Follow

Rabu, 15 November 2017

Kereta Bayi - Karya Lindsay 'Lov

Senja sudah merangkak menuju malam, ketika Rully membuka pintu kamar, dan mendapati Milla, istrinya sedang duduk tepekur menatap ke arah bayinya yang terbaring di ranjang kecil bernuansa merah muda tersebut. Kamar mungil itu sendiri juga dicat dengan warna pink pastel yang amat lembut, khas kesukaan anak perempuan. Milla sendiri yang mengecatnya sekitar satu setengah tahun yang lalu. Dengan penuh rasa bahagia, meski perutnya tengah membuncit. Karena sudah tahu ia akan melahirkan bayi perempuan, Milla langsung mengambil inisiatif untuk memberi nuansa anak perempuan pada kamar bayi mereka. Jelas warna pink menjadi pilihan satu-satunya.

"Sayang..." panggil Rully selembut mungkin. Begitupun, Milla tampak kaget. Pandangannya langsung beralih ke arah suaminya. Wajahnya tampak tirus dan pucat. Lingkar hitam sudah mulai membayang di sekitar mata. Bibirnya mengerit kering. Rambut pendeknya tampak kusut tak terurus.

"Mas, tadi sepertinya aku melihat Chika tersenyum. Manis sekali, Mas. Memang sih hanya sekilas. Tapi aku yakin sekali, dia tersenyum padaku. Chika pasti tahu kalau aku selalu menunggunya. Chika menyayangiku, Mas."

Rully meraih istrinya untuk bangkit, dan memberi isyarat pada pengasuh yang selalu setia untuk menggantikan istrinya menemani putri mereka.

"Tentu saja, sayang. Tetapi sekarang kita makan dulu."

"Tapi Mas, Chika akan bingung kalau nanti terbangun dan tidak mendapatkan aku berada di dekatnya," sela Milla cepat. Tubuhnya bergerak hendak kembali ke ranang putrinya. Namun Rully langsung menahan tangan istrinya.

"Si mbok pasti akan memanggil kita kalau Chika bangun. Ayo sayang, kita makan. Aku tidak mau kamu jatuh sakit."

"Tapi Mas ..."

"Setelah makan, kita sama-sama akan menjaga Chika. Ok?"

Milla menatap suaminya. Pria yang menikahinya sekitar lima tahun yang lalu. Pria tampan dengan hati yang begitu baik. Raut waahnya bagai diukir. Matanya menatap lembut dengan pancaran cinta yang begitu besar. Begitu besarnya hingga mampu menerima kondisi kejiwaannya yang mulai kacau.

"Maafkan aku, Mas ..." bola mata Milla berkaca-kaca. Sebelum titik bening meluncur dari kedua mata indah itu, Rully langsung memeluk istrinya. Mendekapnya dengan penuh sayang. Membelai punggungnya, serta rambutnya dengan kasih.

"Sudahlah, sayang. Aku tak ingin kau mengingatnya lagi."

"Tapi kalau saja aku tidak meninggalkan Chika ..."

"Kalau saja aku tidak meneleponmu ..."

"Tapi Mas menelepon untuk mengingatkan aku ke dokter,kan?"

"Ya. Harusnya aku langsung pulang saja ..."

"Bukan salahmu, Mas."

"Bukan salahmu juga, Milla."

Milla memeluk suaminya dengan erat. Rully benar. Mereka tidak sepantasnya mencari-cari siapa yang salah. Dia memang pelupa sekali. Sudah berkali-kali dia lupa membawa Chika untuk imunisasi. Makanya Rully akhirnya meneleponnya untuk mengingatkannya. Sayangnya, saat itu,ponselnya berada agak jauh. Sehingga Milla harus meninggalkan Chika di kamar. Namun belum sampai semenit, dia mendengar putrinya menjerit keras sekali. Ternyata bayi mungilnya terjatuh dari tempat tidur dengan kepala membentur lantai. Milla histeris. Chika koma. Dan Rully bagai hidup dalam penyesalan yang tiada habisnya.

*

“Bagaimana, Ken?” tanya Rully saat itu. Kenji adalah sahabatnya, yang juga dokter jaga, yang langsung menangani anaknya di ruang UGD. Dan dilihatnya wajah sahabatnya itu tampak keruh.

“Aku harus mengatakan hal terburuk padamu, Rul,” jawabnya tanpa basa-basi. “Chika mengalami trauma pada kepalanya. Kita harus mengoperasinya.”

“Apa saja,Ken. Lakukan apa saja untuk menyelamatkan Chika.”

Kenji menepuk bahu Rully. “Tentu saja, sobat. Kau bersabar dan berdoalah.”

Rully dan Milla istrinya, tentu saja melakukan lebih dari sekedar bersabar dan berdoa. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Memang putri mereka berhasil dioperasi. Namun Chika mengalami koma dan belum juga siuman hingga kini. Sudah hampir setahun, Chika yang masih berusia 14 bulan tersebut hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur, dengan selang-selang infus yang membantunya untuk tetap bertahan hidup. Dan yang lebih memilukan lagi, Milla selalu menyalahkan dirinya. Dia sering menangis dan menyesal mengapa telah meninggalkan putrinya. Milla juga sering mengalami mimpi buruk, membuat Rully sangat bersedih.

“Sebaiknya Chika dirawat di rumah saja, Rul. Biar kau bisa memperhatikan kondisi Milla juga. Lihat saja, istrimu sudah seperti mayat hidup,” saran Kenji suatu hari. Rully mengangguk. Milla menyambut keputusan itu dengan amat suka cita, sehingga dia membangun mimpinya dengan berhalusinasi bahwa Chika sesekali tersenyum padanya.

“Mas, lihat iklan ini. Ada yang menjual kereta bayi. Aduh … lucunya …” seru Milla suatu hari, seraya menunjukkan selembar koran kepada suaminya.

“Iklan apa, sayang?” tanya Rully menoleh ke arah istrinya. Sore itu, istrinya tampak agak berbeda dari biasanya. Wajahnya sedikit segar. Meski matanya masih terlihat sembab setelah keluar dari kamar putri mereka, namun Rully mampu menangkap sedikit keceriaan pada istrinya.

“Ini, Mas. Ada yang menjual kereta bayi. Lihat, deh.” Milla memperlihatkan foto kereta bayi yang diiklankan di koran. Di atasnya tertulis: ‘Dijual Kereta Bayi. Bekas tapi baru’.

“Hm … apa sudah saatnya kita membeli kereta bayi lagi?” tanya Rully hati-hati.

“Iya, Mas. Chika kan sebentar lagi sembuh. Gimana nanti kalau dia ingin jalan-jalan?”

“Tapi kita bisa membelinya di toko, kan?”

“Memangnya kenapa dengan yang di iklan ini?”

“Itu kan kereta bekas, sayang. Kita gak tahu itu bekas siapa.”

“Tapi masih baru, Mas.”

“Iya, tapi kereta bekas, kan?”

“Bekas tapi baru, Mas! Baca dong ini tulisannya!” Milla mulai tampak kesal.

Rully tersenyum. “Kamu gak ingin kita membeli yang baru saja untuk Chika? Yang lebih bagus dan lebih besar?”

Milla menggeleng. “Aku ingin kereta ini. Aku suka kereta ini, Mas. Ayo kita membelinya sekarang. Aku tidak mau keduluan orang lain.”

“Sekarang juga?”

“Iya, sekarang, Mas!” ucap Milla tak mau dibantah.

Satu hal yang sejak dulu paling tidak mampu dibantah Rully adalah keinginan Milla. Kalau wanita itu sudah menginginkan sesuatu, dia pasti akan segera memenuhinya. Bukan karena terlalu memanjakannya, namun karena dia sangat mencintai wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Terlebih sore ini dilihatnya Milla sangat bersemangat. Sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya yang bagaikan robot tanpa jiwa. Yang hanya mampu menangis dan termenung. Jelas Rully tidak ingin membuang momen indah tersebut. Melihat istrinya kembali tersenyum, dengan rona merah yang sedikit membayang di pipinya yang kurus, serta kicauannya tentang kereta bayi ‘bekas tapi baru’ yang kini mereka tuju, sudah membuat jiwanya menghangat. Biarlah. Biarlah mereka membeli kereta itu. Setidaknya, Milla sudah mampu ceria hanya dengan kehadiran iklan tersebut.

“Mas, nomer 13. Itu, rumah besar di depan itu!” tunjuk Milla pada suaminya. Rully menoleh dan melihat sebuah rumah besar bernomor 13, sesuai dengan alamat yang tertera pada iklan baris di koran yang mulai lecek di tangan Milla.

“Rumah ini tampak agak … menyeramkan, ya?” komentar Rully tertawa. Milla ikut tertawa geli dan langsung turun dari mobil. Tanpa sungkan tangannya terulur memencet bel di sisi kiri gerbang tinggi yang menghadang langkah mereka. Tak lama, gerbang terbuka dengan sendirinya. Milla langsung menggandeng lengan suaminya untuk segera memasuki halaman rumah besar tersebut.

Rully menahan langkahnya sesaat. Udara sore yang hangat berubah dingin dan mendirikan bulu-bulu di tengkuknya. Ini sungguh aneh. Lama sekali dia tidak merasakan nuansa seperti ini.

“Kenapa, mas?” tanya Milla heran melihat suaminya menatap ke sekeliling pekarangan yang ditumbuhi beberapa pohon besar dan tanaman liar. Bahkan pandangannya mengitari seluruh rumah besar yang sepi bagai tak berpenghuni tersebut. Rumah tua dengan segala macam atribut kuno dan mencekam. Dengan cat dinding yang sudah menguning dan mengelupas. Bentuk rumah tua itu sendiri mengingatkan Rully akan puri-puri tua di dalam dunia dongeng.

“Sayang, sepertinya rumah ini kosong, ya?” tanya Rully waspada.

“Kalau kosong, kenapa gerbangnya bisa membuka sendiri?” tanya Milla menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa sih, Mas? Kamu takut?”

Rully menoleh ke arah istrinya dan langsung memencet hidung Milla. “Bukankah yang penakut itu kamu?”

Milla menjerit dan tertawa seraya menghindar dari tangan suaminya. Tepat saat itulah dia melihat ada seseorang di sudut pandangannya.

“Mas, ada anak kecil di atap rumah itu!” serunya cepat.

“Apa? Mana?” tanya Rully mengikuti arah tangan istrinya. Dia langsung menatap atap rumah yang berdiri kokoh di hadapan mereka. Hari sudah mulai senja, namun langit masih terang sehingga dia mampu memastikan kalau di atap rumah tidak ada siapa-siapa. “Tidak ada siapa-siapa.”

Milla menggeleng lemah. “Tapi tadi ada, Mas. Anak kecil. Dia berdiri di atap rumah itu dan memandang kemari.”

“Gak mungkin, sayang. Apa lagi anak kecil.”

“Aku tidak, bohong, Mas!”

“Milla, aku tidak menyebutmu bohong. Mungkin kau hanya salah lihat. Pohon-pohon yang tingginya seatap dan bergerak-gerak bisa menyerupai orang.”

“Anak kecil, Mas. Sekitar 3 tahun gitu. Anak perempuan, lagi.”

Rully menatap istrinya. Hatinya mulai cemas. Istrinya mulai berhalusinasi, dan dia merasakan bulu kuduknya meremang. Mungkin mereka harus segera pergi dari tempat yang tampak mencekam tersebut.

“Selamat sore. Cari siapa ya?” tiba-tiba terdengar suara dari sisi kiri mereka. Rully dan Milla segera menoleh. Mereka melihat sepasang suami istri yang sudah renta tengah tersenyum ramah kepada mereka.

“Nenek, aku Milla yang menelepon siang tadi. Aku yang ingin membeli kereta bayi yang nenek iklankan di koran ini.” ujar Milla seraya menyalami kedua orang tua renta tersebut tanpa rasa cemas sedikitpun. Rully yang sedianya ingin menangkap tangan istrinya, hanya mampu tersenyum waspada sambil menganggukkan kepala. Dilihatnya pasangan pemilik rumah tersebut menyambut hangat tangan Milla dan dalam tempo semenit, ketiga orang itu sudah tampak akrab.

“Ayo silahkan masuk. Tak baik senja-senja begini di luar rumah,” Ucap si pria tua yang meminta mereka memanggilnya sebagai kek Rajo. Sementara, Nek Rajo dan Milla sudah menghilang masuk ke dalam rumah. Rully tampak cemas. Dia tidak tahu kapan Milla bersama nek Rajo masuk. Dia merasa bagai terhipnotis.

Tak berapa lama, kekhawatiran Rully terhapus sudah. Dilihatnya istrinya muncul dari dalam rumah bersama nek Rajo. Mereka membawa kereta bayi yang sangat membuat Milla bahagia.

“Mas,lihat kereta bayi ini! Bagus sekali, kan?” ucapnya seraya mendorong sebuah kereta bayi berwarna hitam ke arahnya. Kereta itu tampak biasa saja di mata Rully. Tidak ada yang istimewa. Bentuk dan ukurannya sama dengan kereta bayi yang pernah mereka beli sebelum Chika lahir, yang akhirnya mereka berikan ke tetangga karena Chika masih belum siuman juga hingga kini. Tetapi kenapa Milla begitu antusias dan gembira sekali bisa mendapatkan kereta tersebut?

“Sayang, benarkah kau ingin membeli kereta bayi ini?” tanya Rully sedikit berbisik. Milla langsung mengangguk. Senyumnya melebar dan dia tampak sedang tak ingin dibantah.

“Aku suka sekali dengan kereta bayi ini, Mas. Bekas, tapi baru. Lihat saja besi-besinya masih si lapisi plastic,” ucap Milla cepat.

“Jangan cemaskan kereta ini, nak,” terdengar suara nek Rajo yang seolah menangkap kekhawatiran di wajah Rully. “Kereta ini sebenarnya masih baru. Makanya kami menyebutnya di iklan ‘bekas tapi baru’. Bekas karena kami membelinya hampir 4 tahun yang lalu. Tetapi kereta bayi ini belum sempat dipakai. Jadi masih bisa dibilang baru, kan?”

“Siapa yang seharusnya memakai kereta bayi ini?” tanya Rully cepat.

Nek Rajo diam sejenak. Bibir tuanya tampak sedikit gemetar.

“Anita, cucu kami,” kali ini kek Rajo yang menjawab. Lelaki tua itu segera menggenggam tangan istrinya. Tampak sepasang tangan keriput saling bertaut, memperlihatkan sebentuk kasih sayang.

“Mas, mereka membeli kereta bayi ini sebagai hadiah kelahiran cucu mereka yang pertama. Namun kecelakaan menimpa Anita dan kedua orang tuanya, anak nenek dan kakek Rajo. Ketiganya meninggal dan kereta ini mereka simpan hingga sekarang. Jadi benar-benar masih baru, Mas.”

Rully menelan ludah. Miris sekali mendengar musibah tersebut. Pantas saja nek Rajo tak mampu menjawab pertanyaannya.

“Hasby adalah anak kami satu-satunya. Sore itu, yah,sekitar 4 tahun yang lalu, mereka berjanji akan datang untuk makan malam bersama di rumah ini. Makanya kami cepat-cepat membelikan kereta bayi ini sebagai hadiah untuk cucu kami yang pertama, Anita. Tetapi…” kek Rajo tidak meneruskan kata-katanya.

“Saya mohon maaf, kek. Bukan maksud saya untuk membuat kalian bersedih,” ucap Rully cepat.

“Milla, ambillah kereta bayi itu untuk Chika. Gratis,” terdengar suara Nek Rajo tiba-tiba.

“Benarkah, nek?” tanya Milla tak percaya.

“Maaf, nek. Bukannya menolak. Tetapi kami tidak dapat menerima kereta bayi ini.” terdengar suara Rully tegas.

“Mas!!” Milla menjerit tak percaya.

Kakek dan nenek Rajo menoleh ke arah Rully dengan pandangan tak percaya juga. Membuat pria itu tak enak hati.

“Milla, kau jangan histeris begitu, sayang. Kau belum mendengar seluruh ucapanku, kan?” Rully tersenyum lembut. Dia pun memandang kedua suami istri tua di hadapannya dengan pandangan simpati. “Nek, maksudku adalah, kami tidak mau menerima kereta ini secara cuma-cuma. Kami datang kemari untuk membelinya. Benar begitu, kan Milla?”

Milla menghapus airmata yang terlanjur keluar dari pelupuk matanya. “I ... iya, nek,” ucapnya terbata-bata. Nek dan Kek Rajo tertawa. Tetapi mereka memaksa Rully dan Milla menerima kereta bayi itu tanpa membayar se senpun. Bahkan mereka juga diberikan satu koper penuh pakaian bayi yang seluruhnya masih baru.

“Kami tidak mungkin menyimpan semua ini lagi. Kami sudah merasa waktunya telah tepat untuk melepas seluruh kenangan ini. Kelak, rumah ini akan kami jual,” demikian jelas kek Rajo saat mengantarkan Rully dan Milla ke mobil mereka.

“Jagalah Chika dengan baik, Milla. Dia pasti manis sekali seperti Anita, cucu kami,” ucap nek Rajo seraya memegang tangan Milla.

“Iya, nek. Pasti. Hm … kalau Anita masih hidup, dia pasti sudah 4 tahun sekarang ya nek?” tanya Milla.

Nek Rajo mengangguk. Lalu melambaikan tangannya. Kek Rajo juga melambaikan tangannya. Dan sekilas, mata Milla melihat seorang anak perempuan balita menatapnya dari atap rumah sepasang suami istri tua tersebut.

“Mas …”

“Ya?”

Milla menggeleng. “Engga …” katanya tersenyum. Biarlah hanya dia yang tahu kalau Anita telah memperlihatkan diri kepadanya.

Sesampai di rumah, Mila langsung memakaikan stelan baju bayi pemberian nek Rajo pada Chika. Dan walaupun gadis kecilnya itu masih terbaring tak berdaya, Milla segera meraihnya dan menidurkannya di dalam kereta bayi barunya.

“Sayang, apakah tidak sebaiknya kita menunggu Chika bangun dulu?” Rully cemas melihat kelakuan aneh istrinya.

Milla menggeleng, “aku sudah gak sabar ingin menidurkannya di dalam kereta bayi ini, Mas. Aku ingin melihatnya bahagia.”

“Tapi ini sudah malam. Gimana kalau besok saja?”

“Sebentar saja, mas. Nanti akan kutidurkan lagi di ranjang, okey?”

Rully hanya menghela nafas. Milla memang keras kepala. Namun wanita itu adalah wanita termanis yang pernah ia miliki. Dan dia tidak bisa menghalangi istrinya untuk merasa bahagia, meski melakukan hal yang sedikit aneh.

Entah karena kelelahan, Rully tidak tahu pasti sudah berapa lama dia tertidur, sampai teriakan istrinya membangunkannya.

“Mas! Mas!”

Rully langsung melompat dari tempat tidur. “Astaga! Apa aku kesiangan?”

“Maaass ...” kali ini suara istrinya terdengar melolong mengerikan. Rully dapat merasakan sumber suara tersebut dari kamar putrinya. Bagaikan terbang, pria itu keluar dari kamar dan mendapatkan istrinya yang terkulai lemas di ambang pintu kamar Chika.

“Milla! Milla ... ada apa?” tanya Rully sedikit panik seraya meraih tubuh istrinya.

Mila tak mampu menjawab. Dengan lemah, tangannya terangkat dan menunjuk ke dalam kamar. Rully mendorong pintu kamar hingga terbuka, dan betapa terkejutnya ia saat pandangannya mendapatkan putrinya Chika sedang berjongkok sambil memakan bagian-bagian tubuh pengasuhnya yang tergeletak bersimbah darah di lantai.

“Chi ... Chika ...” Rully mendesis parau, tak percaya dengan penglihatannya.

Chika menoleh, lalu mulutnya yang penuh darah menyeringai lebar. “Pa ... pa. Chika lapar ...”

-= TAMAT =-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar