Follow

Selasa, 28 November 2017

Dimensi Kematian part 2

November 28, 2017 0 Comments
Hari hampir gelap ketika Obin menemukan mayat Linda yang berlumur darah.
Obin segera menghubungi ambulans dan polisi.
Linda benar-benar sudah meninggal, sebelum menghembuskan nafasnya, dia sempat menuliskan B 124 FA di jalanan dengan darahnya.
Seorang petani yang kebetulan melintas mengaku melihat saat mobil itu menabrak Linda.
Polisi langsung mengorek keterangan dari petani tersebut.
"Saya melihat dengan jelas, benar mobil itu berwarna silver dan nomer polisinya 124, itu yang saya lihat." Aku petani itu.
Polisi mencocokkan pengakuan petani tersebut dengan tulisan yang dibuat Linda sebelum ia meninggal.
Linda juga menuliskan angka 124, ini merujuk ke mobil Rafa. Tapi polisi sudah memastikan, bahwa mobil Rafa sama sekali tak beranjak dari kantor polisi sejak seminggu yang lalu.
Lalu siapa yang menabrak Linda? bagaimana mungkin ada dua mobil dengan merk dan model yang sama mempunyai nomor polisi yang sama. Itu tidak mungkin. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di balik semua ini.
***
Raito menemukan sesuatu dalam penelusurannya di handphone Rafa yang berada di kamar Linda.
Sebuah note yang berisi alamat email dan password.
"Ya benar sekali," ucapnya pada dirinya sendiri.
"Orang yang sering memegang handphone Rafa mungkin akan tau password dari email Rafa yang di gunakan untuk akun facebook-nya. Maka dia bisa dengan mudah membuka facebook Rafa dengan me-reset password melalui email." Lanjut Raito.
Raito mengelus dagunya dan menganggukkan kepalanya.
"Menurut lu itu bukan hantunya Rafa?" Tanya Obin setelah mendengar penjelasan Raito.
"Bukan! Ada seseorang yang tau password email Rafa, dan dia melakukan ini untuk tujuan tertentu." Jawab Raito.
"Tapi siapa? Satu-satunya orang terdekat Rafa ya Linda."
"Kalau kita bisa cari tahu siapa yang membuka facebook Rafa, kemungkinan penabrak Linda bisa terungkap." Raito bangkit dari duduknya.
Menghampiri komputer cerdas yang ada di atas meja.
Raito membuka email Rafa, begitu banyak inbox, dan sebagian besar adalah notifikasi dari facebook.
"Hei, coba lihat ini!" Seru Obin sambil menunjukkan handphone Rafa.
Raito meraih handphone itu.
Sebuah foto yang di hide, foto Rafa dan seorang perempuan, tapi bukan Linda.
"Siapa perempuan ini?" Raito menyipitkan matanya.
Dalam foto tersebut mereka terlihat mesra, seperti ada hubungan istimewa antara keduanya.
Raito menyerahkan handphone itu kembali ke Obin sementara dia kembali duduk di depan komputernya.
Entah apa yang dilakukan Raito dengan mesin canggih itu, hingga akhirnya dia menemukan suatu petunjuk.
"Coba liat ini!" Lagi-lagi. Obin berseru, membuat Raito menajamkan matanya.
Obin mengulurkan tangannya yang memegang handphone Rafa. Raito segera menyambutnya.
"Aku akan membantumu Rafa." Sebuah pesan masuk, dilihat dari tanggal pengirimannya, pesan tersebut dikirim beberapa saat sebelum Rafa mengalami kecelakaan.
Itu artinya, selain membuat catatan di Personal Diary-nya Rafa juga menghubungi seseorang untuk meminta bantuan.
"Sepertinya Rafa tahu bahwa dia akan meninggal sore itu." Raito kembali mengelus dagunya.
Tak ada nama pengirimnya.
Raito sudah berusaha menghubungi nomer itu tapi ternyata sudah tidak aktif.
Setelah mengumpulkan semua data yang ia temukan, Raito melangkah keluar dengan pasti. Entah kemana dia akan menuju. Obin berlari kecil mengiringi langkah Raito yang sama sekali tak menghiraukan Obin.
***
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara seorang wanita di luar sana.
Ibu Sinta segera membuka pintu rumahnya.
"Eeh Mira, apa kabar?"
"Baik bu, maaf baru sempat dateng, aku baru pulang dari Makassar."
"Oh gak apa-apa, ayo masuk!"
Ibu Sinta mempersilahkan tamunya itu untuk duduk, sementara dia ke belakang untuk mengambil minuman.
Mira duduk dengan perlahan, matanya tertuju pada foto yang dipajang di atas tv ruang tamu itu.
Ada pandangan yang tak senang di matanya.
Ibu Sinta datang membawa dua gelas jus mangga.
Mira segera mengalihkan pandangannya dan tersenyum ramah ke arah Bu Sinta.
Banyak hal yang mereka ceritakan tentang Rafa.
Ibu Sinta adalah ibunya Rafa, sedangkan Mira adalah mantan kekasih Rafa yang memang tetap berhubungan baik dengan Rafa dan keluarganya.
***
Raito baru saja tiba di rumah Rafa.
"Mobil Rafa sudah di bawa pulang rupanya." Gumam Raito saat melihat mobil Honda CRV bertengger di halaman depan rumah mewah itu.
Saat akan menuju pintu masuk, Raito berpapasan dengan seorang wanita yang baru saja keluar.
Raito menatap lekat wanita itu, sepertinya dia pernah melihat wanita itu, tapi entah di mana. Wanita itu tersenyum Ramah kemudian masuk ke dalam mobil yang ada di halaman. Sebuah klakson menandai kepergiannya.
Raito masih mengamati laju mobil tersebut.
"Dia Mira, mantan pacarnya Rafa." Suara Bu Sinta mengejutkan Raito.
"Mobil itu?" Raito menunjuk ke arah luar.
"Itu mobil Mira, memang sama dengan mobil Rafa."
Berbagai pertanyaan bersatu padu dalam otak Raito.
Dia seolah menemukan petunjuk baru. Wanita dalam foto itu, pesan di handphone Rafa dan mobil Mira.
***
Mira memicu laju mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sepertinya dia sedang buru-buru.
Begitu memasuki pagar rumahnya, Mira terkejut melihat ada polisi di rumahnya.
"Ada apa ini?" Tanya Mira.
"Apakah anda yang bernama Mira?" Seorang polisi menghampiri
"Iya, saya Mira, ada apa ya?"
"Kami mendapatkan laporan, kalau anda terlibat dalam kasus kematian saudari Linda." Jelas polisi itu.
Jantung Mira berdetak kencang, tapi dia berusaha tenang.
"Saya baru pulang dari Makassar pak, jadi ga mungkin saya terlibat." Mira membela diri.
"Tapi kami menemukan ini." Seorang polisi yang lainnya mendekat.
Membawa sebuah plat mobil palsu. Mira tak bisa lagi mengelak.
Akhirnya dia mengakui semuanya.
"Aku sangat kesal kepada Linda yang telah merebut Rafa dariku, aku berniat untuk meminta bantuan seorang dukun, agar Rafa bisa menjadi milikku lagi." Mira membuka pengakuannya.
"Tapi dukun itu menolak, dia mengatakan bahwa, dulu juga pernah ada wanita bernama Linda yang minta bantuan kepadanya, tapi akhirnya wanita itu tidak menepati janjinya, sehingga laki-laki yang dicintainya itu harus kehilangan orang-orang yang disayanginya. Dari situ aku tahu bahwa Linda lah penyebab semuanya, Linda yang membuat Rafa kehilangan orang-orang terdekatnya, bahkan Linda juga yang menyebabkan kematian Rafa." Papar Mira.
"Aku sengaja tak datang ke pemakaman Rafa dan mengaku sedang berada di Makassar, agar rencanaku dapat berjalan lancar. Aku membuat plat palsu itu untuk menabrak Linda, tapi Linda selalu bersama Obin."
"Sore itu, Rafa mengirim sms." Mira menyodorkan handphone-nya. Polisi itu segera mengambilnya.
"Sepertinya ada kekuatan jahat yang mengintaiku, aku merasa dia akan membunuhku, tolong bantu aku." Begitulah isi sms yang dikirim Rafa.
"Aku tahu Rafa dalam bahaya, lalu aku bermaksud untuk membantunya. Tapi sial, sebelum aku sempat berbuat apa-apa, Rafa sudah meninggal terlebih dahulu." Mira menghela nafas, lalu kembali melanjutkan ceritanya.
"Arwah Rafa berkali-kali menghantuiku untuk meminta bantuan, itu yang menggugahku untuk segera membunuh Linda agar Rafa bisa tenang di alam sana." Mira sedikit merinding mengingat apa yang dialaminya.
"Beberapa hari kemudian, aku kembali menemui dukun itu, tapi terlambat, dukun itu sudah meninggal, saat dalam perjalanan pulang, aku melihat Linda berlari menuju kediaman dukun itu, aku pikir itu adalah kesempatanku untuk beraksi. Aku segera mengganti plat mobilku. Begitu Linda pulang Jalanan sudah hampir gelap, dan Linda hanya sendirian. Tanpa pikir panjang, aku menabrak Linda, aku sengaja berhenti agar Linda melihat plat nomer palsu itu. Aku merasa senang karena Linda sudah membayar semua perbuatannya. Tapi sial, aku aku belum sempat membuang plat palsu itu."
"Lalu bagaimana dengan kasus akun facebook Rafa?" Tanya Raito yang tiba-tiba sudah berada di belakang Mira.
"Rafa pernah menyuruhku mengirimkan lamaran menggunakan email-nya, makanya aku tau password email Rafa, dan aku me-reset password facebook-nya melalui email." Jawab Mira.
"Benar dugaanku." Raito mengelus dagunya.
Mira lau dibawa ke kantor polisi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sementara arwah Rafa kini sudah tenang di alamnya.
**TAMAT**

Jumat, 17 November 2017

Dia (lah) Ibuku - Karya Lindsay 'Lov

November 17, 2017 1 Comments

-= Cerita ini kupersembahkan kepada seluruh IBU yang menyayangi anaknya, di manapun berada =-

--

Eva membuka bungkusan kecil bersampul pink dengan corak bunga-bunga kecil, yang sedari tadi berada di depannya. Isinya adalah jam tangan elegan berwarna emas. Tanpa melihat dengan seksama pun, Eva tahu kalau jam itu bermerk Rolex, dan asli dibalut emas.

“Gimana sayang? Kamu suka?” tanya seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan, yang duduk di sisi kirinya, seraya menyentuh pundak Eva. Gadis itu tersenyum tipis.

“Apa kubilang? Eva pasti suka dengan pilihanmu,” kini terdengar suara seorang pria berusia sekitar lima puluh tahunan, yang duduk di sebelah kanannya. “Astaga! Aku lupa! Sebentar aku ambil kamera dulu. Masa tak ada acara foto-fotonya?”

Eva mengikuti gerak si pria, yang tak lain adalah ayahnya, melangkah menuju parkir dengan pandangan matanya. Setelah menghilang, dengan sigap di cengkramnya lengan wanita yang baru saja memberinya hadiah jam tangan tadi.

“Hei! Jangan kau kira kau bisa membeliku dengan jam tangan kampungan itu!” desis Eva menatap wanita muda yang tampak kesakitan tersebut. Eva memang sengaja membenamkan kuku-kukunya pada pergelangan tangan wanita tersebut dengan maksud menyakitinya. “Kau boleh saja membeli cinta ayahku dengan … senyum sok sucimu itu! Tapi di mataku, kau tetaplah perempuan murahan! Kau pelacur! Kau pasti menyembah di kaki ayahku sambil telanjang!”

“Eva, kau menyakitiku …”

“Kau yang menyakitiku! Kehadiranmu!” penggal Eva cepat. Secepat tangannya mengembalikan kotak dan jam tangan tadi ke dalam tas wanita di sampingnya tersebut.

“Hei! Ternyata kameranya ketinggalan di rumah. Kita foto-foto pake handphone saja, gimana?”

Suara ayahnya membuat Eva segera melepaskan cengkramannya. Diliriknya, wanita di sampingnya segera memasang wajah manis sambil menutupi pergelangan tangannya yang memerah.

“Papa narsis, ah!” ucap Eva dengan senyuman lebar. “Gak usah pake foto-fotoan segala. Kayak anak kecil aja!”

“Gak apa-apa toh? Kita sudah lama gak kumpul. Ini mumpung kamu pulang …”

“Eva mau ketemu teman bentar, Pa. Lagi gak mood foto-fotoan!” Eva meraih tas kecilnya dan segera meninggalkan ayah dan ibu tirinya yang memandang sambil terdiam.

Sementara, di luar restoran, Eva langsung mengeluarkan ponselnya. “Di mana lo?” tanyanya setelah menghubungi nomor seseorang. Mendengarkan jawaban dari seberang telepon sesaat, lalu ia mengangguk. “Bagus. Gue kesana sekarang!”

Eva menyetop taxi dan langsung meluncur ke alamat yang di sebutkan oleh teman bicaranya di telepon.

“Jon! Joni!” teriaknya begitu sampai.

Seorang pemuda berpenampilan preman, yang sedang membaca Koran, langsung menoleh. “Eva my darling!” balasnya berteriak sambil melangkah mendekat dan bersiap hendak memeluk gadis itu.

“Hei! sejak kapan lo genit dan memuakkan gini?” tolak Eva saat tangan Joni hendak merangkulnya.

Joni tergelak. “Sejak lo tiba-tiba ngubungin, Va. Gue kira lo udah melupakan pacar lama lo ini.”

Eva meringis. Sejak kapan pula dia pacaran dengan cowok tak terurus itu? Tapi dia tahu Joni hanya bercanda. Jadi dia mengabaikan basa-basi tersebut. “Di mana rumahnya?”

“Itu!” Joni menunjuk ke arah seberang mereka. Sebuah rumah besar, yang di depannya terdapat pos sekuriti, tanda tak mungkin bisa masuk sembarangan.

“Gue ke sana!”

“Jangan sekarang!”

“Kenapa?”

“Yang lo cari sedang keluar.”

Joni benar. Tak lama, cowok itu menunjuk ke sebuah mobil mewah yang baru datang. Dua sekuriti terburu-buru membuka gerbang, dan mobil tersebut pun masuk. Eva segera melangkah mendekati rumah yang sudah diamati Joni semenjak dua bulan lamanya. Bicara sebentar dengan para sekuriti, dan dia mendapatkan izin masuk. Beruntungnya, ia masih melihat orang yang dicarinya sedang mengeluarkan beberapa barang belanjaannya dari bagasi mobil.

Eva menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba mengering. Wanita itu … yang berparas sangat cantik, sudah lama sekali dirindukannya. Setitik airmatanya mengalir, membayangkan pertemuan yang sudah dua puluh tahun ditunggu-tunggunya. “Mama …” ucapnya dengan suara tercekat.

Si wanita cantik terkejut mendengar suara yang tiba-tiba datang dari belakangnya. Ia langsung menoleh dan menatap dengan mata membulat.

“Si … siapa kau?”

“Eva, Ma. Evany Putri Hidayat. Aku … aku anakmu …”

“Tidak!” penggal wanita tersebut dengan suara bagai tercekik.

“Apa?”

Si wanita melangkah mendekati Eva. Melihatnya dari atas hingga ke bawah. Dari rambut hingga kakinya. Menatap wajahnya. Meneliti raut mukanya. Dan apa yang selama ini diimpikan oleh gadis itu, hancurlah sudah.

“Kau … bukan putriku! Aku tak pernah menginginkanmu! Sama seperti laki-laki itu! Ayahmu! Aku tak pernah mencintainya. Dia tahu itu, tapi tetap menikahiku. Dia membeliku dengan uangnya! Merampas kebebasanku. Menghancurkan kebahagiaanku! Memperkosaku!”

“Memperkosa Mama?”

“Aku tak sudi tidur dengan ayahmu, tapi dia memaksaku!”

“Mama …”

“Jangan panggil aku Mama! Kau keturunan laki-laki tak bermoral dan aku membencimu! Membenci kalian! Pergi dari rumahku, atau aku akan memanggil polisi untuk mengusirmu!”

Airmata Eva meluncur bagai air hujan, saat dilihatnya wanita cantik yang begitu dirindukannya itu melangkah membelakanginya dan membanting pintu rumahnya.

“Eva …”

“Gue balik, Jon!” ucap Eva berusaha menutupi matanya yang basah.

“Va, lo nangis? Mereka mengusir lo? Apa perlu gue ke sana …”

“Simpan tenaga lo, Jon!” Eva membanting pintu taxi yang tadi memang sengaja disuruhnya menunggu.

“Va, tunggu sebentar!” Joni mengetuk kaca jendela taxi. Eva membuka dan memandang Joni tak senang.

“Gue cuma mau tanya satu hal,” ucap Joni cepat. “Ibu lo yang sekarang, pernah gak dia meninggalkan lo?”

Eva tak menjawab. Mulutnya terkunci beberapa saat. “Jalan, Pak!” ucapnya akhirnya, meninggalkan Joni yang menatapnya dengan simpati.

Ia tahu apa maksud Joni. Hampir seumur hidupnya, Eva selalu meneror wanita itu. Sebelum ia kuliah ke Belanda, sudah begitu banyak yang dilakukannya untuk membuat mantan sekretaris ayahnya, yang telah menjadi ibu tirinya semenjak ia berusia tiga tahun itu, keluar dari rumahnya. Dari mengancam, merusak pakaian wanita itu, memasukkan kotoran ke masakan, dan semua perbuatan-perbuatan buruk telah dicobanya. Namun wanita itu tegar bagaikan kaktus. Ia tetap bertahan, tanpa membalas sekalipun. Dan Joni benar. Wanita itu tak pernah meninggalkannya saat dia sakit, atau saat dia sedang bermasalah di sekolah. Wanita itu tak pernah sekalipun meninggalkannya!

‘Ya Allah!’ Eva mendesah seraya metatap keluar jendela. Saat yang sama, ia melihat sesuatu yang mengerikan. “Pinggir, Pak! Pinggir!” teriaknya cepat. Begitu taxi menepi, Eva langsung melompat keluar, tepat saat seorang wanita terjatuh karena seorang pengendara menjambret tasnya.

“Jambreeett!” teriak si wanita seraya mengaduh kesakitan. Tampaknya kakinya terluka hingga membuatnya tak mampu berdiri. Eva langsung mengejar dan menghadang orang yang menjabret, yang kebetulan menuju ke arahnya tersebut dengan mengibaskan tas kecilnya. Orang itu terkejut dan kibasan tas Eva membuatnya hilang keseimbangan dan terjatuh ke aspal. Tanpa membuang waktu, Eva langsung menghajar laki-laki tersebut. Detik berikutnya, beberapa orang yang melihat kejadian, berdatangan untuk membantu mengamankan si penjambret. Setelah semuanya aman, Eva mengambil tas si wanita dan mengembalikannya dengan perasaan haru.

“Eva …” ucap wanita itu dengan air mata berlinangan.

“Ibu sedang apa di sini?” tanya Eva cepat.

“Ibu? Ka … kamu memanggilku Ibu?”

Eva menatap wanita itu dengan mata yang kembali basah. “Ayo kita ke rumah sakit, Bu. Kita periksa kaki Ibu.”

“Eva sayangku. Ibu tidak apa-apa. Kau … kau nakal sekali!”

Eva menatap ibu tirinya. “Aku nakal?”

“Iya. Kenapa kau mempertaruhkan dirimu mengejar penjambret itu. Bagaimana kalau dia punya pisau? Aku tak sanggup membayangkannya!”

“Aku hanya ... tidak ingin kehilangan jam tanganku, Bu,” ucap Eva sedikit malu.

“Astaga!” wanita di hadapan Eva tergelak lebar. “Jam itu sudah Ibu letakkan di kamarmu. Ngapain juga Ibu bawa-bawa?”

“Benarkah?”

“Eva, tolong jangan lakukan hal-hal yang membuatmu celaka, ya?”

“Ibu … aku … aku …”

“Kenapa, Va?”

“Aku ingin dipeluk,” ucap Eva menitikkan airmatanya. Ibu tirinya tersenyum dan langsung memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang.

‘Ya Allah, dia inilah, wanita inilah ibuku,’ bisik Eva di dalam hatinya.

End :')

Kamis, 16 November 2017

Eyes - Karya Hades

November 16, 2017 0 Comments

Cahaya terang yang berasal dari lampu di atas meja nakas menyorot wajah Rose. Ia duduk tepat di depan meja rias sebelah meja nakas tersebut. Wajahnya pucat, tanganya terulur ke bawah 'lunglai'.

"Kau bukan pembunuh, Rose!

Suara itu lagi kembali terdengar di telinganya. Bibirnya kering mengelupas.

"Tapi dia yang mengundangmu untuk membunuhnya."

Rose menatap cermin riasnya yang besar. Ia tertegun. Ada satu mayat tergeletak tepat di belakangnya. Tersadar sesaat sampai ia menemukan sebilah pisau tergenggam di tangan kiri.

"Pisau itu yang membunuhnya!"

"Siapa kau?" Rose berteriak. Suara itu tak menjawab. Yah, karena tak ada satu orangpun di sana, didalam kamarnya. Ia berdiri, berjalan mendekati mayat yang dipenuhi luka sayatan di sekujur tubuhnya.

"Mamaaaaaa.!"Histerisnya. Ia menangis ngilu. Setelah tahu bahwa mayat itu adalah ...

"Mamaaaaaaaa! Ma, bangun, Ma!"

"Tak ada gunanya kau menangis, ia sudah mati!"

"Siapa kau? Kenapa hanya suaramu yang terdengar? Tunjukan dirimu!" Rose berdiri, mengacungkan pisau di tangan ke sembarang arah.

"Kau tak bisa melihatku, Rose."

"Kenapa? Apa yang tak bisa kulihat dengan mataku? Apaa?"

"Hahaha, kenapa kau tanyakan itu padaku?" Tanya suara itu semakin jelas. Rose tetap menodongkan pisaunya. "Tanyakan saja seperti apa ia terbunuh?"

"Siapa kau sebenarnya?" Tangis Rose meledak. Bau anyir dari darah yang tergenang di lantai keramik putih kamarnya memenuhi rongga hidungnya. Membuat mual dan pusing. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa ia membunuh Ibunya sendiri?

"Semua jawaban ada pada matamu, Rose."

Rose tercekat. Dengan cepat ia berlari kembali ke arah meja riasnya tadi. Duduk di sana menatap pantulan dirinya di cermin dengan jelas.

Tiba-tiba ....
Angin berhembus kencang. Menerbangkan gorden di jendela dengan keras karena jendelanya terbuka sendiri. Lampu di atas meja nakas berkelap-kelip seram.
Rose menegang, air matanya berubah warna menjadi merah, bulu matanya memanjang dengan cepat, pupil mata pun memerah dan bertambah ukurannya, serta kuku-kukunya tumbuh meruncing.
Ia menyeringai, memamerkan kedua taring yang panjang mengkilat.

Rose, berubah menjadi manusia bertaring menyeramkan. Sekelabat bayangan tergambar jelas di kedua matanya. Bagaimana ia menyerang sang Ibu yang masuk ke dalam kamarnya membawa sepiring apel segar lengkap dengan pisau yang ada di samping telapak tangan kirinya.

Rose menarik kepala Ibunya, menghantamnya ke pintu sampai pingsan, lalu ia dengan tenang menyayat lengan, kaki, paha, perut serta leher Ibunya hingga putus.

Angin berhenti bertiup. Lampu menyala dengan normal. Rose kembali normal dalam hitungan detik. Ia kembali tersadar. Apa yang sebenarnya terjadi.

"Mamaaaa!"

"Kau sudah melihatnya?" Tanya suara itu. Dan Rose mengangguk tanpa berontak. "Semua ada dalam matamu."

"Mamaa, maafkan Rose ..." Tangisnya. Ia menyesali perbuatan kejinya itu. Putri satu-satunya membunuh sang Ibu dengan sadis.

"Kau bukan manusia, Rose. Karena manusia tak mungkin melakukan itu," suara itu terdengar lagi. Seolah berbisik di telinga Rose.

"Dan matamu yang melakukan itu. Jika kau tak memiliki mata kau tak mungkin membunuh Ibumu dan kau tak bisa melihat bagaimana kau berubah menjadi monster mengerikan seperti tadi."

"Lalu, aku siapa?"

"Bukankah kukatakan bahwa kau adalah monster yang mengerikan karena memiliki mata itu?" Rose menatap dirinya di sana. "Lihat dirimu! Kau tak kelihatan bagus memiliki mata." Rose masih diam "CONGKEL MATAMU, ROSE!"

Menatap matanya lagi. Rose perlahan menggeser telapak tangan kanannya. Mengambil pisau di sana, lalu mengarahkan ke arah matanya yang kanan pula.

"CEPAT LAKUKAN, ROSE!. MATAMULAH YANG MEMBUATMU MENJADI MONSTER."

Rose menelan ludahnya kasar. Ujung pisau yang runcing semakin dekat, dekat, dan ...

"AHK!"

Darah segar muncrat mengotori meja rias, kaca dan sekitarnya. Rose memekik berusaha mengeluarkan biji matanya.

"SEDIKIT LAGI, ROSE."

"AKH,"

Satu kornea mata meloncat keluar. Darah dari lubang di daerah matanya mengalir deras. Bisikan kembali terdengar untuk memintanya mencongkel mata kiri. Tangan Rose gemetar. Penglihatannya memudar. Dan sampai benar-benar gelap karena
Kornea mata yang satunya menyusul keluar tanpa ampun. Dua biji mata Rose lepas dari tempatnya. Dalam hitungan detik, kepala gadis itu tergeletak di atas meja rias.

"SEKARANG KAU BUKAN SEORANG PEMBUNUH, APRIL ROSE!"

Suara tanpa wujud itu meraung. Serta tawanya yang melengking.

"KAU TAK MENYADARI BAHWA AKU ADALAH SUARA HATIMU SENDIRI."

Nafas Rose tersengal, tangan kanannya masih menggenggam pisau yang terarah ke perutnya. Melesak keras merobek kulit dan dagingnya. Merusak usus di dalam sana. Gerakan tangan Rose terlalu cepat untuk membunuh dirinya sendiri.

"Mama, kita bertemu di surga."

Rose mati. Mati karena ulahnya sendiri. Karena matanya yang tak bisa menerima bahwa dirinya adalah separuh serigala dan separuh manusia. Yang ia dapat dari Ayahnya. Bahkan ia membunuh Ibunya dalam wujud manusia.

-End-

Rabu, 15 November 2017

Separuh Jiwa - Karya Lindsay 'Lov

November 15, 2017 0 Comments

Baru saja aku memejamkan mata, ketika kudengar ketukan keras di pintu kamarku.

"Kau?" aku terbengong melihat siapa yang berdiri di balik pintu. Keyla! Makhluk yang belakangan ini mulai mengganggu hidupku.

"Pagi, Kak!" sapa gadis itu memamerkan senyum. "Boleh masuk, gak? Aku bawa sarapan kesukaan Kakak, nih. Lontong.”

Kulihat gadis itu memperlihatkan kotak makanannya yang berwarna pink. Di atas kotak itu, terdapat bunga mawar merah yang segar. Astaga! Lagi-lagi bunga Mawar. Sudah seminggu ini Keyla menghujaniku bunga.

"Kak?"

Aku tersadar saat tangan gadis itu melambai-lambai¬ di depan mataku. "Sorry. Aku..."

"Ya?"

"Aku..." Hei! Aku harus bilang apa ya? Bukannya aku tidak suka lontong. Tapi...ini adalah harga diri. Apa dia pikir aku tidak bisa beli sarapanku sendiri? Dan, yang paling terpenting adalah, saat ini aku tidak sedang ingin berdekatan dengan satupun perempuan. Hah! Aku tidak mau terikat dalam bentuk apapun!

"Kak?"

"Aku puasa!" jawab sembarangan! What the hell! Aku puasa? Aku sudah gila! Puasa di hari minggu. Hadeh!

"Apa, kak? Kakak puasa?"

Kulihat Keyla menatapku tak percaya. Yeah, tentu saja dia bingung. Puasa apa pula di hari minggu? And...dari tampangnya...kalau saja hidup ini adalah dunia kartun - lagi? ah, sudahlah!

"Iya, dek. Sorry ya?"

"Yang bener, kak? Apa bukan alasan kakak menolak pemberianku?" tanya Keyla keren. Yah! Nih cewek keren banged dah, bisa nebak isi hatiku.

"Hm...kalo gue bilang lagi puasa, maka memang itulah yang benar. Ok?" ucapku dengan suara berat. Sengaja aku menekan suaraku sampai ke tingkat paling dingin, agar nih cewek tidak sembarang menebak-nebak lagi.

"Baiklah, kak. Gak papa kok."

Kulihat Keyla sedikit menunduk, beringsut dan lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum manis. "Kak... boleh tanya sesuatu?"

"Apa?"

"Kenapa kakak sepertinya benci sekali kepadaku?"

Degh!

Wadaaooooouu! Pertanyaan macam apa itu?
Namun pertanyaan Keyla membuatku merasa aneh. Apa iya? Masa sih? Kenal aja baru belakangan ini, gimana bisa benci? Lalu aku menadapat ide. Yaitu tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perut.

"Kok kakak tertawa? Kakak menertawain aku?" tanya gadis itu membuatku berhenti ngakak.

"Nona, dengar ya! Gue aja tadi sempat lupa sama nama lo. Kepikiran tentang lo aja gue gak pernah. Gimana jalannya coba sampe gue benci sama lo?" tanyaku tanpa basa basi.

Keyla menatap dengan pandangan aneh. Lalu dia tersenyum. "Kak...hm, hari ini kakak ga kuliah, kan?"

"Ya iyalah. Secara, hari minggu, gitu loh!" jawabku hampir membuatku ngakak lagi. Nih anak, beneran blo'on atau autis ya?

"Boleh...aku tanya satu hal lagi, kak?"

Hadeh! Aku merasa bagai berhadapan dengan dosen pembimbing yang killer melebihi si Rambo, anjing pak Bonar Simatupang.

"Mo nanya apa lagi, sih?"

"Siang nanti mau nemanin aku ke gramedia, kak?" tanya Keyla membuatku mikir. Nih anak apa sudah kehabisan teman cewek ya makanya minta gue nemanin dia?

"Hm... siang nanti gue ke kampus, Key. Sorry."

"Tapi...kata kakak gak kuliah."

"Iya, tapi gue ke lab. Lab boleh dipergunakan 24 jam sehari!"

Jelas sodara-sodara! Itu adalah alasan yang paling garing untuk menolak ajakan seorang cewek semanis Keyla. Tapi mau giman lagi? Kan udah gue bilang kalo gue ga mau terikat dulu sama yang namanya pe-rem-pu-an!

Kayla menatapku. Sorot matanya tajam. Kalau saja hidup ini ada di dunia kartun, hadeh!...bosan juga mikirinnya. Tapi yang pasti, aku dapat merasakan kalau pandangan matanya tajam dan bagai ingin mengeluarkan api. Mungkin...yah, mungkin kalau tiba-tiba taringnya keluar, pasti akulah orang pertama yang akan digigitnya hingga modar!

"Baiklah, kak. Aku pulang aja." katanya surut.

"Hati-hati, Key..." teriakku seraya menutup pintu. Lalu menarik nafas lega. Wah...ternyata bisa menolak satu ajakan cewek, bukan membuatku resah. Aku justru merasa jiwa lelakiku meluap tinggi, bangga, dan aku merasa keren. Well, yah, mungkin aku agak sedikit egois. Aku kenal sih sama si Keyla ini. Dia anak ibu kost ku yang baru datang dari Jakarta. Jadi ga salah dia ingin mendekatkan diri, karena dia pasti masih belum memiliki banyak teman. Namun bukan alasan baginya untuk berdekatan denganku. Cukuplah sudah satu perempuan masa lalu yang membuatku hampir terkapar di rumah sakit karena selalu memikirkannya. Untuk dimasa mendatang, aku tidak akan gampang jatuh hati sama gadis manapun.

Tok! Tok! Tok!

"Van...!"

Terdengar teriakan dari luar pintuku. Tak sabar. Membuatku melompat untuk mendapatkan gagang pintu kamarku.

"Apa sih? Mengganggu aja sih lo!" teriakku hampir memberi bogem mentah kepalan tanganku ke muka sobat sebelah kamarku itu.

"Hei, bodoh! Lo gak tau, apa? Ada yang ketabrak mobil di depan tuh?"

"Hadeh! Kecelakaan. Apa itu jadi salah gue?" teriakku makin marah.

"Woi! Sadar, Van! Itu yang ditabrak cewe yang katanya baru dari sini. Lontongnya berserakan di jalan............................................."

Keyla!

Bagai tersengat arus listrik, aku melompat berlari mendapatkan kebenaran dari apa yang disampaikan oleh temanku tadi. Di depan, aku melihat sudah banyak orang berkerumun, mengelilingi korban tabrakan tersebut.

Tidak! Keyla! Keyla! Jangan lakukan ini padaku!

Ya Tuhan.... aku panik. Keyla baru saja menjumpaiku. Dia baru saja tersenyum manis kepadaku dan menawarkan persahabatan. Tapi aku menolaknya. Menolaknya dengan kejam. Oh Tuhan! Manusia macam apa aku ini....

"Pak...minggir sedikit, pak...i...itu temanku... minggir pak... a... aku mahasiswa kedokteran, mungkin aku bisa bantu..." ucapku berusaha menembus kerumunan yang tampak sibuk tak menentu itu. Saat mereka menyingkir dan memberiku jalan, sekilas aku melihat darah menggenang di aspal...dan darah itu bercampur ......otak.......

"Keylaa.." desisku sesak. Tidak! Jangan Keyla, Tuhan... Jangan gadis itu... tolong jangan dia...

Aku berusaha mendekati korban yang hampir tak berbentuk itu. Tetapi perasaan kehilangan dan rasa berdosa yang amat sangat membuatku tak mampu mendekat. Begitu tanganku menyentuh tubuh penuh darah itu, jantungku hancur bagai diremas...jiwaku bagai melayang...aku sangat merasa berdosa...

"Keyla..." ucapku tanpa sadar menitikkan air mata.

"Keyla..."

"Kak..."
"..."
"Kak... aku disini..."

Samar-samar aku melihat sosok gadis yang kutangisi tadi berdiri tidak jauh dari tempatku.

"Keyla?"

"Iya, kak. Ini aku.."

Aku tahu apa yang harus kulakukan. Segera aku berlari mendapatkan gadis itu dan memeluknya dengan erat. Tuhan! Hanya engkaulah yang tahu betapa aku bahagia melihat gadis autis ini ternyata masih hidup dan segar bugar.

"Kak, tadi aku kasihan lihat mbak itu. Katanya dia sudah beberapa hari ini gak makan. Jadi aku berikan saja lontong itu. Tapi ternyata dia..."

"Sshh.... Sudahlah. Itu bukan salahmu." ucapku kembali memeluk gadis itu.

"Woii, Van! Modus lo! Orang sibuk ngurus orang tabrakan, lo disini enak-enakan pelukan!" teriak teman sebelah kamarku.
Tapi aku tidak perduli. Kini hanya Keyla. Bagiku, kini Keyla sudah menjadi prioritas utamaku. Dia sudah menjadi separuh jiwaku semenjak aku berpikir dia telah pergi meninggalkanku.

TAMAT

Skull Awaits & Dreamcatcher in Finding the Soul - Karya Lindsay 'Lov & R.A Edelbrand

November 15, 2017 0 Comments

Once Upon A time In Nowhereland, ketika para hantu juga mampu merasakan kegalauan karena terlalu lama menjomblo, nun di sudut kelamnya malam, berdirilah sebuah kerajaan hantu Kerangka yang aman, damai, dan sejahtera. Namun ketenangan itu terusik ketika Skull Awaits, putri semata wayang sang Raja mulai galau dan uring-uringan.

"Apa? Kau bilang kau ingin apa?" tanya Skeleton Awaits, The King of Kerangka, terkejut. Rahangnya sontak lepas dan terjatuh ke lantai. Gigi-giginya berhamburan tak tentu arah, menggelinding masuk ke kolong singgasananya. Para pengawal yang terdiri dari Garda Tengkorak, dengan sigap terbang dan berpencar memunguti satu persatu gigi raja mereka. Menyusunnya dengan rapi di rahang, kemudian mempersembahkannya kembali ke raja. King Skeleton memasang rahangnya kembali, lalu menggerak-gerakkan mulutnya hingga mengeluarkan suara berderak-derak. “Babe gak setuju!”

“Kok Babe gak setuju? Babe pingin liat aku jomblo ampe mati?”
“Nak, sadarlah. Kita ini memang sudah mati sejak ribuan tahun yang lalu. Liat aja kita sudah tinggal tulang belulang. Dan sudah takdir kita menjadi jomblo selama-lamanya.”

“Babe jahat! Kalo Babe gak ngizinin aku hidup lagi, aku akan bunuh diri dengan melompat ke dalam blender!”

Skeleton langsung berdiri. “Jangan lakukan itu, anakku! Baiklah. Apa yang kau inginkan tadi? Kau ingin rebonding? Manicure? Pedicure?”

“Hadeh, Babe! O’on kok dipelihara?” gerutu Skull ngambek. “Aku ingin The Soul, Be. Besok The Soul muncul dan aku ingin memakainya.”

“Huh! Jadi kau masih mencintai si Mumi Ompong itu, ya?”

“Edelbrand gak akan ompong kalo saja Babe gak menimpuk mukanya pake tulang bokong Babe.”

Skeleton kesal. Tapi dia tak ingin melihat Skull kecewa. “Konsul Skeleton, penasehatku. Apa pendapatmu?”

Konsul Skeleleton yang sedang memangku tengkorak kepalanya sambil mencari kutu, buru-buru memasang kembali ke lehernya, memutarnya hingga menghadap ke raja. “Skull tidak akan menemukan The Soul jika tidak di dampingi seorang Dremcather. Hanya makhluk tak berwajah spesies langka itu yang tahu dimana letak The Soul itu berada. Mereka ‘kan terkenal suka ngintip.”

“Panggil Dreamcatcher kemari!”

“Siaaap!”

Bagai ngacir, tulang belulang Konsul Skeleton terbang dan menghilang sambil meninggalkan bunyi petasan cabe yang meletus. Gak pake lama, ia pun sampai di Kastil Nightmare, mendapati si makhluk tak punya muka bernama Dreamcatcher, yang sedang asyik bermain catur bersama Jin Sumbing yang lagi depresi berat.

"Skak mat!" serunya penuh kemenangan. Sudah sepuluh abad ia menang telak. Muka si Jin sudah seperti adonan tepung pisang goreng. "Udahlah broh, nyerah aja. Lo gak bakalan sanggup ngalahin gue."

Si Jin hendak menjawab,'Kamu curang! Aku kamu tipu terus!' Tapi berhubung sumbing, maka yang terdengar adalah,"Hamu huhang! Hahu hamu hiphhu hehus!"

Tiba-tiba...PLOP! Konsul Skeleton muncul. Seperti biasa, tengkoraknya berputar sampai 180 derajat dan buru-buru ia memutarnya agar mukanya menghadap ke depan. Suara kentut petasan cabe meletup membuat Dreamcatcher cekikikan.

"Yang Mulia King Skeleton Await memanggil Dreamcatcher! Urusan bermain catur harap dihentikan!"

"Eh, sabar mas, sabar. Lagi seru-serunya, nih," protes Dreamcatcher kesal.

"Udah, deh. Sebelum raja marah terus memotong semua jatah kemenyan lo sekeluarga. Ayo buruan ke istana!"

"Hadeh!" gerutu Dreamcatcher lalu beranjak berdiri. "Kapan nih, sekarang?"

"Ya iyalah! Mo nunggu lu punya muka?" sembur si penasihat tidak sabaran, kemudian ia memutar tengkoraknya dan kali ini...PREEEEEETTTTT! Sosoknya pun lenyap bersama Dreamcatcher.

****

Di Istana, Skull Awaits manyun tatkala Dreamcatcher datang. Ini setan kenapa mesti dibutuhin segala sih, pikirnya sebal.

"Anakku sayang," bujuk King Skeleton sambil membelai pipi tulang berbedak milik Skull. "Ayah memanggil Dreamcatcher kesini untuk membantumu menemukan The Soul."

Skull manyun. Lalu melirik ke Dreamcatcher. "Apa liat-liat? Nih cermin, muka lo gak ada, tau!"

Dreamcatcher terkesima. Waduh, jutek juga ini cewek, pikirnya. Ia lalu menjawab, "Permisi tuan putri. Perkenalkan saya Dreamcatcher." Ia lalu mengulurkan tangannya yang berbulu kriting dan pirang.

"Huh!" Skull tak sudi berkenalan sama laki-laki yang selama ini selalu menjahilinya di dalam mimpi. Ia membuang muka sampai kepala melayang dan nancap di pohon kaktus. Garda Rangka langsung melesat mengambil kembali kepala Skull, dan memasangnya di leher gadis itu. Skull menoleh ke Babenya. "Be, Dreamcatcher tuh ada satu provinsi banyaknya. Napa yang genit ini yang Babe suruh nemenin aku? Nanti kalo aku dicoleknya, gimana?"

Mendengar itu Dreamcatcher malah siul-siul sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. King Skeleton kemudian menjawab, "Tapi dia ini yang paling jenius, sayang.”

"Yup, benar sekali, tuan putri yang cantik," kata Dreamcatcher bangga. Skull makin keki dibuatnya. Mau tak mau ia pun terpaksa mau.

Malam itu juga, Skull sungkeman sama Babenya demi mendapatkan The Soul. Dan ketika Dreamcatcher ingin ikutan sungkeman, Skull langsung menarik jubah cowok itu untuk menjauh. "Denger ya, setan tak berwajah. Sekalipun Babe ngizinin lo ikut, bukan berarti lo bakal bisa masuk istana. Biar lo tau aja ya, cuma Mumi Edelbrand yang terbaik. Gagah, tampan, dan banyak duitnya..ckckck..." Skull mesem-mesem membayangkan wajah cowok yang dicintainya tersebut, sampai ga sadar kalau jari-jari kakinya ketinggalan di belakangnya.

Dreamcatcher lalu mencibir. "Yee, masih mending guelah. Gue punya kastil sendiri, megah lagi. Satu lagi, gue bisa wujudin semua mimpi dan tau semua rahasia. Siapa tu gebetan lo namanya, Edel... Odol..."

Skull mendelik,"Edelbrand! Jangan sembarangan lo ngatain cowok gue Odol! Lo tu Dodol!"

“Pokoknya kerenan gue!”

Skull tak perduli apapun yang dikatakan Dreamcacher. Baginya yang terpenting adalah menemukan The Soul hingga ia bisa bersatu kembali dengan Mumi kesayangannya. Tetapi entah karena kesal atau marah, Dreamcatcher melangkah sangat cepat, hingga Skull ketinggalan di belakang. "Hei! Pelan dikit dong jalannya!" teriak Skull seraya memunguti tulang-tulang dengkulnya yang berlepasan satu persatu, lalu memasangnya kembali. Saat yang sama, beberapa bayangan muncul di sekitar Skull, membuat gadis itu menjerit histeris. Tulang belulangnya pada mencar ketakutan.

Dari arah berlawanan muncul lusinan bola api yang langsung menyambar mereka. Skull menjerit cantik sambil menempelkan kedua telapak tangannya ke pipinya yang kopong. Api-api itu ternyata tidak meledak mengenainya, melainkan berubah bentuk menjadi makhluk-makhluk gosong, membuat Dreamcatcher teringat sate jenglot yang kehangusan.

“Sial! Coyote Gosong! Musuh bebuyutan spesies Skeleton!” teriak Skull ketakutan. Konon, kelompok mafioso Coyote Gosong paling suka makan sop tulang dari kerajaan Skeleton. Pastilah mereka mengincar dirinya. Iihh... seeyeeemmm...

Makhluk-makhluk itu kompak menyerang. Namun Dreamcatcher berkelit sambil balas menyerang dengan jurus-jurus mimpi buruknya. Sial baginya, tanpa sengaja lengannya menampik kepala Skull yang masih menjerit-jerit hingga menggelinding lepas. "Uppss! Sorry!" Dreamcatcher nyengir.

"Dasar idiot!" semprot Skull emosi.

"Ha ha ha!" makhluk-makhluk itu tertawa terbahak-bahak.

Dreamcatcher sigap mengambil kepala yang masih memaki-maki itu lalu mengembalikan kepada empunya. Ia lalu membuat ilusi dan dari tangannya keluar kegelapan yang kemudian menggulung makhluk-makhluk itu, menjepitnya seperti sosis lalu kemudian ia mengikatnya erat-erat dan memakannya dengan lahap. "Wuenak tenaaann! Nah, putri, semuanya amat. Kau selamat.”

Skull yang terkesima melihat aksi Dreamcatcher sekarang hanya bisa terpana. Nih, cowok meski mukanya kagak jelas tapi lumayan keren juga,pikirnya. Dan … tiba-tiba saja keduanya saling bertatapan mata.

"Oke. Di sinilah The Soul berada," kata Dreamcatcher sambil benerin poni. Tampak di hadapan sana sebuah bentuk mirip gerbang lengkung muncul dipenuhi kabut serta bayangan-bayangan putih. Di dalam gerbang itulah The Soul. Bentuknya seperti hati. Tetapi, entah mengapa Skull hanya terdiam. Bahkan sepanjang perjalanan pulang, Skull tidak banyak bicara. Dreamcatcher merasa bersalah. Ia berpikir, mungkin saat menebas kepala Skull tadi, otak gadis itu bergeser. Tapi apa Skull punya otak, ya?

Di istana, Raja Skeleton pun bingung melihat anaknya berdiam diri di kamar. Ia memanggil Dreamcatcher dan marah-marah. "Kau memperkosa anakku ya, makanya dia diam saja? Jangan-jangan dia sudah hamil sekarang!"

“Hadeh, Om. Nyolek Skull aja aye gak berani. Giginya tajam, Om!” ucap Dreamcatcher manyun. “Dan lagi…uhm..anu..anu…”

“Anu-anu apa?”

Belum sempat Dreamcatcher menjawab, tiba-tiba Skull keluar dan menemui Babenya. “Be… aku gak jadi memakai The Soul.”

“Loh, kenapa?”

“Hm… anu.. anu…”

“Hei! Kalian berdua ini! Dari tadi anu…anu! Kalian kenapa sih?”

Dreamcatcher melirik Skull, sementara Skull malu-malu menatap cowok tanpa wajah itu. Rupanya, perjalanan dalam mencari The Soul membuat mereka menemukan The Love. ^_^ <3 :v

TAMAT

Boneka Lilin - Karya Wulan Dadi

November 15, 2017 0 Comments

Aku menatap puluhan lilin yang mulai padam. Untuk kesekian kalinya, aku menarik nafas berat, berharap semuanya tak terasa begitu menyakitkan.

Semilir angin malam memainkan dekorasiku. Rancangan spesial untuk dia yang paling istimewa.

Hari ini adalah hari kelahiran Ariana, wanita yang sudah menyita waktu dan pikiranku selama 5 tahun belakangan ini.

Aku sangat mensyukuri adanya hari ini, karna tanpa hari ini, aku tak akan bertemu dengan dia. Wanita pujaanku.

Ariana Septiani, cantik, manis, ramah, namun sangat tegas dan berpendirian. Meski aku tau betul, di balik sosoknya yang terlihat tegar dan kuat, dia tetaplah perempuan rapuh, dan membutuhkan perlindungan. Hal itu lah yang membuat aku tak bisa melepaskan pandangan dari sosoknya.

Awalnya, tak ada yang spesial darinya, pertemuan kami pun hanya biasa saja. Kami menjadi dekat karna berada di sekolah yang sama, di SMA.

Kucing, yah... yang membuat aku dekat dengan Ariana adalah seekor kucing. Aku pernah memergokinya sedang hujan-hujanan, dengan seragam yang basah kuyup dan menerawang, sementara payung yang dibawanya di biarkan tergeletak begitu saja di tanah.

Iba melihat dia yang menggigil dengan bibir pucat, aku menepikan motorku, dan menghampirinya.

"Ngapain, kamu? Kok hujan-hujanan? Payungnya kenapa?" aku menodongnya dengan setengah berteriak, agar suaraku tak tertelan derasnya hujan.

Ariana hanya diam, mengundang tanya di benakku. Dia menarikku dan memperlihatkan seekor kucing kecil yang di tutup di balik payungnya.

"Kamu mau meliharanya?" dia menatapku penuh harap, aku hanya terdiam, menimbang-nimbang sebelum memutuskan.

"Naik dulu! Nanti kau sakit, kita ke rumahku!" aku menarik Ariana spontan, tapi dia mengibas tanganku.

Kutatap dia dengan tajam, tak terima jika niat baikku di tolak. Namun, nyatanya Ariana mengambil karton berisi kucing itu, dan tetap memayunginya, tak peduli dengan tubuhnya yang basah, dan sudah memutih, pucat.

Aku tersenyum kecil, sembari menghidupkan sepeda motor, dan membawa kami melaju menuju kediamanku.

***

Bi Lela menghidangkan kami coklat panas, lengkap dengan beberapa jenis roti yang menghiasi. Setelah mengganti pakaian dan mengeringkan badan, aku menghampiri Ariana yang masih kuyup dan bermain dengan kucing putih yang di bawanya.

Kuserahkan sepotong baju dan celana padanya, dia menolakku halus.

"Pake aja, kamu udah basah kuyup begitu, kalo nggak di ganti bajunya pasti besok sakit."
Ariana menggeleng pelan.

"Ini cukup, kok." Dia memamerkan handuk yang di berikan Bi Lela.

"Kamar mandinya di sebelah sana, kamu harus ganti baju. Atau aku akan dapat tontonan gratis."

Wajah Ariana memerah seketika, dia menyambar pakaian di tanganku dan berlari kecil menuju kamar mandi, membuatku kesulitan untuk menahan tawa, melihat tingkahnya.

Aku mengambil pengering rambut dari kamar Shashy, adik sepupuku yang juga tinggal di rumahku, dia duduk di kelas 3 SMP waktu itu.

Dan detik berikutnya, aku sudah sibuk mengeringkan bulu kucing itu.

Tak lama, kulihat Ariana memasuki ruangan dengan malu. Kemudian aku tergelak saat mengetahui penyebabnya.

Baju yang kuberikan sangat pendek baginya, hingga pusarnya mengintip. Dan celana yang biasanya menutupi lutut, saat dipakai Shasy, sekarang berada di atas lutut, hingga sedikit memamerkan paha Ariana yang tampak putih dan terawat.

"Aku mengerti!" ucapku dengan ceringai, meninggalkan ruang tamu itu dan menuju kamar. Kuambil baju kausku dan celanaku. Kemudian kembali menghampiri Ariana.

"Aku lupa, ternyata kau jauh lebih tinggi dari sepupuku."

Ariana tersenyum, sangat memikat. Sebelum menyambar bajuku, dan mengenakannya.

Saat Ariana kembali muncul dengan kausku. Aku kembali terkekeh, karna baju itu terlihat kedodoran di tubuh ramping milik Ariana, namun lebih baik daripada memamerkan pusar.

"Kenapa celananya nggak diganti, juga?" tanyaku saat tawa mulai mereda.

"Nggak usah, ini aja. Maaf merepotkan."
Ariana menaruh celana itu di atas sofa. Perhatiannya pun kembali teralih pada kucing putih yang ada di gendonganku.

Dia mengambil kucing itu, seraya membelainya lembut.

"Makasi ya. Hhhmmm nama kamu siapa, ya? Aku lupa."

Aku tertegun melihat Ariana yang tersipu malu.
Kemudian tawaku pecah,
"Kamu mau ikut denganku, tapi tak tau namaku? Hahahaaa..."

Ariana hanya tertunduk malu.
"Aku tau kamu, karna banyak anak perempuan yang membicarakanmu. Hanya saja aku lupa, siapa namamu."

Aku memandang Ariana penuh selidik.

"Oke, ku akui. Aku tak tertarik saat mereka membicarakanmu. Atau cowok lain." Tambahnya menjelaskan.

"Hahhahahaaa kau bahkan tak sadar, bahwa kita berada di organisasi yang sama." Ujarku yang membuat warna merah, makin tergambar di wajah gadis itu.

"Aku Randy, Randy Dwi Sanjaya . Dan kamu Ariana, Ariana Septiani." Ucapku, berkonsentrasi dengan coklat panas yang mulai mendingin.

"Kamu tau nama lengkapku?" dia tampak takjub, padahal menurutku, bukan sesuatu yang aneh, jika aku hafal namanya. Karna aku adalah seniornya, dan sudah 1 minggu bernaung di organisasi yang lebih di dominasi dengan perkenalan.
OBSESI adalah singkatan dari Organisasi Bidang Seni dan Sastra Indonesia, sebuah organisasi pecahan dari OSIS yang ditugaskan mengurus segala yang berhubungan dengan seni dan satra, disanalah aku tau nama lengkap Ariana, dari data para anggota tentunya.

"Maaf Randy, aku agak kesulitan menghafal wajah orang, kecuali mereka yang benar dekat denganku." Ariana terlihat makin malu, wajahnya sudah semerah tomat sekarang.
Aku hanya tersenyum paham.

'Ada berapa banyak kepribadian unik, yang di miliki gadis ini?' Batinku penasaran.

"Randy, mungkin dalam 3 jam terakhir ini, aku sudah merepotkanmu. Tapi, maukah kau merawat kucing putih ini untukku?" Ariana bertanya ragu-ragu.

Jujur, aku enggan memenuhi permintaannya.

"Kenapa tak pelihara sendiri? Kamu terlihat lebih menginginkannya?"

"Aku gak bisa, karna sekarang ini aku tinggal di apartemen dengan tanteku. Di sana, kami gak diperbolehkan memlihara binatang." Jelas tergambar raut kecewa di wajah itu, tanpa pikir panjang aku menerima tawaran Ariana. Membuat gadis berambut panjang itu, menghambur ke pelukanku spontan.

"Ups, maaf... Dan, terimakasih."

Aku hanya mengangguk geli, menyaksikan Ariana yang salah tingkah waktu itu.

Peristiwa itu, masih tergambar jelas di memory otakku. Kembali terputar bagai film dokumenter, menampilkan potongan adengan yang sangat jelas.

'Meeeoooww'

Suara si putih membawaku kembali kedunia nyata, si kecil yang kurus itu sudah berubah menjadi gendut dan kuat sekarang. Dengan manja, dia menggesekkan tubuhnya pada kakiku yang kulipat. Kuraih dia, dan kuelus lembut.

Semenjak itu, aku dan Ariana menjadi sangat dekat. Banyak waktu yang kami habiskan bersama, tak hanya di sekolah. Karna Ariana kerap bermain ke rumahku, untuk mengunjungi si putih di waktu libur.

Pribadinya yang ceria, dan semua tingkah konyolnya menarik perhatianku. Hingga aku tak keberatan dengan rumor pacaran yang beredar, membuatku sulit untuk berdekatan dengan cewek lain. Tapi, aku tak keberatan, karna Ariana sudah lebih dari cukup untukku. Walaupun sebenarnya aku tak berpacaran dengannya.

Benar saja, dia memiliki banyak kepribadian unik. Walau tak semua kisah hidupnya menyenangkan.

Orang tuanya memilih berpisah saat dia akan mengenakan seragam abu-abu.
Pertengkaran di antara mereka masih terpicu, saat pengadilan mengambil keputusan tentang hak asuh. Sehingga, Ariana lebih memilih untuk dirawat tantenya ketimbang salah satu orang tuanya.

Untuk pertama kalinya, Ariana meluapkan emosinya di hadapanku. Di sebuah rumah pohon, yang di buatkan orang tuaku saat aku kecil. Dia mengungkapkan betapa tertekan batinnya saat pertengkaran selalu mengisi harinya di rumah, hal itu mengganggu kondisi psikisnya, hingga gadis itu tak pernah percaya pada pria. Yang menjadi alasan utama, kenapa dia tak pacaran seperti kebanyakan gadis usia kami.

Aku masih ingat, saat aku menghapus air matanya perlahan, dan memeluknya. Meminjamkan dada bidangku untuk meringankan beban yang di rasakannya. Saat itu, aku berjanji di lubuk hatiku. Bahwa, aku akan selalu melindunginya, dan tak akan pernah menyakitinya sepanjang hidupku.

Tekat itu membuat Ariana menempati posisi istimewa di kerajaan hatiku.

Namun, hubungan kami merenggang. Saat dia mulai dekat dengan seseorang kakak kelas 3.
Oh ya, aku lupa memberi tahu, waktu itu aku duduk di kelas 2, dan Ariana di kelas 1 SMA.

Awalnya, aku tak keberatan atas kedekatan mereka, walau rasa risau tak terhindarkan di hatiku.

Tapi hatiku benar-benar hancur, saat dia dengan penuh keceriaan dan dengan wajah tersipu khasnya, menceritakan bawa dia dan Nico sudah menjadi sepasang kekasih.

Kurutuki kebodohanku yang tak mengaku cinta padanya, tapi meski tak ada kata yang terucap, harusnya dia mengerti betapa tiap aksinya selalu mengundang perhatianku, yang kurasa, sudah kuberi lebih dari seorang sahabat.

Itu adalah patah hati pertama yang ku alami, walau sebelumnya aku bisa dengan mudah menolak cinta yang di tawarkan banyak gadis di sekitarku. Karna, memang wajah dan kemampuanku yang cukup menyita perhatian (tak bermaksud meninggi, tapi itu pendapat orang tentang aku).

Kuakui aku berantakan saat itu. Tak hanya hati, tubuhku pun tak terurus dengan benar. Aku juga kerap absen sekolah, hanya untuk menghindari Ariana.

Tapi dengan wajah polosnya, gadis itu menemuiku dengan beruraian air mata.

"Kamu kenapa, Ran?"

Aku hanya menatap Ariana tanpa ekspresi, saat dia menemuiku yang sedang berkumpul dengan teman-temanku.

Mereka seperti mengerti, bahwa aku dan Ariana dalam kondisi tak bisa di ganggu. Maka dengan penuh kesadaran, mereka meninggalkan kami di studio musik itu, hanya berdua.

"Gak apa-apa," jawabku sembari memalingkan muka, dan kembali menghisap rokok yang kuapit di telunjuk dan jari tengah.

Ariana merebut rokok itu, mematikannya dengan amarah.

"Berhenti menghindariku! Kamu juga sudah habiskan begitu banyak benda ini!" Ariana memperhatikan sekelilingku yang penuh dengan puntung dan sisa bungkus rokok.

Aku hanya menghirup nafas berat.

"Kenapa kamu menghindari aku? Jawab Randy!"

Tak tega aku melihat air mata mulai membasahi pipinya lagi.

Aku memperbaiki posisi dudukku.
"Kurasa itu yang terbaik," ucapku mencoba terdengar se-biasa mungkin.

"Apa masalahnya? Aku tak kan mengerti jika kamu tak bicara!" Ariana tampak berada di ambang kesabarannya.

"Aku tak mengerti dengan cara pikirmu, Ran! Apa persahabatan yang selama ini kita jalin, belum bisa membuatmu terbuka padaku? Aku kecewa, Ran! Kukira, selama ini kita memang sahabat. Tapi ternyata aku tak berarti apapun bagimu!"

Aku memalingkan wajahku, hatiku teriris melihat sosok Ariana yang tampak begitu menyedihkan.

"Lihat aku, Randy!" Ariana menarik tanganku, membuat aku berpaling menatapnya.

"Masalahnya, apa? Jelaskan biar aku mengerti! Aku tau semua tak berjalan seperti biasa, baru kali ini aku melihatmu begitu terpuruk." Suara Ariana yang bergetar memancing emosiku.

"Kamu menginginkan aku lebih berantakan dari pada ini?" sinisku, sembari menarik kasar tanganku dari genggamannya.

"Kamu tau apa yang membuatku hancur? Karna kamu memilih dia! Karna kamu tak bisa rasakan betapa besar cintaku selama ini padamu! Karna kamu tak mampu melihat pengorbananku, walau sedikit saja! Aku cinta kamu! Aku mencintai Ariana Septiani, jauh sebelum kepar*t itu mengenalmu! Dan sekarang, dangan mudah dia menyita perhatianmu! Bahkan mampu merebut hatimu yang begitu tertutup untukku!" aku mulai menceracau emosi.

Ariana memelukku, mencoba menenangkan aku dengan hatinya yang kurasa juga tak tenang. Kami hanya terdiam di ruangan itu.

Hening, tanpa kata. Yang ada hanya air mata Ariana yang terus mengalir membasahi bajuku.

Aku melepas pelukan gadis itu, kuusap lembut air matanya, dan tersenyum kecut, menyadari kenyataan, bahwa aku sudah melanggar janjiku untuk tidak menyakitinya.

"Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan hatiku, dan setelah itu, kupastikan semua akan kembali seperti sedia kala. Aku tak akan mengganggu hubunganmu dengan Nico, dan aku juga tak akan pernah meninggalkanmu."

Terukir senyuman dari bibir mungil itu, ingin rasanya aku mengecupnya. Tapi aku tak cukup gila untuk menyakitinya lagi. Jadi aku hanya bisa diam, dan menggigit bibir bawahku.

"Aku tak bisa tanpamu, Ran! Aku mencintaimu, lebih dari pada Nico." Ariana berbicara seraya sesegukan.

'Kamu hanya perlu meniggalkannya, 'kan? Dan pilih aku!' ujarku tercekat di tenggorokan. Karna aku yakin, dia pasti menguras lagi air matanya, jika aku ucapkan itu.

"Aku mencitaimu sebagai sahabatku! Dan itu jauh lebih dasyat dari pada cinta untuk kekasih. Mengertilah, aku juga berantakan tanpamu." Ariana, lebih terdengar seperti merintih.

Kutarik dia kembali ke pelukanku, dan kuusap rambut panjangnya lembut.

"Maaf," lirihku, nyaris tanpa suara.

***

Dering ponsel pertanda sms mengagetkan lamunanku, kuturunkan si putih dari pangkuanku seraya meraih Blackberry itu tanpa semangat.

'Aku agak terlambat, Randy! Nico tiba-tiba muncul dan memaksaku untuk mengikutinya ke suatu tempat, hanya sebentar. Dan kupastikan, aku berada di atap sekolah sebelum kau menyadarinya.'

_Ariana_

Begitu yang tertera di layar ponselku. Sudah kuduga, Nico lah yang menjadi alasan keterlambatannya.

Kulirik jam tanganku, yang menunjukkan jam 9 malam.

Nafas berat kembali memenuhi ruang paru-paruku. Berkhayal bahwa ini tak begitu menyakitkan, seraya merebahkan badanku dan berbaring di atap yang terasa dingin itu.

Sudah lama aku harus memendam rasa sakit, tiap kali melihat senyum ceria Ariana tak lagi tertuju untukku seorang. Itu pula yang membuatku dapat melakukan hal gila, yaitu mengirim Nico ke rumah sakit dan mendapat perawatan selama seminggu.

Aku sungguh tak bisa terima, saat menyaksikan air mata Ariana tumpah karna bajing*n itu. Meski Ariana menyembunyikan semuanya padaku, aku mengetahui bahwa ternyata Nico menghianatinya dengan bersama wanita lain.

Kontan saja, darahku mendidih hingga kepala. Tanpa pikir lagi, aku menemui Nico yang waktu itu tengah melakukan observasi karya tulisnya.

Tak terhitung banyak pukulan dan tendangan yang kulayangkan padanya, mungkin jika tak ada Ariana yang melindungi cicunguk itu, aku pasti sudah mengirimnya ke neraka. Harga yang pantas untuk penghianatannya, kurasa.

Namun Ariana tak begitu, dia memaafkan Nico. Walau dia pura-pura tak peduli pada cicunguk itu. Tapi aku tau, Ariana selalu curi kesempatan untuk membesuk Nico.

Bukannya aku merasa senang di atas kesedihan Ariana, tapi aku merasa dia jauh lebih membutuhkan aku di banding saat dulu. Dengan rajin kuhibur dan kumanjakan dia penuh perhatian, selalu mencoba ada saat dia butuh aku.

Walau faktanya, semua itu hanya sia-sia. Karna 1 bulan setelahnya, Ariana memilih memaafkan Nico dan kembali bersama.

Aku tersenyum hambar, menyadari betapa bodohnya aku. Apa yang kuharapkan dari semua ini? Ariana membalas cintaku? Kurasa, hingga kiamat menjemput itu tak akan kudapat.

Kulirik lagi jam tanganku, ternyata sudah jam 1 malam sekarang. Semua lilin yang kupersiapkan dari pagi itu sudah padam, dan tinggal lah aku dalam kegelapan, tanpa sedikitpun cahaya kehidupan.

Aku hanya bisa pasrah, karna memang akulah yang bodoh untuk menunggunya di sini. Berharap dia akan merayakan hari kelahirannya hanya denganku, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Tapi entah kenapa, Arianaku makin menjauh sekarang. Jurang pembatas antara kami sudah melebar, jauh dari apa yang kuperkirakan.

Aku menggendong si putih yang sudah terlelap sembari tersenyum, mengejek diriku yang pecundang.

"Kita pulang, semuanya sia-sia sekarang. Dia sudah bisa melupakan kita. Kau dan aku! Kau mengerti?" bagai orang idiot aku bicara dengan kucing itu, yang hanya diam tanpa menjawab ucapanku.

Entah dia ikut sedih, atau hanya ngantuk, yang jelas, dia tak akan mungkin meladeni ucapanku.

***

Paginya, aku mendapati Ariana tersenyum tanpa dosa di depan pintu kamarku.

Tak tau aku harus berucap apa dan bagaimana.

"Randy, maaf! Kemarin Nico mengajakku ke sebuah pameran, dan sudah larut malam kami meninggalkan tempat itu, jadi kupikir kamu pasti sudah pulang."

Aku hanya melihatnya datar, tak tau harus senang atau sakit hati melihat gadis ini.

"Ran, aku beli ini kemarin. Khusus untukmu... Dan ini untuk si putih, mana dia? Aku juga harus minta maaf padanya."

Senyum Ariana menusuk tepat di jantung hatiku.

Dimana sumpah serapah yang semalam ingin kusalaurkan?

Mana rasa benci itu?

Aku hanya menyunggingkan senyum, saat melihat gadis itu bermain santai dengan si putih. Tak menyadari betapa aku uring-uringan dan sakit hati karenanya.

Kubuka perlahan kotak itu, kudapati boneka lilin berupa kucing di dalamnya.

"Lucu, 'kan? Aku langsung ingin memberikannya padamu, saat melihatnya kemarin. Dan lihat, aku juga punya bel untuk si putih, agar dia terlihat lucu dan tak hilang." Ariana memasangkan sebuah lonceng yang berupa kalung pada putih.

"Harusnya kamu berterima kasih, karna kenyataannya aku selalu mengingatmu. Meskipun kamu tak mengingatku, kamu bahkan tak ingat bahwa kemarin ulang tahunku! Jangankan kado, ucapan happy birthday-pun tak kuterima darimu." Ariana memajukan bibirnya, yang terlihat menggemaskan bagiku.

'Tak tau kah dia, betapa aku mati-matian mempersiapkan semuanya kemarin? Tapi semua hanya sia-sia.' Kesalku membatin.

"Jangan bermimik seperti itu! Minta maaf kek, karna udah lupa! Kasih ucapan sama kado gitu, katanya sahabat." Ariana melemparku dengan bantal.

"Aku seperti orang bodoh, tau! Masa aku ngasih kamu kado di hari ulang tahunku? Harusnya aku dong yang di kasih kado." Ariana mulai merajuk.

Aku terkekeh melihat prilakunya, kudekati dia yang masih cemberut.

"Happy birtday, jelek! Maaf udah lupa, dan nggak bisa ngasih kado. Aku bokek!" ucapku membuat Ariana makin kesal.

Dia memukul lenganku tanpa ampun. Di sertai tawa dan canda kami.

"Randy! Kamu ngeselin!" ucapnya dengan muka merah karna marah.

Aku hanya cengengesan.
Biarlah kusimpan kesedihan, kekesalan, dan kekecewaanku semalam. Biarkan yang dia lihat di wajahku hanya sebuah senyuman.
'Mungkin aku hanya mampu menjadi sebatang lilin di hidupnya, dengan cahaya remang dan tak berarti apa-apa. Namun aku akan menjadi boneka lilin terindah, yang membiarkan tubuhnya mencair dan tersakiti untuk setitik cahaya kebahagiaan. Panggil aku idiot, karna mempertahankan rasa ini, namun suatu saat nanti aku yakin, dia pasti bisa sadari, tak ada yang mencintainya, setulus cinta yang kuberikan. Meski untuk itu, aku harus merasakan sakit, namun janjiku untuk selalu melindungi tak kan pernah kuingkari, hingga saatnya kelak. Saat aku harus padam, dan melepasnya untuk melakukan janji suci dalam sakralnya sebuah pernikahan.' Aku membatin sembari memandang bidadari yang tak akan mungkin kuraih itu, dengan penuh makna.

**The End**

Kado Hijau Muda (Cinta Dalam Diam) - Karya Doni Kataniama

November 15, 2017 0 Comments

Kugoreskan pulpen di kertas diary-ku, entah apa tulisan itu, aku tak terlalu memahami. Ini memang sudah menjadi kebiasaanku, diary adalah sahabat terbaikku, di dalamnya aku biasa mencurahkan semua yang ada dalam pikiranku. Sudah ribuan puisi, cerita, bahkan sajak-sajak cinta yang kuukir di sana.
Diary ini adalah hadiah ulang tahunku yang ke 16.
Oh ya, aku belum memberi tahu, sekarang umurku 18 tahun, jadi sudah lebih kurang dua tahun diary ini menemani hari-hariku.
Tapi, masalahnya, aku tak pernah tahu siapa yang mengirim hadiah diary ini untukku.
Kado berwarna hijau muda itu, tak ada nama pengirimnya.
Hanya ucapan selamat ulang tahun.
Bahkan bukan cuma sekali, sudah tiga tahun belakangan ini, aku selalu mendapat hadiah misterius dari seseorang yang tak mau menunjukkan identitasnya, di setiap hari ulang tahunku.

”Dys, lo di liatin mulu tuh ama Kak Rama!” Agret menggodaku sambil menunjuk ke arah Kak Rama yang kala itu sedang duduk di tangga lobby kampus sambil memandang ke arahku.
Aku hanya tersenyum simpul.
”Kayaknya dia suka sama lo Dys.” sambung Agret lagi.
Lagi lagi aku hanya tersenyum.
Kak Rama sebenarnya kakak kelasku sewaktu SMA, tapi aku tak begitu akrab mengenalnya.
Dia adalah idola di sekolahku dulu, selain ganteng, dia juga tajir dan jago maen futsal. Itu yang membuat cewek-cewek tergila-gila padanya.
Sedangkan aku, hanya cewek biasa yang bahkan tak punya keahlian apa-apa.
Sekali yang aku ingat, Kak Rama pernah memasangkan dasi di leherku waktu MOS.
Itu membuat jantungku seperti mau meledak.
Waktu itu, semua peserta MOS harus memakai dasi panjang, aku lupa membawa dasi, alhasil aku harus memakai dasi yang terbuat dari karangan bulu ayam, yang di cabut dari kemoceng.
Harusnya itu menyedihkan, tapi aku malah senang. Bukan hanya karna Kak Rama yang memasangkannya, tapi karna dasi unik itu aku jadi mudah di ingat.
”Ooh Dyska yang dulu pake dasi bulu ayam itu yah?” itulah kesan yang mereka ingat ketika mendengar nama Dyska.
Bahkan sampai saat ini, dasi atau yang lebih tepat disebut kalung bulu ayam itu, masih ku simpan di lemariku.

***

Jujur sebenarnya aku begitu mengagumi Kak Rama. tapi, ini bagaikan pungguk yang merindukan bulan.
Aku tak pernah berani mendekati kak Rama. Perasaan minder mendominasi diriku.
Karna aku pun sadar diri, tak mungkin cowok sekeren Rama bisa suka sama aku. Itulah mengapa aku hanya tersenyum saat Agret menggodaku.
Tak jauh berbeda seperti dulu di SMA, di kampus Kak Rama juga menjadi idola.

Hari demi hari, aku hanya bisa menyampaikan kekaguman ini kepada diary yang selalu saja diam setiap ku ajak bicara. Waktu demi waktu kulewati, beganti bulan dan tahun.

***

27 September 2009.

Matahari masih mengintip di ufuk timur ketika suara pintu yang diketuk dari luar membuat aku terpaksa bangun.

'Kreeek' Aku membuka pintu sambil menggosok-gosok mataku. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya ada sebuah kotak berwarna hijau muda.
Aku yang sudah tak asing lagi dengan kotak itu segera membuka paksa sampulnya yang berhias pita warna-warni.
"Wow, sebuah boneka Doraemon." Senyumku merekah, aku tahu ini pasti dari si pengirim misterius itu. Ini kali ke empat aku mendapat kado darinya.
Dan seperti biasa, tak ada nama pengirimnya. Hanya selembar kertas bertulisan
'Selamat ulang tahun.
Dari pengagum rahasiamu.'

Masalahnya siapa yang bersedia menjadi pengagum rahasia gadis seperti aku. Sama sekali tak ada yang istimewa dari diriku ini.
Wajahku tak terlalu cantik, otakku juga pas-pasan. Tapi kenapa manusia misterius itu mengagumiku?

***

"Udah empat kali berturut-turut?" Agret mengerutkan keningnya.
Aku hanya mengangguk pelan.
"Wah, hebat, lo punya fans sejati." Agret mulai menggodaku.
Tapi aku tak memperdulikannya.
Aku mulai merasa tak nyaman dengan kado misterius yang sering kuterima. Bukan karena aku tak suka dengan hadiahnya, tapi aku merasa orang itu terlalu berlebihan mengagumiku. Dia bahkan tak pernah memberiku kesempatan untuk mengucapkan terimakasih kepadanya.

Sejenak aku menerawang, mencoba menerka-nerka, siapa gerangan pengangum rahasiaku itu.
Apakah mungkin dia benar-benar mengagumiku? Beberapa wajah teman SMA mulai menghiasi penerawanganku, tapi tak satupun yang menyangkut dalam tebakanku.
Aku pikir mereka semua tak punya cukup kuat alasan untuk mengagumiku.

***

27 September 2010.

Lagi-lagi aku mendapatkan sebuah kado dengan kotak dan sampul yang selalu sama setiap tahunnya. Kali ini dia mengirimkan sebuah notebook lucu, atau aku lebih suka menyebutnya dengan kata 'unyu'.

Aku semakin penasaran. Bagaimana caranya agar aku bisa mengetahui pengirimnya? Mau sampai kapan pengagum misterius itu merahasiakan jati dirinya?
'Konyol sekali rasanya kalau sampai harus menyewa detektif.' Gumamku.

***

Kini aku sudah menjadi seorang sarjana muda setelah menyelesaikan tiga tahun study dengan hasil yang cukup memuaskan. Aku sekarang bekerja di salah satu perusahaan swasta di daerah Jakarta selatan.
Aku sudah lama tak bertemu Kak Rama. Aku juga sudah sedikit menghapus kekagumanku terhadapnya.

Sampai akhirnya seorang laki-laki mengetuk pintu hatiku.
Namanya Firman, dia teman sekantorku. Perlahan cinta bersemi diantara kami. Hingga kami memutuskan untuk nikah muda.

”Gret, lu urus undangan nya ya, pokoknya lu undang semua temen kampus yang kenal ama gue.” aku meminta Agret meng-handle undangan pernikahanku yang tak lama lagi akan dilangsungkan.
”Siap boss.” jawab Agret sambil meletakkan telapak tangannya di dahi, persis seperti seorang bawahan yang sedang memberi hormat kepada atasannya.

***

27 September 2011

Hari ini adalah hari yang istimewa bagiku. Ya hari ini adalah hari pernikahanku yang bertepatan dengan ulang tahunku yang ke 21.
Acara pernikahan di gelar di halaman rumah ku yang memang cukup luas.
Tamu sudah ramai sekali, datang dari berbagai kalangan.
temen SMA, temen kuliah, temen kerja, sanak saudara, rekan bisnis Ayah bahkan teman arisan Ibu semuanya sudah berkumpul membuat suasana semakin terlilat meriah.
Tapi ada satu tamu yang mengejutkanku. Kak Rama.
dia datang membawa sebuah kado berwarna hijau muda.
”Apa Agret juga mengundang Kak Rama?” gumam ku.
Kak Rama kelihatan kebingungan. Aku pun meminta izin kepada Firman yang kala itu sudah sah menjadi suamiku untuk menemui Kak Rama.
”Kak Rama juga dateng?” Sapa ku lembut.
”Acara ulang tahunnya meriah sekali,” jawab kak Rama.
Aku terkejut.
”Ini bukan acara ulang tahun Kak,” ucap ku dengan hati-hati.
Kak Rama memandang lekat ke wajah ku. Pandangan itu penuh tanda tanya.
”Ini acara pernikahanku.” aku seakan mengerti kebingungan Kak Rama.
”Pernikahan?” Kak Rama kelihatan begitu shock mendengarnya.
”Memangnya Kakak ga baca tulisan di undangannya?”
”Undangan? Aku ga dapet undangan, aku ke sini atas inisiatif ku sendiri, karna ini hari ulang tahunmu makanya aku datang untuk memberikan kado ini.”
Aku terdiam mendengar penjelasan Kak Rama.
ku pandangi kado yang di pegang Kak Rama itu.
Persis seperti bungkus kado yang selama ini selalu ku terima setiap hari ulang tahun ku.
”Jangan bilang kalo Kak Rama..”
”Iya, aku lah orangnya, aku yang selama ini ngirim kado ke kamu.” jawab Kak Rama sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku pun tercengang.
”Kenapa baru sekarang Kakak bilang?”
”Sebenarnya aku menyukaimu sejak pertama kali aku memasangkan dasi bulu ayam itu di lehermu, tapi aku ga pernah berani mengungkapkannya, karna kamu selalu menghindar.”
”Itu karna aku malu Kak, aku merasa ga pantas ngarepin Kakak.” Tanpa ku sadari butiran hangat keluar dari kelopak mata ku.
”Kenapa baru sekarang Kakak datang? disaat aku sudah menjadi milik orang, kenapa kak? kenapa?” Isak tangis tak bisa lagi ku elakkan. Tapi aku segera menghapusnya, aku tak mau suamiku melihatnya dan berpikir yang tidak-tidak.
”Maafkan aku Dyska, selamat ulang tahun dan selamat menempuh hidup baru yah!”
Ucapan selamat yang terasa begitu menyayat hatiku.
Kenapa aku harus mengetahui kalau dia juga menyukaiku.
Kenapa aku baru mengetahui itu disaat semuanya sudah terlambat..

**TAMAT**

Sydney

November 15, 2017 0 Comments

Langit Sydney di akhir musim semi yang sunyi. Bisu. Sebisu gerakan berpuluh ibis putih yang melenggang melintasi hari yang kian menerik. Aku melangkah pelan, mengikuti gerak seekor ibis yang memisahkan diri dari kawanan. Setelah berpuluh-puluh langkah, aku berhenti. Sebab ia juga berhenti. Ibis itu tampaknya mengerti kalau tengah diikuti. Tapi dia hanya diam, seolah mengerti kalau dia tidak sedang dalam bahaya.

Kupangkas jarak lima meter antara kami menjadi satu meter, berharap dengan demikian suara yang keluar dari paruhnya dapat kudengar jelas. Seperti mengerti, ia membuka paruh panjang hitamnya lebar-lebar, namun hanya sunyi yang kutangkap di pendengaranku.

Aku bersimpuh, menjajarkan kameraku padanya. Berharap jika suaranya tak dapat kudengar, mungkin lewat gambar aku bisa mengerti bahasanya. Kepala pelontos ibis itu miring ke kiri dan ke kanan, seolah mencerna apa maksudku. Tapi ia menunjukkan sikap damai, seolah mengerti kalau dia tidak sedang terancam.

Tanganku spontan terulur ke arahnya, ia merunduk. Tapi, sejengkal menuju kenyataan, sebuah tepukan mendarat di bahuku. Aku terperanjat, menatap kecewa pada arah ibis itu berlari sebelum memutar kepala melihat siapa yang melakukannya. Sosok gagah bak ksatria dari negeri antah berantah berdiri disana, tersenyum padaku.

“Maaf, aku membuat ibismu pergi,” ucapnya, atau setidaknya, menurutku itu yang tengah diucapkannya.

“Tak usah cemas, di…” gerak bibirnya tak bisa lagi kuartikan. Melihatku yang tengah memelintir kening mencerna ucapannya, ia berhenti berbicara, kemudian mengambil sebuah pena dari celana khakinya yang berwarna kecoklatan, dan berlembar-lembar kertas dari tas sandangnya.

“Maaf, aku menulis ini. Dari tadi aku memanggilmu, tapi kau tak menyahut. Tanpa bermaksud menghina, makanya aku berpikir kalau kau tuli.” Bunyi tulisan di atas kertas itu.

“Tak masalah, aku memang tuli,” jawabku. Kupikir aku tak perlu melakukan hal yang sama dengannya, karena kurasa dia bukan seorang tunarungu. “Kalimat terakhirmu tadi apa?”

Ia kembali sibuk dengan kertas dan penanya.

“Aku bilang tak usah cemas. Masih banyak ibis lain yang bisa kau temui disini,” tulisnya.

Anggukan setuju dariku membuatnya tertawa. Aku mendesah pelan, terasa tawa itu begitu menyiksa bagiku.

“Hei lihat!” Ia kembali berucap, sembari mengarahkan kameraku pada enam ekor ibis yang berada tak begitu jauh dari kami. Mereka bergerak lambat, kemudian menghentak. Berputar, mengepak. Begitu dinamis. Aku bahkan kini tengah membayangkan enam sosok ballerina tengah menari diiringi sebuah simfoni dari langit.

Kuatur posisi kamera untuk membidik gambarnya. “Kupikir sekarang aku tengah melihat enam ballerina tengah menari diiringi simfoni,”

“Tentu saja, mereka menari dalam bahasa rasa.” Tulisan dalam kertas tersaji lagi, menghalang pandanganku.

“Berhentilah menuliskannya. Biarkan saja aku membaca gerak bibirmu,” ucapku. Sudut mataku menangkap gerakan mengangguk darinya. Bibirnya kembali bergerak. Kuarahkan shutter kameraku pada wajahnya yang oval dengan mata hazel menghiasi.

“Barangkali, itulah keuntungan memiliki kekasih tuli. Dia selalu mendengarkanmu dengan mata. Kau akan selalu merasa diperhatikan.” Gerak bibirnya kutangkap.

“Tapi tak selamanya diperhatikan atau memperhatikan itu menyenangkan. Saat kau bertengkar dengan kekasihmu, perhatian itu akan membuatmu jengah,” timpalku pada sosoknya yang kini mendekat ke arah ibis-ibis itu. Ia seperti berucap, tapi tanpa melihat gerak bibirnya aku tak bisa mengartikan ucapannya.

Aku mendekatinya yang kini tengah bersimpuh di hadapan ibis-ibis itu. Rupanya, gerakannya yang mengulurkan tangan pada mereka mengganggu kenyamanan para ibis. Mereka berterbangan. Membuatku tertawa melihat raut wajah kecewanya.

“Kau senang sekali melihatku ditelantarkan,” Ia berucap dengan raut wajah kesal. Aku kembali tertawa.

Ia mengusap kepalaku, lalu membimbingku duduk di bawah pohon rindang yang entah apa namanya. Selama beberapa saat, kami diam.

“Sejak kapan?” dia menyela diam.

“Maksudmu? Sejak kapan aku tuli?”

Anggukannya membuatku menghela napas berat. “Dua bulan lalu, beberapa hari setelah kudapatkan visa-ku.” Ia memandangku iba. “Penyakit lupus yang ada di dalam darahku menyerang system imun, melumpuhkan saraf-saraf pendengaranku. Awalnya aku tak bisa menerimanya, semua kusalahkan. Termasuk Tuhan. Tapi semakin aku berusaha menyangkal, kekecewaan makin berat kurasakan. Jadi kuputuskan saja menerimanya, mungkin Tuhan sedang mengajarkanku mendengar dengan cara lain,” jelasku.

“Kenapa kau tak pakai alat bantu dengar saja?”

“Aku sudah coba. Tapi yang kudengar cuma suara bising yang memekakkan. Makanya aku tak pakai. Maaf yah, aku tak berusaha menipumu,” desisku lagi.

“Kau tak perlu minta maaf, Kau tak pantas untuk diberi maaf, Sydney!”

“Kau tak mau memaafkanku?”

“Kau tak punya salah padaku, jadi apa yang harus kumaafkan?”
Tak percaya, kutatap wajahnya. Sungguhkah ia memaafkanku? Semudah itu?

“Kau terlalu memanjakanku dengan belas kasihanmu. Kenapa kau buat semudah ini?”

“Kenapa aku harus mempersulitmu jika bisa dibuat lebih mudah?” Ia membalasku dengan tatapan tajam dari mata hazelnya. “Adikmu, Keyra sudah menceritakan semuanya,” tambahnya.

“Harusnya kau dengar dariku, bukan dari Keyra,” ucapku lagi. “Tak seharusnya aku membiarkanmu berprasangka. Aku memang pecundang.”
Sydney

Langit Sydney di akhir musim semi yang sunyi. Bisu. Sebisu gerakan berpuluh ibis putih yang melenggang melintasi hari yang kian menerik. Aku melangkah pelan, mengikuti gerak seekor ibis yang memisahkan diri dari kawanan. Setelah berpuluh-puluh langkah, aku berhenti. Sebab ia juga berhenti. Ibis itu tampaknya mengerti kalau tengah diikuti. Tapi dia hanya diam, seolah mengerti kalau dia tidak sedang dalam bahaya.

Kupangkas jarak lima meter antara kami menjadi satu meter, berharap dengan demikian suara yang keluar dari paruhnya dapat kudengar jelas. Seperti mengerti, ia membuka paruh panjang hitamnya lebar-lebar, namun hanya sunyi yang kutangkap di pendengaranku.

Aku bersimpuh, menjajarkan kameraku padanya. Berharap jika suaranya tak dapat kudengar, mungkin lewat gambar aku bisa mengerti bahasanya. Kepala pelontos ibis itu miring ke kiri dan ke kanan, seolah mencerna apa maksudku. Tapi ia menunjukkan sikap damai, seolah mengerti kalau dia tidak sedang terancam.

Tanganku spontan terulur ke arahnya, ia merunduk. Tapi, sejengkal menuju kenyataan, sebuah tepukan mendarat di bahuku. Aku terperanjat, menatap kecewa pada arah ibis itu berlari sebelum memutar kepala melihat siapa yang melakukannya. Sosok gagah bak ksatria dari negeri antah berantah berdiri disana, tersenyum padaku.

“Maaf, aku membuat ibismu pergi,” ucapnya, atau setidaknya, menurutku itu yang tengah diucapkannya.

“Tak usah cemas, di…” gerak bibirnya tak bisa lagi kuartikan. Melihatku yang tengah memelintir kening mencerna ucapannya, ia berhenti berbicara, kemudian mengambil sebuah pena dari celana khakinya yang berwarna kecoklatan, dan berlembar-lembar kertas dari tas sandangnya.

“Maaf, aku menulis ini. Dari tadi aku memanggilmu, tapi kau tak menyahut. Tanpa bermaksud menghina, makanya aku berpikir kalau kau tuli.” Bunyi tulisan di atas kertas itu.

“Tak masalah, aku memang tuli,” jawabku. Kupikir aku tak perlu melakukan hal yang sama dengannya, karena kurasa dia bukan seorang tunarungu. “Kalimat terakhirmu tadi apa?”

Ia kembali sibuk dengan kertas dan penanya.

“Aku bilang tak usah cemas. Masih banyak ibis lain yang bisa kau temui disini,” tulisnya.

Anggukan setuju dariku membuatnya tertawa. Aku mendesah pelan, terasa tawa itu begitu menyiksa bagiku.

“Hei lihat!” Ia kembali berucap, sembari mengarahkan kameraku pada enam ekor ibis yang berada tak begitu jauh dari kami. Mereka bergerak lambat, kemudian menghentak. Berputar, mengepak. Begitu dinamis. Aku bahkan kini tengah membayangkan enam sosok ballerina tengah menari diiringi sebuah simfoni dari langit.

Kuatur posisi kamera untuk membidik gambarnya. “Kupikir sekarang aku tengah melihat enam ballerina tengah menari diiringi simfoni,”

“Tentu saja, mereka menari dalam bahasa rasa.” Tulisan dalam kertas tersaji lagi, menghalang pandanganku.

“Berhentilah menuliskannya. Biarkan saja aku membaca gerak bibirmu,” ucapku. Sudut mataku menangkap gerakan mengangguk darinya. Bibirnya kembali bergerak. Kuarahkan shutter kameraku pada wajahnya yang oval dengan mata hazel menghiasi.

“Barangkali, itulah keuntungan memiliki kekasih tuli. Dia selalu mendengarkanmu dengan mata. Kau akan selalu merasa diperhatikan.” Gerak bibirnya kutangkap.

“Tapi tak selamanya diperhatikan atau memperhatikan itu menyenangkan. Saat kau bertengkar dengan kekasihmu, perhatian itu akan membuatmu jengah,” timpalku pada sosoknya yang kini mendekat ke arah ibis-ibis itu. Ia seperti berucap, tapi tanpa melihat gerak bibirnya aku tak bisa mengartikan ucapannya.

Aku mendekatinya yang kini tengah bersimpuh di hadapan ibis-ibis itu. Rupanya, gerakannya yang mengulurkan tangan pada mereka mengganggu kenyamanan para ibis. Mereka berterbangan. Membuatku tertawa melihat raut wajah kecewanya.

“Kau senang sekali melihatku ditelantarkan,” Ia berucap dengan raut wajah kesal. Aku kembali tertawa.

Ia mengusap kepalaku, lalu membimbingku duduk di bawah pohon rindang yang entah apa namanya. Selama beberapa saat, kami diam.

“Sejak kapan?” dia menyela diam.

“Maksudmu? Sejak kapan aku tuli?”

Anggukannya membuatku menghela napas berat. “Dua bulan lalu, beberapa hari setelah kudapatkan visa-ku.” Ia memandangku iba. “Penyakit lupus yang ada di dalam darahku menyerang system imun, melumpuhkan saraf-saraf pendengaranku. Awalnya aku tak bisa menerimanya, semua kusalahkan. Termasuk Tuhan. Tapi semakin aku berusaha menyangkal, kekecewaan makin berat kurasakan. Jadi kuputuskan saja menerimanya, mungkin Tuhan sedang mengajarkanku mendengar dengan cara lain,” jelasku.

“Kenapa kau tak pakai alat bantu dengar saja?”

“Aku sudah coba. Tapi yang kudengar cuma suara bising yang memekakkan. Makanya aku tak pakai. Maaf yah, aku tak berusaha menipumu,” desisku lagi.

“Kau tak perlu minta maaf, Kau tak pantas untuk diberi maaf, Sydney!”

“Kau tak mau memaafkanku?”

“Kau tak punya salah padaku, jadi apa yang harus kumaafkan?”
Tak percaya, kutatap wajahnya. Sungguhkah ia memaafkanku? Semudah itu?

“Kau terlalu memanjakanku dengan belas kasihanmu. Kenapa kau buat semudah ini?”

“Kenapa aku harus mempersulitmu jika bisa dibuat lebih mudah?” Ia membalasku dengan tatapan tajam dari mata hazelnya. “Adikmu, Keyra sudah menceritakan semuanya,” tambahnya.

“Harusnya kau dengar dariku, bukan dari Keyra,” ucapku lagi. “Tak seharusnya aku membiarkanmu berprasangka. Aku memang pecundang.”

“Kau bukan pecundang. Bukan hal mudah bagi siapapun saat harus kehilangan pendengarannya tiba-tiba.” Ia mengelak. “Iya sih, dulu aku memang sempat berprasangka buruk padamu ketika kau menghilang begitu saja, kukira kau menipuku.”

Ia bangkit, menepuk debu dari celananya. “Ayo!”

Kusambut uluran tangannya. “Aku tuli. Jika dustaku dulu bisa kau terima, bagaimana dengan kenyataan itu?”

“Buktinya aku disini sekarang kan? Bersamamu. Kau tak sendiri,” jawabnya manis.

Ia tersenyum, aku tersenyum. Ia lalu menggamit lenganku dan menggandengku pergi. Kami berjalan sunyi di tengah gemuruh suasana hati, diiringi simfoni yang digelar langit Sydney.

END

Waiting For Rain - Karya Sri Marflowers

November 15, 2017 0 Comments

“Kapan hujannya turun, Bunda?”

Seperti sedang menghapalkan naskah, Zahrah terus mengulang kalimat pertanyaan tersebut kepadaku. Entah apa yang sudah terjadi. Semenjak ulang tahunnya seminggu yang lalu, Zahrah—putriku—terus menunggu butiran dari langit tersebut turun untuk menyapanya.

“Belum, Sayang. Nanti pasti akan turun hujan.”
Sepenggal kalimat yang aku berikan tak membuat Zahrah yakin. Dia menengadahkan kepala ke langit, berharap langit akan mendung dan hujan melarungkan rindunya kepada bumi.

***

Lagi-lagi aku mendapati Zahrah duduk di ayunan, tentu saja dengan beberapa kali melihat ke langit. Pipinya yang seperti hewan molusca semakin lembut menggelantung cemberut. Aku mengamati putriku dari jendela ruang tamu, menghembuskan napas kasar dan meletakkan segelas kopi di atas meja. “Zahrah masih menunggu hujan, Yah,” kataku, kepada seorang pria yang asik dengan sebuah koran di tangannya. Pria tersebut tersenyum, meletakkan koran dan menyeruput kopi kesukaannya dengan tenang.

“Bunda juga dulunya seperti itu, kan? Menanti hujan. Ckck,”

“Ayah...,” aku cemberut, lebih tepatnya malu. Rasa menyesal kembali menyergap. Seharusnya, tak kuceritakan saja kepada pria satu ini: bahwa aku memang tak punya kenangan akan hujan—namun terus berharap—hujan selanjutnya aku akan berada di dalam pelukannya.

Kini senyumnya merekah sempurna, beranjak dari sofa dan mendekatiku—memeluk tubuhku dari belakang. Kami sama-sama melihat Zahrah dalam pikiran yang tentu saja sama.

“Mungkin Zahrah sedang jatuh cinta, Bunda?”

Cinta yang seperti apa akan tumbuh terhadap anak usia lima tahun? “Ya ampun Ayah....” seperti anak kecil, lebih tepatnya aku melihat adegan copy paste antara Rahul dan Anjeli dalam film Kuch Kuch Hota Hai. Aku berlari mengitari ruang tamu, hanya untuk melayangkan sebuah pukulan manja kepada suamiku tercinta. Dia harus diberi pelajaran!

***

Hujan sepertinya ingin bermain-main terhadap Zahrah. Baru saja awan mendung, namun sekarang sudah terang-benderang menyuntikkan cahanya. Aku mengangkat jemuran, sesekali melihat ke teras rumah menunggu kepulangan Mas Farid. Jam menunjukan pukul empat sore.

Baru saja aku masuk ke dalam rumah, bunyi tetes demi tetes air yang terdengar amat jelas menimpa genteng riuh di telingaku. Aku meletakkan jemuran dengan sembarangan, berlari mencari keberadaan Zahrah. Bukan, aku mencarinya bukan untuk menemaninya menyambut hujan, tetapi karena aku tidak mau putriku demam karena hal tersebut.

Kosong. Aku tak mendapati Zahrah di ayunan tempat dia biasa menanti hujan. Pikiranku mulai panik. Ke mana putriku ini? Tak peduli lagi aku dengan basah, kuterobosi hujan untuk mencari keberadaan Zahrah. Mataku menangkap sesosok yang baru saja keluar dari pintu belakang.

“Bunda... Zahrah... hanya ingin mencobanya.”

Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya air mataku yang ikut merebes bersama hujan—setelah kulihat putriku sedang mengenakan sesuatu—sesuatu yang kuberikan sebagai hadiah tepat di hari ulang tahunnya. Sebuah jas hujan.

The End

Neo Romeo & Julliet - Karya Lindsay 'Lov

November 15, 2017 0 Comments

Once upon a time, lagi asik-asiknya baca majalah, sebuah benda berbulu ayam, mendarat hebat di jidat Zulie. Rasanya kaya di jitak! Sudah tiga kali untuk sorenya yang rusak. Darahnya mendidih. Si Andrew itu emang belagu amat! Mentang-mentang baru pulang dari Amrik, gayanya kaya artis Hollywood. Dengan perasaan dongkol, Zulie bangkit dan melangkah menuju sasaran. Di balik pagar, tampak olehnya dua cowok cengar-cengir memandangnya.
“Sorry lagi ya?” terdengar suara si kaos oblong sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Itu salah dia, kok.”
“Aku?” si kaos buntung mendelik, “Oh, iya deh. Tadi itu salah pukul. Sorry. Kamu tidak apa-apa ‘kan? Jangan marah ya? Bisa gak bolanya dikembaliin?” 
Zulie melotot, sampai bola matanya hampir keluar. Dikembalikan? Enak banget. Belum pernah ada orang yang tidak apa-apa setelah dijitak bola sampai tiga kali dalam kurun waktu sejam! Maka dengan kesal, dicabutinya bulu ayam satlecock tersebut satu persatu, membuat kedua makhluk berkaos tadi terkesimah. Mereka memandang, terpatung dan tersadar saat Zulie melempar sisa akhir berupa bantalan gabus.
“Jadi itu cewek yang mulai merusak hidup lo?” Tanya Boy, si kaos oblong beberapa saat setelah Zulie menghilang dari pandangan mereka.
Andrew, si kaos buntung mengeluh, “Abis service lo payah! Bola gue ya out terus.”
“Emang gue lebih berminat sama bola kaki.” Boy menyeringai, “Tapi cakep juga.”
“Si penyihir itu?”
“Yup.” Boy menenggak minuman dinginnya.
“Beautiful enchanter? No way!” Andrew mengelap keringatnya dengan handuk kecil dan duduk sambil menaikkan kaki ke meja, “Cewek berkarakter kasar gak mungkin masuk katagori cantik. Dan gue paling anti sama cewek yang kejam terhadap bola.”
“Jangan emosi dulu, man. Lain kali lihat baik-baik. Tuh cewek original banget. Wajahnya mulus tanpa polesan. Beda banget sama cewek-cewek di kampus.”
Andrew menenggak minumannya sampai habis, “Soal itu ‘kan tuntutan zaman.”
“Ihh…” Boy bergidik, “Kalo gue sih jangan sampai pacar gue ketergantungan sama make-up. Yang alami pasti lebih seru, man.”
Andrew tertawa. Lalu dia melihat gerakan mencurigakan dari dalam rumah.Beberapa saat kemudian suami istri Hasrul menghampiri mereka. Boy langsung menyalami dengan sopan.
“Sore om, tante. Rapi amat. Ada hajatan nih?” tanyanya ramah.
“Oh ya. Acara pak Sunyoto. Kami akan kesana.” Jawab pak Hasrul.
“Wah, pasti jadi semacam reuni nih.” Komentar Boy menyeringai.
“Emang sekalian reuni toh.” Giliran bu Hasrul menjawab. “Om dan tante panitia pesta putri pak Nyoto. Jadi harus datang lebih awal. Malam ini pesta tunangan. Minggu depan resepsinya.”
“Asiknya pergi bareng pacar, nih. Lo jangan ketinggalan, bro.” Guyon Boy cepat.
Andrew angkat bahu, “Males. Gue ‘kan gak di undang.”
Bu Hasrul seperti tersadar, “Ya ampun. Mami lupa. Undangan buatmu ada kok, Drew. Coba cari diatas lemari es.” Katanya merasa bersalah, “Oh ya, kamu berangkat sama keluarga bu Djafar. Tadi mama udah telepon. Usai maghrib. Jangan lupa ya? Okey nak Boy. Kami berangkat duluan.”
Setelah suami istri tersebut menghilang dibalik tembok, Boy menepuk pundak Andrew, “Siapa sangka ada undangan pesta di atas lemari es.” Katanya tersenyum lebar, “Tapi ambil hikmahnya, man. Keluargamu udah mulai akrab dengan warga sini.”
“Gue pikir juga begitu.” Andrew kembali duduk dengan sikap nyantainya. Lalu, “Astaga!” serunya menepuk jidat, “Gue gak tahu alamat keluarga bu Djafar itu, bro.”
Boy memandang sahabatnya sejenak. “Gue akan menulisnya untuk lo, bro.” Katanya menahan senyum.

***

“Apa? Lilie pergi bareng dia?” teriak gadis berambut ikal itu seraya menunjuk ke arah seorang cowok berstelan tuxedo hitam yang lagi manyun di ruang tamu.
Bu Djafar mengangguk, “Ini bukan kesalahan mama. Dari tadi mama udah suruh siap-siap, tapi Lilie malah nonton Slamdog Millionaire.”
“Tapi…” mata gadis itu mulai berkaca-kaca membayangkan harus berangkat bareng cowok yang udah membuat beberapa sorenya berantakan.
“Andrew anak yang baik kok. Lilie pasti senang berteman dengannya. Ya udah, mama pergi dulu ya sayang. Papa udah engga sabar tuh. Ngelakson terus.”
“Tapi, ma…”
“Tuh, nangis deh.” Bu Djafar menghampiri si cowok yang merasa terjebak dalam permainan para orang tua, “Aduh, nak Andrew. Maafkan sikap anak tante ya. Agak kolokan. Kalo punya sapu tangan, tolong di lap airmatanya sebelum rumah tante kebanjiran.”
“Iya, tante.”
Zulie masih merengek, “Tapi, ma…” 
“Pokoknya Lilie harus berangkat bareng Andrew. Jangan engga. Mama tunggu disana.” Setelah ngesun pipi Zulie, bu Djafar segera berlalu. Begitu suara mobil menghilang, buru-buru Zulie menghapus airmata yang hendak menyembur keluar, lalu membalikkan tubuh dan memandang Andrew dengan mata menyala.
“Menyebalkan!” 
Andrew mengerutkan kening, “Aku juga gak happy.” ujar Andrew kalem.
Zulie tengsin banget dengernya, “Lalu napa masih disini? Pergi aja sendiri.”
“Sorry.” Andrew mengibaskan tangannya, “Aku sudah janji sama ortumu untuk menggiringmu ke pesta itu.”
“Menggiringku? Emang aku anak ayam?” teriak Zulie mangkel.
“Terserah. Sekarang segeralah bersiap-siap.”
“Lebih baik aku berangkat bareng perampok.”
Andrew tersenyum sinis, “Itu bisa kau lakukan lain kali. Untuk sekarang ini, kau berangkat bareng aku!”
Mata Zulie membesar, “Kamu memerintah aku?”
“Iya, Ayo cepat!”
Mulut Zulie bergetar karena merasa dilecehkan. Ingin banget dia mencak-mencak dan memaki cowok dihadapannya itu. 
“Tunggu apa lagi, nona? Mau berangkat pake piyama? No problem!” Andrew meraih tangan Zulie. Serta merta gadis itu mengibaskan tangannya.
“Jangan macam-macam, ya. Aku bisa tinju dan karate. Mau coba?” tanyanya mengepalkan tangan dan memasang kuda-kuda.
Andrew ingin tertawa melihatnya, “Percayalah, kau tidak akan menang melawanku. Aku juga bisa tinju dan karate. Bahkan taekwondo, dojo, silat, taichi, gulat, sumo, kapuera, bahkan ninja. Semua ilmu bela diri kukuasai. Sekarang ganti pakaianmu. Semakin cepat kita berangkat, semakin baik. Disana kau bisa mencari perampok mana pun yang kau suka.”
“Menyebalkan!” runtuk Zulie melangkah menuju kamarnya, dengan penuh dendam!
Andrew menghela nafas. Pantas saja Boy berusaha keras menahan senyum. Siapa kira alamat keluarga bu Djafar ada tepat disebelah rumahnya? Kemana saja dia selama ini? Ohya, dia disibukkan oleh bangunan kolam renang dibelakang rumahnya. Jadi tidak mengenal tetangga sendiri. Sekarang, mau tak mau dia harus menunggu gadis manja itu berdandan. Sebuah aktifitas yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya. Dan entah sudah berapa lama dia menunggu. Rasanya dia nyaris tertidur ketika Zulie keluar dari kamarnya dengan mengenakan gaun panjang berwarna silver. Andrew hampir tidak mempercayai penglihatannya!

***

Karin tertawa terbahak-bahak. Lucu banget kisah sedih yang baru di alami sahabatnya. Sampai-sampai air matanya ikutan menetes.
“Gue bener-bener engga nyangka bisa ngalamin hal seburuk itu, Rin…uhuu…” Zulie terisak sampai terbata-bata. Satu kotak tissue habis buat ngeringi air matanya, “Lo ‘kan tau gue benci banget sama si Andrew gebleg itu. Tapi di pesta si Dewi kemaren, orang-orang malah memilih kami sebagai the perfect couple…uhuu…! Elo sih, pake acara sakit gigi segala. Gue jadi kaya kucing kesiram air gitu deh. Orang-orang engga ada yang ngertiin gue. Bahkan nyokap bokap kelihatan cuek. Padahal, gue udah malu banget. Apalagi saat si Andrew ngambilin makanan buat gue. Trus minuman, pudding, rasanya muka gue ilang entah kemana…uhhuuu…” 
Karin semakin geli, “A Hero! Trus, lo nolak, dong.”
“Engga.Sebab gue emang laper en haus malam itu…”
“Kok lo trima semua bantuannya? ‘Kan lo benci banget sama dia.”
Zulie megap-megap menahan sesak didadanya, “Justru itulah kenapa gue merasa nasib gue buruk banget. Gue terpaksa, Rin. Soalnya…soalnya…uhhuu…malam itu….”
“Soalnya kenapa? Lo engga bisa ngambil makanan lo sendiri? Tapi kenapa? Tiba-tiba kaki lo semutan? Kram? Lumpuh?” Tanya Karin penasaran banget.
Zulie memencet hidungnya yang penuh air, “Lo ingat engga stiletto yang kita beli minggu kemaren?”
“Hm. Gue beli yang hitam, lo yang silver.”
Zulie mengangguk, “Nah, saat turun dari mobil, gue buru-buru banget mau cepet-cepet menyingkir dari hadapan si Andrew gebleg itu, tapi gue malah kesandung dan ampir aja gue nyungsep kalo aja dia engga cepat-cepat menangkap gue...”
“Oh...romantisnya...” gumam Karin membayangkan adegan sahabatnya tersebut.
“Romantis apaan? Lo tau engga, saat itu tumit sepatu sebelah kiri gue patah...”
“Ya ampun. Trus?”
“Ya, gue bingung banget. Engga tau mesti gimana. Eh, tau-tau si Andrew gebleg itu udah mematahkan tumit sepatu gue yang sebelah lagi...”
“Gila, kaya iklan mentos.”
“Gila? Lo mau tau yang lebih gila? Kaki gue nih keseleo gara-gara sepatu kita yang super tinggi itu...uhuu...”
“Apa?”
“Dan...dia...si Andrew gebleg itu....uhuu...”
“Iya...dia kenapa?” Karin engga tahan lagi.
Zulie mengelap air matanya lagi, “Dia...dia berbaik hati memijat pergelangan kaki gue biar engga benggkak...”
“Oh my god...” 
“Gue marah sama dia. Trus gue minta di anter pulang. Tapi si Andrew gebleg itu engga mau nganterin. Katanya kalo gue mau pulang, ya pulang aja sendiri. Ya ampun, Rin. Lo ‘kan tau gue penakut. Belum lagi kaki gue nyut-nyutan. Jadi, mau tak mau gue terpaksa masuk dan duduk di sudut ruangan sampai acara inti selesai. Borring banget! Setelah itu, baru deh tuh cowok mau diajak pulang.”
“Pasti deh sepanjang perjalanan lo ditertawainnya habis-habisan.” Tebak Karin sok teung.
“Itulah yang bikin gue sekarat, Rin. Si Andrew gebleg itu sama sekali tidak menertawain gue. Bahkan dia engga berkomentar apapun. Dia diem aja.” 
“Kok aneh?”
“Makanya.”
“Tapi bagus kalo begitu.”
“Bagus apaan? Gue engga suka sikapnya itu.”
“Jadi lo lebih suka dia menertawain lo?”
“Bukan gitu. Maksud gue, harusnya ‘kan dia mengatakan sesuatu. Kalo dia bener-bener gentleman, dia pasti mengucapkan apa kek buat menghibur gue. Dia tau gue lagi down. Masa dia cuek aja, kaya engga ada masalah? Dia engga tau memperlakukan wanita ato apa?”
Mulut Karin langsung menganga, “Lo tuh yang aneh, Lie. Lo ‘kan benci banget sama si Andrew gebleg itu. Lo marah waktu dia mijat kaki lo yang keseleo. Trus lo juga kesal saat dia mengambilkan makanan en minuman buat Lo. Napa lo jadi ngarapin perhatiannya?”
“Entahlah. Tetapi gue yakin kalo dia emang engga pernah care sama gue.”
“Apa dia harus care sama lo?”
Zulie diam sejenak. “Iya ya. Napa gue jadi bego begini? Ihh, padahal gue ketiban sial ‘kan gara-gara si gebleg itu. Bintang gue juga udah ngingatin kalo bulan ini gua akan kedatangan cowok yang bakal mengganggu hidup gue. Pasti dia orangnya. Ini mengerikan, Rin. Gue putusin untuk engga mau melihat mukanya lagi, sampe kapanpun.”
“Yang bener, Lie?” tanya Karin tersenyum penuh arti.

***

Dua minggu sudah berlalu sejak Zulie membuang stiletto silvernya yang lumayan mahal itu ke tempat sampah. Dan selama itu pula dia tidak melihat si Andrew gebleg yang menyebalkan itu. Aneh. Biasanya tuh cowok selalu lewat di depan rumahnya kalo mau berangkat kuliah. Atau main badmington bareng si playboy kampung. Atau sekedar beli ketoprak yang emang suka mangkal di seberang rumah. Trus kemana dia? Lenyap begitu aja. Apa sibuk? Ato kembali ke Amrik? Ato sakit?
Zulie tercengang. Kok dia jadi mikirin si gebleg itu? Mau ngapain kek, emang ada urusan apa sama gue?
“Ayo dong, Rin…” rengek Zulie di telepon, “Sepi banget nih. Bonyok main golf. Bi Una ngantar anaknya masuk asrama. Si Kiki ada eskul di sekolah. Gue sendirian nih. Masa lo tega, sih?”
“Bukan tega, Lie,” terdengar suara Karin meringis, “Tapi lo ngerti dong. Gue kena cacar air nih. Ntar nular ke elo, lagi.”
“Kita ‘kan bisa ngobrol dari jarak jauh. Gue boring banget sendirian. Siaran tv kagak ade yang sip. Smua dvd udeh gue tonton abiz!”
Tapi Karin tetap menolak, “Wah Lie, gue gak boleh kena angin dan matahari…”
“Gue yang datang…”
“Jangan! Gue lagi jelek. Gak mau dikunjungi oleh siapapun. Suer. Kita pisah dulu seminggu ya?”
“Tega banget sih lo. Dulu sakit gigi. Lha sekarang kena cacar. Betah amat lo dikerubungi penyakit?”
Karin terkekeh, “Abis, gimana lagi? Hm…gue ada ide. Gimana kalo lo telepon aja cowok gebleg di sebelah rumah lo. Gue yakin dia pasti senang nemenin lo.”
Zulie cemberut, “Yang benar aja! Gue ‘kan udah bilang gak mau melihat mukanya lagi sampe kapanpun. Lagi pula, udah dua minggu gak kelihatan. Apa udah ko’it ya?”
“Hus! Gak bole ngomong gitu. Dosa tau. Eh, tapi diem-diem lo memantau si Romeo ya?”
“Masa sih? Gue benci setengah mati sama dia. Rin, jangan sebut dia Romeo. Gak pantas, tau. Gak romantis. Gak lembut. Dia bukan Romeo yang gue tunggu-tunggu.”
Karin ngakak, “Tapi awas. Terlalu benci bisa berubah cinta loh.” Katanya sebelum menutup telepon.
Zulie mencibir. Jatuh cinta ama si gebleg itu? Yang benar aja. Apa stok cowok keren di Indonesia sudah habis?
Bel pintu membuyarkan pikiran Zulie.
“Selamat siang, mbak. Kenalkan saya Budiman. Saya ingin memperlihatkan beberapa produk kosmetika terbaru kami agar mbak semakin terlihat cantik. Saya harap mbak tidak berkeberatan.” Sapa seorang pria berpakaian rapi yang wajahnya terlihat lelah.
Zulie tersenyum, “Terima kasih banyak. Tetapi maaf ya mas. Saya sudah cocok dengan produk yang saya pakai sekarang...”
“Mbak tidak harus membeli. Lihat-lihat saja dulu. Ada bedak, lipstik, parfum, dan semua kosmetika kami khusus diciptakan untuk gadis Asia secantik mbak. Kalau soal mutu, tidak diragukan lagi.” Pria berusia sekitar 30an itu tampak setengah memaksa, meski sikapnya tetap sopan. Tetapi Zulie maklum. Seorang penjual memang pantang berputus asa, kan?
“Saya minta maaf. Mas. Saya benar-benar tidak sedang membutuhkan...”
“Mbak, pepatah mengatakan, tidak kenal maka tidak sayang. Tidak ada salahnya mbak lihat-lihat saja dulu. Tertarik atau tidak, itu urusan nanti.”
“Wah, bagaimana ya?”
Budiman tersenyum melihat terbukanya peluang tersebut. Cepat-cepat dia membuka kopernya dan mengeluarkan beberapa produk kosmetikanya, “Tolong jangan membuat saya merasa kalah sebelum berjuang, mbak. Luangkan waktunya sebentar saja. Kalau kira-kira mbak tidak tertarik, saya janji akan segera pergi.”
“Tetapi saya sedang memasak, jadi saya tidak bisa...”
“Hm...mbak sedang merebus jagung ya?”
Zulie melongo, “Kok mas tau ya?”
Budiman tertawa, “Penciuman saya tajam, mbak. Selain itu, saya juga suka sekali jagung rebus. Itu makanan favorit saya. Oh ya, bagaimana dengan orang tua mbak? Apa mereka ada di rumah? Kakak atau adik? Saya ingin mereka juga melihat promo saya.” Katanya menerobos masuk ke rumah sambil menyeringai lebar, “Bisa tidak mereka dipanggilkan?”
Didesak terus seperti itu membuat badan Zulie panas dingin. Tiba-tiba dia merasa keadaan sudah mulai tidak terkendali, “Maaf ya mas. Saya tidak ada mempersilahkan masuk. Mas ini kayanya sudah berbuat tidak sopan...”
“Wah mbak, jangan marah begitu. Saya tidak punya maksud lain kok selain mempromosikan dagangan saya.” Ujar Budiman dengan sorot mata berkilatan mengitari seluruh ruangan. Hati Zulie berdebar kencang. Saat dia mengaku bisa tinju dan karate kepada Andrew, itu bukan isapan jempol. Memang tahun lalu dia mempelajari kedua ilmu bela diri itu. Tetapi hanya dasar-dasarnya saja. Dan sampai saat ini ilmu itu sama sekali belum pernah di praktekkannya. Belum ada lawan yang tangguh, demikian dalihnya. Tetapi saat segenting ini, mengapa nyalinya tidak sebesar tekadnya saat mulai mempelajari ilmu bela diri itu?
“Rumah ini sepi sakali. Kelihatannya mbak sendirian dirumah ini, ya?” Budiman tersenyum kecil. Dan bagi Zulie itu sebuah senyum yang sangat mengerikan.
“”Kenapa anda menayakan itu? Sendirian atau tidak, itu bukan urusan anda.” Mendadak sebuah suara menggelegar dari dapur. Sosoknya yang tinggi dan tegap melangkah mendekati Zulie. Selembar sapu tangan diulurkannya kepada gadis itu, “Aku sudah mematikan api kompor. Jagungnya sudah matang dan siap disantap. Kamu memang pintar memasak.” Katanya mencium pipi Zulie. Wajah gadis itu spontan memerah. Pikirannya berkecamuk antara senang dan marah. 
“Nah sayang, siapa laki-laki ini? Kamu mengenalnya?” tanya Andrew lembut.
Zulie menggeleng lemah. Masih terkesimah dengan kemunculan cowok itu yang tiba-tiba, serta sikapnya yang sungguh mesra.
“Baiklah. Bisa anda jelaskan mengapa anda bisa berada rumah ini?” tanya Andrew dengan suara berat. Dipandangnya Budiman dengan sorot mengancam. Membuat pria itu gugup setengah mati.
“Maafkan saya, pak. Saya hanya ingin promo kosmetika kepada istri anda...”
“Dengan cara memaksa masuk?” penggal Andrew cepat, “Anda ini mau berjualan atau merampok? Sikap anda benar-benar tidak profesional.”
Budiman menelan ludah. Dengan gugup dia mengemasi barang-barangnya, “Sekali lagi saya mohon maaf pak. Bukan maksud saya menakut-nakuit istri anda. Kalau begitu, saya permisi dulu pak. Selamat sore.” Katanya meraih tasnya dan segera berlalu. Setelah terdengar suara pintu pagar ditutup, serta merta Zulie terisak seperti anak kecil yang kehilangan boneka. Dia marah karena kebodohannya, dan malu, juga karena kebodohannya.
“Laki-laki itu sudah pergi. Sudahlah jangan menangis lagi.” Andrew memegang pundak Zulie dengan lembut, “Lain kali, jangan pernah membuka pintu untuk orang asing...”
Tetapi Zulie segera melepaskan diri. Tangannya terangkat menampar Andrew, membuat cowok itu terkejut. “Itu karena kau mencium...pipiku!” teriaknya berang. Memang Andrew sudah menyelamatkan dirinya. Tetapi bukan berarti dia dapat berbuat seenaknya. Pakai cium-cium segala!
Andrew terdiam sejenak, “Nona Zulie yang terhormat. Apa kau pikir aku senang melakukannya? Setelah ini aku akan cuci muka dan sikat gigi.”
Mendengar itu, darah Zulie kembali menggelegak. Tangannya terangkat kembali, namun kali ini Andrew lebih cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu.
“Wah-wah...cantik tetapi kasar.” Gumam Andrew menggeleng-gelengkan kepalanya.
Zulie mengibaskan tangannya. Tetapi cengkraman Andrew begitu kuat hingga dia merasa lelah dan putus asa, “Berapa banyak lagi budimu yang mesti kubalas?” desisnya megap-megap.
Kening Andrew langsung berkerut, “Saat melihat ada orang mencurigakan, aku langsung masuk lewat pintu belakang. Aku ikhlas kok.”
Zulie menggigit bibirnya, “Kau...pasti benci sekali kepadaku.”
“Tidak. Memang kenapa?”
“Kalau kau tidak membenciku, kenapa kau diam saja saat mengantarkan aku pulang dari pesta pertunangan Dewi waktu itu? Kau tau aku mengalamai depresi saat itu.”
Sesaat Andrew mengawasi wajah Zulie yang halus dan begitu dekat dengannya. Bahkan aroma parfum gadis itu samar-samar masuk ke lobang hidungnya, menggoda benaknya. “Jadi kau masih menyimpan sikapku itu hingga sekarang?” tanyanya tersenyum.
“Kau bahkan menghindariku sejak saat itu.” Zulie kembali berusaha melepaskan tangannya. Tetapi tampaknya Andrew masih tidak tergoyahkan. “Tadi kau memang telah menyelamatkanku lagi. Tetapi bukan berarti aku memaafkan apa yang baru kau lakukan.”
“Maksudmu, ciumanku?”
Wajah Zulie memerah kembali, “Aktingmu sungguh buruk! Siapapun akan tau kalau kau telah memanfaatkan situasiku. Tetapi aku sudah menamparmu, jadi kita impas.”
“Jadi aku tidak perlu mencuci muka dan menyikat gigiku? Itu tidak adil.” Ujar Andrew kalem.
“Maksudmu aku harus...menciummu juga, lalu tidak mencuci muka dan menyikat gigi, baru bisa dikatakan adil?”
Andrew tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku jadi bingung, siapa sebenarnya di antara kita yang paling bodoh. Dengar ya Lilie, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku diam saat mengantarkanmu pulang, justru karena aku tau kau benar-benar mengalami malam paling buruk. Aku tidak ingin membuatmu bertambah tertekan. Jujur, saat itu aku juga sedang kesal dan aku tidak mungkin bisa mengatakan hal-hal baik untuk menghiburmu. Lalu ciuman tadi, itu bukan akting. Puas?” tanyanya seraya melepaskan cengkramannya pada pergelangan tangan gadis itu.
Zulie diam. Benarkah cowok itu tidak sedang berakting saat menciumnya?
“Belakangan ini aku memang jarang keluar. Tetapi bukan untuk menjauhimu. Aku hanya sedang berpikir. Kurasa aku telah...” Andrew tidak meneruskan kalimatnya. Dia menatap Zulie, “Aku sedang mencari peluang untuk mengatakannya. Kalau kau sudah tenang, pergilah ke dapur. Ada bungkusan buatmu. Sampai jumpa.”
Setelah Andrew pergi, Zulie langsung mengunci pintu depan. Lalu buru-buru kedapur. Di atas meja dapur, dia melihat sebuah bungkusan rapi. Setelah dibuka, ternyata isinya Stiletto silvernya! Dan sebuah catatan kecil.
“Dasar anak manja! Jangan kejam terhadap benda. Itu tidak baik. Sepatu ini ‘kan masih bagus. Aku sudah memperbaikinya. Aku menyukainya. Mungkin karena aku juga sudah menyukai pemiliknya. Salam, Romiandrew.” 
“Romiandrew?” eja Zulie dengan kening berkerut. Jadi namanya Romiandrew. Romi...Romeo! Ya ampun, Karin benar. Dialah Romeo itu. Yang selalu datang untuk menyelamatkannya. Yang benar-benar memahami dirinya. Yang ciumannya begitu lembut. Zulie mendekap sepatunya dengan air mata berlinang. Dialah Romeo yang diidamkannya selama ini.

***