta meriah untukku, mengundang semua anak populer dengan iming-iming hadiah mahal.

Aku menatap miris bingkisan kado dari orangtuaku atau tepatnya dari asisten mereka. Sudah kubayangkan kalau isinya adalah gadget terbaru atau perhiasan berlian. Selalu itu yang mereka berikan setiap tahunnya.

Aku hanya ingin pelukan, kasih sayang dari mereka. Tanpa sadar airmataku mengalir dengan sendirinya.
-
"Sudah membuka hadiahmu? Maaf kami tidak bisa datang," kata Mama tanpa menoleh, sibuk dengan laptopnya.

Papa bahkan tidak mau repot-repot menyapaku.

"Tumben minta maaf? Biasanya juga nggak datang, kan?" ujarku sarkas.

"Fanda, jaga ucapanmu!" bentak Papa.
"Kenapa? Papa tersinggung? Kalau boleh memilih, rasanya lebih baik aku tidak punya orangtua saja, daripada punya orangtua tapi rasanya seperti anak yatim piatu."

"Fanda!"

Aku tidak memedulikan teriakan Papa dan Mama lalu berlari ke sekolah.

Hari ini sekolah terlihat lebih heboh dari biasanya. Para murid sekolah elit ini sibuk bergosip di sana-sini. Sebagian dari mereka terlihat tegang, sebagian lagi justru terlihat senang.

"Ada berita apa?" tanyaku.

Seorang siswa yang berdiri di depanku menjawab dengan cuek. "Clara mati di rumahnya tadi malam. Wajahnya hancur dipukul benda berat oleh perampok."

Aku terbelalak. Tadi malam dia masih datang ke pestaku. Lalu, aku teringat kata-kataku semalam. Aku memang tidak ingin melihatnya lagi, tapi aku tidak pernah mengharapkannya mati.
Tubuhku kaku. Ini pasti hanya kebetulan. Yah, pasti.

Aku melangkah dengan gontai ke kelas dan duduk di bangku ketika ponselku berdering. Sebuah nomor tidak dikenal.

"Halo?" sapaku pelan.

Aku mendengar penjelasan dari seberang sana dengan setengah sadar. Pria yang mengaku polisi itu mengatakan kalau orangtuaku meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Mobil mereka ditabrak oleh truk barang yang pengemudinya mengantuk setelah semalaman mengemudi. Ponselku terlepas dari tangan bersamaan dengan pandanganku yang mengabur.
-
Jasad kedua orangtuaku sudah tiba di rumah. Hatiku hancur. Aku menyesali semua perkataanku pada mereka. Seharusnya aku tidak berkata seperti itu pada mereka. Walau bagaimana pun, mereka adalah kedua orangtuaku.

Aku tidak habis pikir, kenapa semua yang kukatakan menjadi kenyataan? Bagaimana caranya aku melepas kutukan ini? Kenapa sejak hari ulang tahunku, semuanya berubah seperti neraka?

"Nona Fanda, sebaiknya Anda beristirahat dulu sebelum pemakaman besok pagi." Bi Rosa, asisten rumah tanggaku berkata prihatin.
Aku menggeleng. Airmataku kembali jatuh dengan deras. "Kenapa semuanya jadi seperti ini, Bi? Semuanya berubah dalam sehari. Rasanya aku mau ikut mati saja," ucapku pelan.

"Nona jangan berkata seperti itu, setiap ucapan itu doa, Non," Bi Rosa menasihatiku.

Bi Rosa benar. Aku menutup mulutku saat tersadar apa yang sudah kukatakan barusan.
Tidak. Tidaakkk! Aku tidak mau mati!

-end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar