Follow

Rabu, 15 November 2017

PINK, Your Wish is My Command - Karya Lindsay 'Lov

1. Flower

Siang yang panas. Matahari tepat di atas kepala, ketika beberapa warga memasuki sebuah pekarangan rumah sederhana yang dipenuhi dengan begitu banyak tanaman bunga yang indah. Dua sosok yang melangkah paling depan adalah Pak Danu, ketua RT, dan di sebelahnya Rudi, putranya yang baru berusia dua puluh tahun. Lalu beberapa lainnya yang menyusul di belakang adalah penduduk sekitar kompleks. Mereka berbondong-bondong dan berdesak-desakan nasuk tanpa memperdulikan seluruh bunga di pekarangan patah terinjak-injak.

Pak Danu menghentikan warga agar tidak mendahuluinya, dan menoleh ke arah anaknya. "Kau panggil nenek itu keluar, Rud!" ucapnya tegas.

Rudi mengangguk. "Hei, Nek Ipah! Keluar!" teriaknya dengan suara lantang. Setelah dua menit tidak ada yang terjadi, kembali Rudi memanggil, dan kali ini sambil menggedor-gedor pintu bercat hijau pucat tersebut.

Beberapa saat hening, sampai akhirnya pintu tua di hadapan mereka terkuak lebar, dan seraut wajah yang tak kalah tuanya berdiri di ambang pintu.

"Eh, nak Rudi...Pak RT? Loh, ada apa ya, kok rame-rame?" Nek Ipah, wanita pemilik rumah amat terkejut saat melihat begitu banyak warga yang masuk ke pekarangannya. Saat pandangannya jatuh ke bunga-bunga yang amat disayanginya habis luluh lantak terinjak-injak, hatinya langsung sedih. Beberapa warga, surut ke luar pagar karena merasa bersalah. Yang lainnya tetap bertahan, merasa kalau mereka pasti akan dilindungi oleh RT mereka.

"Nek Ipah! Sudah berkali-kali saya ingatkan, segeralah pindah dari rumah ini. Karena tanah ini akan dibeli oleh kontraktor itu. Rumah di sebelah kanan dan kiri nenek saja sudah di jual. Kenapa nenek berkeras sekali?" tanya Pak Danu tanpa basa-basi.

Nek Ipah menarik nafas lesuh. "Kan saya juga sudah berkali-kali bilang sama Pak RT, ini rumah peninggalan suami saya. Satu-satunya harta milik saya. Saya ingin tetap berada di sini sampai saya mati."

"Nek! Nenek jangan keras kepala gitu, deh! Nenek kan tinggal sendirian di kota ini. Tidak ada sanak saudara. Pantasnya nenek jual saja rumah ini, lalu pindah ke panti jompo agar bisa dirawat dengan baik. Kalau tetap di sini, apa nenek tidak khawatir ada penjahat yang akan membunuh nenek?" ucap Rudi dengan nada menakut-nakuti. Nek Ipah menoleh, menatap Rudi dengan mata rabunnya yang keriput.

"Nak Rudi mau mengancam saya?" tanyanya singkat. Memang, semua orang tahu kalau Nek Ipah adalah mantan Polwan. Dan itu menjadikannya seorang wanita yang tidak kenal takut meski tinggal sendirian di rumahnya. Semenjak suaminya meninggal sepuluh tahun yang lalu, Nek Ipah tinggal seorang diri, karena ia tidak memiliki seorangpun anak.

"Aku bukan mengancam, Nek! Aku hanya mengingatkan nenek, kalo tinggal sendirian di rumah ini tidak aman!" sela Rudi masih dengan nada mengancam.

"Sudahlah! Sekarang Nek Ipah lihat surat ini!" Pak Danu menyodorkan selembar surat pada Nek Ipah. "Ini surat tanda persetujuan warga agar Nek Ipah menjual rumah ini. Terserah Nek Ipah mau pindah kemana, tapi segeralah pergi dari rumah ini!"

"Pak RT tidak bisa mengusir saya dari rumah saya sendiri. Rumah yang saya bangun di atas tanah saya sendiri. Terserah mau warga sedunia menandatangani, kalau saya tidak mau pergi, ya itu hak saya. Jangan kira saya tidak mengerti hukum!" ucap Nek Ipah berkeras. Kini suaranya agak lebih tegas.

"Kalau Nek Ipah tetap membantah, kami bisa saja memakai cara kasar!" Pak Danu tampaknya mulai emosi. Dan dia sudah kehabisan akal untuk membuat warga yang tinggal di atas lahan emas, yang jika jatuh ke tangan kontraktor, maka akan segera dibangun sebuah Swalayan, yang kelak, ia akan mendapatkan beragam upeti, sehingga ia tidak perlu bekerja keras seperti sekarang ini. Belum lagi si boss kontraktor telah menjanjikan pekerjaan yang bergaji besar untuk Rudi, anaknya yang sudah dua tahun ini menjadi pengangguran.

"Maksud Pak RT, cara kasar bagaimana? Bapak mau memukul saya? Menendang saya?" tantang Nek Ipah ikutan emosi. Mata tuanya menatap tajam ke arah dua orang yang berdiri tegap di hadapannya. Dua orang yang tentu saja akan sangat mudah 'melumatnya' jika mereka ingin, mengingat dia hanyalah seorang wanita renta yang sudah tak lagi bertenaga. Tubuhnya saja sudah membungkuk dan mengecil, menyesuaikan diri dengan usianya yang sudah hampir delapan puluh tahun.

"Tidak perlu sejauh itu, Nek. Kami hanya akan..." Rudi diam sejenak. Tersenyum licik pada ayahnya, lalu melangkah ke pekarangan rumah Nek Ipah dan langsung mematah-matahkan beberapa tumbuhan bunga mawar yang sangat disayangi Nek Ipah.

"Tidak! Jangan bunuh bunga-bungaku! Hanya mereka yang aku miliki! Mereka adalah anak-anakku!" teriak Nek Ipah menangis, seraya memburu Rudi. Namun Pak Danu segera menangkap tangan Nek Ipah dan menolaknya hingga terjatuh ke lantai.

"Kalau kau tetap membantah, kami bukan hanya menghancurkan bunga-bungamu, Nek! Tapi juga rumahmu. Ingat itu!" ancam Pak Danu yang beranjak membantu Rudi menghancurkan tanaman Nek Ipah dengan menginjak-injaknya. Setelah puas, kedua orang itu pegi meninggalkan Nek Ipah, dan diikuti oleh warga lainnya yang sedari tadi hanya melihat dan sibuk berbisik-bisik.

"Jangan...jangan bunuh bunga-bungaku...huhuhu..." Nek Ipah masih terduduk di lantai, menangisi bunga-bunganya yang telah dihancurkan oleh Rudi dan ayahnya. Dengan air mata berlinang, Nek Ipah mengumpulkan satu demi satu bunga-bunganya yang patah dan terinjak layu. Betapa sedih hatinya melihat seluruh kerja kerasnya hancur begitu saja. Sungguh Nek Ipah tidak habis pikir, kenapa seorang pemimpin bisa berlaku kejam begitu kepada warganya yang lemah, yang seharusnya dilindunginya.

"Nenek? Ada apa?" tanya sebuah suara yang baru saja memasuki pekarangan rumah Nek Ipah. Wanita tua itu menoleh, lalu menghambur memeluk si pemilik suara.

"Pink...huhuhuhu...mereka menghancurkan bunga-bungaku, nak! Mereka sungguh tak berprikemanusiaan!" tangisnya di pundak seorang gadis yang masih mengenakan seragam SMU tersebut.

Pink. Itu namanya. Entah dari mana asalnya, namun kini ia bersekolah di kota kecil ini. Dan Ia adalah gadis yang tinggal bersama Nek Ipah selama tiga bulan belakangan ini, sebagai anak kost. Gadis berparas cantik, dengan mata berwarna abu-abu, rambut kecoklatan dan bibir tipis yang hampir tak pernah tersenyum. Gadis bertubuh ramping itu membalas pelukan Nek Ipah dengan rasa simpati.

"Ini semua mereka yang lakukan?"

Nek Ipah mengangguk. Mata tuanya masih berlinangan air mata. "Nenek tidak berdaya melawan mereka, Pink. Mereka pasti tahu kalau Nenek sangat mencintai bunga-bunga itu. Makanya mereka menghancurkannya. Bahkan mereka mengancam akan menghancurkan rumah Nenek. Mereka … mereka bukan manusia, Pink! Mereka kotoran! Yang tak punya hati dan jantung. Nenek benci pada mereka, Pink! Nenek ingin mereka sama seperti bunga-bunga itu, Pink! Patah, terinjak-injak dan mati!"

Pink diam sejenak. Tubuhnya mematung, sementara sesuatu berkelebat di bola matanya beberapa saat. Detik berikutnya, sudut bibirnya tertarik sedikit, seraya membantu Nek Ipah masuk. "Anggap saja mereka sudah seperti keinginan nenek."

***

Hari sudah hampir tengah malam, ketika Pink menyeret tas kopernya ke halte bis, di ujung jalan kompleks yang sepi. Belum sampai ke halte, sebuah motor melaju mendekat, dengan sinar lampu yang menyilaukan matanya.

"Pink? Kamu Pink, kan?" tanya si pemilik motor yang berhenti di hadapan gadis itu.

"Iya. Kamu?" Pink mengalihkan pandangannya yang silau.

"Ups, sorry!" si pengendara segera mematikan lampu motornya. "Aku Rudi. Anak Pak Danu, RT kompleks kita. Ingat?"

Pink mengerutkan keningnya sesaat, lalu tersenyum manis. "Oh, ya. Rudi! Baru pulang kerja, ya?"

Rudi terkekeh. "Engga. Baru main ama teman," jawabnya menggaruk-garuk kepala karena salah tingkah. Baginya, senyum Pink, gadis yang sangat manis di hadapannya itu, adalah anugrah. Secara, gadis itu terlihat hampir tidak pernah tersenyum selama ini. Lalu matanya melirik ke koper besar yang berada di sisi kaki Pink.

"Loh. malam-malam bawa koper, emang mau kemana?"

"Ah, mau balik ke Jakarta. Tempat Nek Ipah gak asyik lagi. Nenek itu sudah gila," ucap Pink mengangkat bahu.

Rudi kembali terkekeh. "Memangnya kenapa?" tanyanya pura-pura tak tahu. Sebenarnya Rudi yakin sekali Nek Ipah pasti menangisi bunga-bunga kesayangannya yang mati.

"Dia menangisi tanamannya. Perbuatan gila!" ucap Pink mencibir.

Rudi mengangguk. "Duh, jadi kamu mau ke Jakarta, ya? Wah, belum kenal dekat, masa kamu sudah mau meninggalkan aku?"

Pink kembali menyunggingkan senyum manisnya. Malam itu dia mengenakan blus casual berwarna krem dengan dipadu padan dengan celana Jeans biru pudar, yang membuat tubuhnya tampak ramping memikat. Rambutnya yang diikat asal-alasan, malah membuat raut wajahnya yang putih semakin memesona.

"Well, kalau kamu mau, ikut aja denganku," ucap Pink tertawa kecil.

"Ah, serius nih?"

"Iya. Tapi aku hanya punya satu tiket bis. Kamu terpaksa aku masukin ke dalam koper."

"Hahaha! Kamu lucu juga sih, Pink!" Rudi tergelak. "Tapi boleh deh. Demi kamu, aku rela masuk ke dalam koper."

"Beneran?"

"Iya, suer deh!"

Pink tertawa lebar. Ia menunduk dan membuka kopernya. Gerakannya sangat cepat, saat ia mengeluarkan sebuah stik base ball-nya yang terbuat dari besi. Lalu dengan sekuat tenaga stik itu ia ayunkan ke kepala cowok yang berdiri di hadapannya.

Prak!!

Seketika tengkorak kepala Rudi pecah. Tubuh tinggi kurus itu sempoyongan sesaat. Tak menunggu lebih lama, Pink kembali mengayunkan stiknya ke tempurung lutut Rudi.

Krak!!

Suara berderak patah, kembali terdengar dan kembali terdengar hingga berkali-kali. Saat Pink mengelap peluh yang mengalir di keningnya, tubuh Rudi sudah tak benyawa, tergeletak tak berbentuk di atas tanah, persis seperti bunga-bunga Nek Ipah yang mati terpatah-patah. 
“Patah! Terinjak-injak! Dan mati!” gumam Pink seraya menginjak mayat Rudi, sebelum ia memasukkan tubuh yang masih hangat itu ke dalam tas kopernya. Setelah itu, ia segera menyingkirkan motor pemuda itu dengan menjerumuskan ke dalam selokan. Baru saja ia kembali mengunci tas kopernya, sebuah mobil mengklaksonnya dari belakang.

Tiiiinnn...!!

Pink berhenti. Ia menoleh ke belakang, dan mendapati seorang pria turun dengan langkah tergesa-gesa.

"Bagaimana, Pink? Kau sudah melakukannya?" tanya pria itu penuh harap.

Pink mengangguk. "Manusia tak berdaya itu, gampang sekali membungkamnya."

Pak Danu tersenyum penuh kemenangan. "Ah, Pink, jangan panggil aku bapak, deh. Panggil om aja, biar akrab."

Pink tersenyum manis. "Okey deh, Om."

"Nah, gitu kan terdengar lebih enak," Pak Danu menyeringai. Lalu matanya melirik ke koper besar yang tergeletak di sisi kaki Pink. "Jadi, ini mayatnya?"

Pink mengangguk. "Lihat saja kalau tak percaya."

Pak Danu tertawa gembira. Ia segera berjongkok dan membuka koper milik Pink. Namun betapa kagetnya ia tatkala yang dilihatnya bukanlah mayat Nek Ipah, melainkan mayat anaknya yang hampir tak berbentuk, yang ada di dalam tas koper tersebut. Seketika emosinya meledak. Ia bangkit tepat saat sebuah stik menghantam batok kepalanya dengan keras. Pak Danu tak sempat berteriak, ketika stik base ball yang sengaja di tempah Pink pada salah seorang kerabatnya di masa lalu itu, kembali menghantam tengkuknya, lalu punggung, pinggang, lengan dan seluruh tulang Pak Danu hancur berantakan, tanpa ampun. Hanya dalam hitungan detik, pria itu berpisah dari nyawanya, dengan otak berceceran di rerumputan tepi aspal jalan raya.

"Patah! Terinjak-injak! Dan mati!" ucap Pink lembut, seraya menginjak-injak tubuh Pak Danu. Susah payah ia memasukkan onggokan mayat itu ke dalam kopernya. Karena berisi dua mayat orang dewasa, koper itu tak dapat ditutup.

"Ah, what the hell!" Pink mengangkat bahu dan tersenyum kecil. Dibersihkannya stik baseball kesayangannya dari noda darah. Sambil melangkah pulang, ia bersiul-siul dan melepaskan seluruh plaster bening dari buku-buku jarinya.

-End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar