Follow

Selasa, 14 November 2017

Arcana (Kartu Tarot) - Karya Sarah Haibara

Arcana (Kartu Tarot)

Repost By: Rara

“Hei.. hei, apaan sih nih? Kenapa mereka pakai baju seperti orang gila begitu?” tanyaku saat melihat pemandangan aneh disini, aku dan Yuko, sahabatku sedang jalan-jalan di distrik Harajuku sepulang sekolah hari ini.
”Harajuku memang begini, Rena. Plis deh! Itu kan Goth lolic, lagi ngetrend lho model seperti itu sekarang.” jawab Yuko.
”Gak niat banget aku kalau trendnya kayak gitu. Kamu mau beli apaan disini? Cepetan!”
”Kan sudah kubilang, aku mau beli swagnya Nokizaka 46. Nah, itu tokonya.” tunjuk Yuko.
”Masuk yuk!”
”Aku gak masuk deh, entar kalau masuk aku bisa kecantol lagi sama barang bagus lagi. Ini kan tanggal tua, aku belum dapat uang bulanan.”
”Kau ini! Trus mau nunggu di luar gitu?” Aku mengangguk.
”Ya udah, aku bentar doank kok, tunggu ya.”
”Iya.” jawabku. Sambil menunggu Yuko di dalam, aku sengaja melihat etalase toko-toko disini, kalau-kalau ada barang bagus yang bisa kubeli jika nanti aku sudah dapat uang bulananku.
”Bruggghhh...” seseorang menabrakku. Segera aku berbalik untuk melihat siapa.
”Eh, maaf nek.” aku berujar setelah melihat siapa yang tadi menabrakku. Seorang nenek tua yang mengenakan jubah sedang terduduk disana.
”Tidak Nak, Nenek yang salah.” kata Nenek itu sambil mengumpulkan barang-barangnya yang tercecer. Aku membantunya.
”Tidak, bukan salah Nenek kok. Harusnya tadi aku gak berdiri disana. Nih, Nek. Aku cuma bisa mengumpulkan segini.” ujarku menyerahkan barang-barang Nenek tersebut yang berhasil kukumpulkan.
”Oh ya, boleh aku tanya gak Nek? Kok dandanan Nenek kayak gitu sih? Gak mungkin kan Nenek mengikuti gaya Goth Lolic?” ucapku bergidik membayangkan jika Nenek itu benar-benar menuruti trend Goth Lolic.
”Nenek tidak sepeti yang kau pikirkan, Nak. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu Nenek, kamu mau kan mengambil pemberian Nenek ini?” Nenek itu menyerahkan sebuah kotak kepadaku.
”Tidak usah, Nek. Aku ikhlas kok.”
”Tidak! Ambillah.” Nenek itu mengambil tanganku dan meletakkannya disana. Kuawasi kotak itu, seperti kartu.
”Tapi Nek..”
”Ini takdirmu, Rena Matsui.”
”Takdirku?”
”Iya, didalam kotak itu berisi 78 lembar kartu tarot. Setiap pagi sempatkanlah mengambil selembar secara acak. Kartu itu adalah jalanmu.” jelasnya lagi.
”Oh, begitu ya?” jawabku sambil berpikir. Aku teringat sesuatu.
”Hei, darimana Nenek tahu kalau namaku Rena Matsui?” tanyaku cepat mencari keberadaan Nenek itu. Tapi dia menghilang. Aku berusaha mencarinya, tapi tetap saja, nihil.
”Cari siapa, Rena?” seseorang menyentuh bahuku. Yuko pastinya.
”Bukan siapa-siapa.” jawabku segera sambil menyembunyikan kartu itu kedalam tasku.
”Oh, aku udah dapat swagnya nih. Gimana bagus gak?” Aku mengangguk.
”Kita pulang ya.”
”OK.”
***
Aku berbaring dikamarku malam ini, memikirkan arti ucapan Nenek yang tadi siang.
”Takdirku? Apa hubungannya takdirku dengan kartu tarot?” aku membatin. Kubuka tasku dan mengeluarkan satu set kartu tarot itu dari dalamnya. Kuperhatikan kartu itu. Aku memang bisa membaca kartu tarot sejak dulu. Bukan karena aku cenayang atau apa, tapi orang biasa pun sebenarnya mampu sebenarnya bisa melakukannya asal belajar. Walau tidak sedalam artian seorang gipsi membacanya sih. Kutarik selembar kartu dari deretannya dan terbelalak saat melihat gambarnya.
”Fool Arcana? Memangnya apa yang harus berawal dariku?” tanyaku pada diri sendiri masih terus mengawasi kartu yang bergambar anak kecil ditanganku.
”Kau tidak menuruti perintahku!” Aku mendengar suara desisan marah yang rasanya sangat nyata dari kamarku.
”Siapa?”
”Aku bilang ambil kartunya setiap pagi, bukan malam hari. Maka kau sendiri harus membayarnya.” suara itu terdengar lebih jelas.
”Woy! Siapa sih? Gak sopan tahu gak!” bentakku.
”Rena? Kamu kenapa Nak?” Mamaku memanggilku dari luar.
”Gak papa kok Ma.” jawabku.
’Hanya halusinasi.’ Aku menghibur diriku sendiri.
”Lalu kenapa kamu marah-marah?”
”Siapa yang marah Ma? Mama salah dengar kali.” ucapku berbohong.
”Gitu ya? Ya udah. Tidurnya jangan malam-malam, besok kamu masuk pagi lho.”
”Iya.”

***

”Brakkk...” geprak seorang pada mejaku pagi ini.
”Ada apa lagi, Akira?” tanyaku setelah melihat siapa yang melakukan hal bodoh barusan.
”Masih tanya kenapa? Sudah kubilang jangan pernah dekati Ken kan? Kenapa masih kau dekati dia?” kecam Akira. Aku sangat yakin sekarang wajahku sudah memerah karena kelakuak Akira ditambah lagi teman-teman sekelasku yang menonton kami.
”Aku sama sekali tidak mendekati Ken. Jadi berhentilah bersikap kekanak-kanakan seperti ini!”
”Plakss...” sebuah tamparan baru saja mendarat dipipiku.
”Kau bilang tidak mendekatinya hah?” Aku naik pitam.
”Kau! Sudah kubilang yang sebenarnya padamu kan? Aku tidak mengambil apapun darimu. Sebelumnya bisa saja aku memaafkan kelakuanmu hari ini. Tapi setelah aku menaparku, jangan harap!”
”Siapa yang butuh maaf darimu?”
”A..”
”Teng...teng...” Baru saja aku mau bicara, bel tanda masuk berbunyi.
”Kita lanjutkan nanti!” desisnya lalu berjalan meninggalkan bangkuku.
”Siapa takut.” balasku menyentak duduk. Hatiku mash panas. Aku tak yakin apakah aku bisa berkonsentrasi penuh saat pelajaran kimia pagi ini. Tapi Sensei Kitagawa sudah memasuki kelas, mau tak mau aku harus menahan diri. Kubuka tasku berniat mengeluarkan buku-bukuku. Aku tersentak saat melihat isinya.
”Kapan aku masukin ni kartu kedalam tas ya? Perasaan tadi malam ku taruh dimeja setelah aku mengambil satu.” aku membatin.
”Ngomong-ngomong soal kartu, aku belum membukanya hari ini kan?” bisikku. Dengan satu gerakan kuambil selembar kartu dan lagi-lagi tersentak dengan gambar didalamnya.
”Hanged man Arcana? Bagus! Kalau ada yang harus dikorbankan seharusnya orang itu adalah Akira.” desisku lagi.
”Itupun kalau korbannya adalah nyawa. Tapi ada yang aneh dengan kartu ini, kenapa posisi orang yang digantung agak geser kekiri ya? Biasanya kan ditengah?” Aku masih memandangi kartu itu dari balik tasku.
”Kau sedang apa sih, Ren?” senggol Yuko dari sampingku.
”Oh maaf.” aku segera sadar dari lamunanku tentang kartu tarot ditanganku sekarang.
***
”Teng... teng...” bel istirahat berbunyi. Bu Kobayashi, guru sastra yang mengajar kami sebelum istirahat ini berjalan keluar diikuti beberapa murid yang salah satunya Akira. Aku menghela nafas melihatnya pergi. Setidaknya aku bisa menikmati makan siangku dengan nyaman. Aku dan Yuko baru saja melangkahkan kaki keluar kelas saat mendengar teriakan ini.
”Tolong! Ambulans! Cepat panggil ambulans!” suara Bu Kobayashi. Kami segera berlari menghampiri suara itu. Dari atas sini dapat kami lihat Bu Kobayashi sedang terduduk di lantai di bawah tangga sambil memeluk tubuh seorang siswi berambut panjang berombak dengan kepala berlumuran darah. Akira. Aku membekap mulutku dengan kedua tanganku. Aku tak mampu menahan air yang terjun mengalir dari mataku. Aku berlari, menjauh dari kerumunan orang yang mulai sesak sambil menangis sejadi-jadinya.
”Rena, tunggu!” kejar Yuko.
Aku mengerjapkan mata, nyala lampu membuat mataku silau. Aku sedang terbaring. Lebih tepatnya baru sadar.
”Dimana aku?”
”UKS. Maaf, kami harus memberimu obat penenang.” ucap seseorang yang suaranya kukenal. Sensei Kashiwagi, wali kelasku.
”Kenapa aku harus diberi obat penenang?” tanyaku sambil memegangi kepalaku yang terasa pusing.
”Kau terus menangis setelah melihat keadaan Akira. Ada apa sebenarnya?”
”Akira? Bagaimana dengan keadaannya?” tanyaku melompat duduk.
”Dia... meninggal.”
”Apa?” Yuko mengangguk. Airmataku kembali mengalr, deras. Aku sesunggukan.
”Rena... Rena!” Yuko berusaha menenangkanku. Dengan mata yang basahpun dapat kulihat Sensei Kashiwagi menyuntikkan sesuatu pada lenganku. Pandanganku berputar, makin lama makin gelap dan menghilang.
***
Aku kembali tersadar dari pengaruh obat penenang itu, kali ini aku berada di kamarku sendiri dengan ibuku yang memijat kakiku.
”Mah?”
”Kamu sudah sadar, Rena? baguslah. Minum dulu.” Mamaku mengangsurkan segelas air mineral padaku yang langsung tandas kuminum.
”Kamu gak apa-apa kan?” Aku menggeleng.
”Baguslah.”
”Ma, apa Akira beneran meninggal?”
”Iya, dia kehilangan banyak darah akibat jatuh dari tangga. Tengkoraknya juga mengalami keretakan. Kata guru yang mengantarmu tadi, jenazahnya sudah diambil pihak keluarga.” jelas Mama.
”Kamu yakin gak apa-apa?” sekali lagi aku menggeleng.
”Ya sudah. Sekarang kamu tidur ya, sudah jam setengah sebelas, Mama gak nyangka pengaruh obatnya sampai jam segini.” ucap Mama.
”Oyasumi (Selamat tidur, red) Sayang.” Mama mengecup keningku. Sepeninggal Mama dari kamarku bukannya istirahat seperti yang diperintahkan Mama, aku malah sibuk mengobrak-abrik tasku. Aku mencari kartu itu, penasaran kenapa omonganku saat melihat kartu tarot Hanged Man Arcana itu jadi kenyataan.
”Mana... mana?” ucapku tak sabar.
”Gak ada! Perasaan tadi gak kukeluarkan kok!” ucapku putus asa setelah tak menemukan kartunya dimanapun dalam tasku.
***
Sekolah sama sekeli tidak diliburkan setelah insiden kemaron. Pagi ini, saat berjalan ke lokerku, aku melewati loker milik Akira. Ada banyak sekali kuntum bunga disana, tanda duka cita tentunya. Aku berhenti, menatap bergantian kuntum bunga itu juga photo Akira yang sengaja ditempel di lokernya.
”Maafkan aku, Akira.” entah kenapa rasanya sangat sulit menerima kenyataan kalau dia sudah meninggal. Meski aku membencinya, aku turut sedih dan merasa bersalah.
”Ini bukan karena kartu itu kan?” gumamku lagi.
”Kau yang meminta dia yang dikorbankan? Aku mengabulkannya.” Desis suara itu terdengar lagi. Suara yang sama dengan yang kudengar saat di kamarku.
”Siapa?” Aku memandang berkeliling. Hanya ada diriku sendiri disini, kecuali langkah kaki yang semakin mendekat dari belokan didepanku. Suara desisan tak terdengar lagi, namun langkah kaki itu semakin dekat dan membuat jantungku berpacu kencang. Dan...
”Yuko? Kau menakutiku!” ucapku melihat siapa yang datang.
”Parno banget sih, Rena! Ngapain masih diam disana? Kelas dimulai lima menit lagi lho.” ujar Yuko, dia berjalan ke lokernya.
”Eh, aku mau ngambil buku catatan matematika milikku yang kuletakkan di loker.” kataku juga menghampiri loker milikku. Begitu kubuka loker itu, aku terkejut melihat suatu benda yang tidak seharusnya ada disana. Kartu tarot. Dia berada diatas buku yang mau kuambil. Mau tak mau aku harus menggesernya. Sejujurnya aku berusaha tidak menyangkut-pautkan kematian Akira dengan kartu tarot ini, namun melihat desisan yang selalu hadir dan juga perkataanku setelah membuka kartu tarot kemarin pagi, tak dapat kupungkiri kalau kartu itu ada hubungannya dengan kematian Akira. Dengan hati-hati kuangkat kartu itu dan memindahkannya. Namun, tak sengaja aku menjatuhkan selembar kartu ke lantai. Kuambil kartu itu, kubaca.
”Moon Arcana?”
”Dan lagi-lagi sedikit geser dari posisi seharusnya yang ditengah, agak ke kanan!” bisikku lagi.
”Bulan artinya kan ... bahaya tak terdua. Ada bahaya yang mengintaiku ya?”
”Kau sudah selesai, Rena? Kita ke kelas yuk!” ajak Yuko mendekatiku.
”Kau sedang pegang apa tuh?” tanyanya lagi. Segera kukembalikan kartu itu pada tempatnya semla.
”Bukan apa-apa. Yuk, balik ke kelas!” aku berbohong. Aku tak bisa menceritakan yang sebenarnya pada Yuko. Aku tak mau buat dia khawatir. Dia paling takut dengan yang berhubungan dengan hal-hal mistik.
”Rena, maaf ya. Kayaknya pulang sekolah nanti aku gak bisa bareng kamu deh. Aku mau jalan sama Fuga.” Aku mengangguk, mengerti keadaan Yuko.
”Hati-hati ya, aku punya firasat buruk hari ini.” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
”Firasat buruk? Hei, sejak kapan kau jadi cenayang?”
”Aku gak pernah jadi cenayang, Yuko. Soal kata-kataku tadi, lupakan saja!” ucapku mengoreksi. Aku tak tahu, sungguh mengapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
”Teng... teng...”
”Wah, gawat! Lari yuk!” ajak Yuko yang kuiyakan dengan tindakan. Kami berlari ke kelas.
***
Untungnya tidak terjadi apa-apa hari ini. Setidaknya sampai jam pulang sekolah. Aku berjalan gontai menyusuri koridor sekolah yang disesaki murid-murid. Yuko sudah lebih dulu keluar bersama Fuga.
”Apa... apa? Siapa yang kecelakaan?” kudengar suara bisik-bisik beberapa murid di depanku.
”Siapa yang kecelakaan? Dimana?” tanyaku pada seseorang dari mereka.
”Rena? Kamu disini? Terus yang kecelakaan didepan dengan Yuko...”
”Yuko kecelakaan? Dimana?” tanyaku panik, nafasku sesak mendengarnya.
”Iya, dia kecelakaan didepan sekolah. Berdua. Kukira dia dengan kamu..” belum selesai dia bicara segera aku berlari menghambur menerobos kerumunan. Dari seberang jalan, dapat kulihat tubuh Yuko yang lemah penuh darah dimasukkan kedalam ambulans.
“Yuko!” panggilku.
***
Aku bolak-balik berjalan dikoridor rumah sakit ini bersama Sensei Kashiwagi dan orang tua Yuko. Sudah nyaris sejam Yuko ditangani Dokter.
“Keluarga Yuko Oshima?” tanya seorang Dokter yang baru keluar dari ruangan tempat Yuko ditangani.
“Iya, bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Mama Yuko.
“Operasinya berhasil. Tapi sekarang dia sedang koma.” Jelas Dokter itu.
“Boleh kami masuk, Dok?” tanyaku. ”
Boleh, tapi bergantian. Saya permisi dulu.” ucap Dokter itu berlalu. Sebenarnya aku ingin segera masuk ke dalam sana dan melihat bagaimana keadaan Yuko. Tapi tentu saja tak bisa karena ada orang tuanya.
”Nih, minumlah! Bisa membuatmu merasa lebih tenang.” ucap Sensei Kashiwagi sambil mengangsurkan sekaleng soda.
”Arigato, Sensei!” (Terima kasih, Pak. red)
”Dari tadi aku hanya memikirkan keadaan Yuko sampai tidak tahu Fuga. Apa Fuga baik-baik saja?” tanyaku.
”Dia jauh lebih baik dari Yuko. Hanya luka ringan.”
”Kreeekkk...” pintu berderit ketika dibuka. Orang tua Yuko sudah keluar.
”Silahkan jika kalian ingin melihat keadaan Yuko.” ucap Ayahnya sementara Mama Yuko sesunggukan.
”Terima kasih.” segera aku masuk kedalam ditemani Sensei Kashiwagi. Sungguh aku tak tega melihat keadaannya yang sangat memprihatinkan. Tubuhnya penuh dengan peralatan medis dan lukanya dibalut rapi. ”Maaf, Yuko. Tak seharusnya kubuka kartu sialan itu.” aku membatin.
***
Sepulang dari rumah sakit bukannya ke rumah malah menuju sekolah. Tujuanku adalah ada pada lokerku. Kartu tarot itu. Aku sangat yakin sekarang hal-hal buruk yang terjadi selama beberapa hari ini perbuatan kartu itu. Aku ingin menghancurkannya malam ini juga. Pintu lokerku berderak saat kubuka. Kartu tarot itu masih ada disana. Kuambil dengan kasar kartu itu dan kubanting pintunya. Aku terdiam, terkesiap melihat selembar kartu tertempel di pintu lokerku.
”Sejak kapan kartu sialan ini ada disini!” tanyaku kesal. Aku mendekat untuk melihatnya lebih jelas.
”Death... Arcana?” ucapku bergetar.
”Posisi tegak lurus seperti biasa, sama seperti kartu pertama yang kau buka, Rena. Kartu Fool Arcana.” ucap seseorang dibalik bayang kegelapan. Ruang loker ini hanya diterangi lampu dengan watt yang sangat kecil sehingga cahayanya redup.
”Siapa?”
”Masih ingat aku, Rena?” tanyanya sambil berjalan kearahku, ketempat yang lebih terang. Jubah hitamnya melambai-lambai dengan tudung kepala yang terpasang.
”Nenek?”
”Kau masih memanggilku Nenek padahal aku aku sudah lebih muda sekarang?” Dia menyingkap tudung yang menutupi wajahnya. Walau samar, dapat kulihat sebuah wajah yang seingatku sangat berbeda dengan yang kutemui waktu di Harajuku.
”Siapa kau?” aku mundur perlahan tahu ada bahaya sedang mengincarku.
”Siapa aku? Kenapa pertanyaan kalian selalu sama? Siapa aku? Kau mau apa? Dan sebagainya.” Gadis itu makin dekat denganku. Wajahnya terlihat jelas sekarang, tapi tetap saja aku tak mengenalinya.
”Kau beruntung dapat melihat wajahku yang sebenarnya, biasanya aku hanya memperlihatkan diri sebagai orang yang dikenal korbanku.”
”Korbanmu?” tanyaku ketakutan.
”Kau pura-pura bodoh atau benar-benar bodoh hah? Tak lihatkah kau bagaimana dengan Akira dan Yuko? Aku menampakkan diri sebagai Ken dihadapan Akira yang sedang menunggunya di bawah tangga. Gadis itu terlalu bodoh untuk berhati-hati sehingga tergelincir. Dan Yuko? Kau pasti bisa menebaknya sendiri. Tapi mereka berdua hanya bonus bagiku karena tujuan utamaku adalah kau, Rena Matsui!”
”Aku tujuan utamamu?” Aku bergidik mengucapkannya.
”Ya, tak tahukah dirimu kalau didalam tubuhmu mengalir darah Merlin si penyihir legendaris? Kau keturunannya yang ke seratus. Dan seperti yang dikatakan ramalan, jika aku meminum darahmu, aku akan memiliki keabadian dan kecantikan tak tertandingi. Huh, seandainya kau hidup sejak lama, aku tak perlu menghabiskan banyak nyawa gadis muda hanya untuk mempertahankan kecantikanku.” jelasnya.
”Kau tahu? Aku selalu memberi korban-korbanku kartu tarot sepertimu dan membiarkan mereka mendapat firasat tentang kematiannya sendiri. Itu sungguh menyenangkan!”
”Jika meminum darahku kau akan hidup abadi, kenapa kau juga membunuh Akira dan mencelakakan Yuko? Kau hanya perlu langsung membunuhku kan?”
”Oh, tenang. Yuko akan menyusul Akira setelah darahmu kuhabiskan.”
”Kau tahu arti Fool Arcana kan? Pastinya kau bertanya-tanya kenapa hanya kartu itu yang tidak memberikan reaksi seperti yang lain. Kartu itu hanya menunjukkan padamu bahwa semua berawal darimu. Salahnya, kenapa kau membuka kartu itu pada malam hari? Jika kau buka pada pagi hari, kau akan punya sedikit waktu untuk bersenang-senang sebelum kematianmu. Mungkin Fortune Arcana, tapi kau pasti tahu arti malam kan? Kegelapan. itu alasan kenapa kau langsung mendapatkan kartu ekstrem berikutnya.” Dia makin mendekat dan aku terpojok di dinding.
”Sekarang kita sudahi omong kosong ini.” Dia mengeluarkan sebilah belati perak dari saku jubahnya.
”Bersiaplah, Rena!” Aku menutup mata, merasakan kematian yang tak lama lagi akan kutemui.
”Kartu tarotnya, Strength Arcana! Satuakan dengan keberanian yang kau miliki, Rena!” seseorang berbisik padaku, tapi jelas itu bukan suara setan perempuan dihadapanku ini. Suara laki-laki.
”Aku tak bisa membantumu! Hanya kau sendiri yang bisa mengalahkannya.” tanganku yang menggenggam kartu tarot bergetar. Kubuka mataku, mencari kartu Strength Arcana dari balik deretan kartu itu.
”Apa yang kau lakukan?” tanya setan itu saat melihatku menghamburkan kartu ke lantai.
”Strength Arcana! Aku tak peduli dengan nyawaku. Tapi aku peduli dengan nyawa temanku! Kau harus membayar lunas atas apa yang telah kau lakukan pada mereka!” teriakku sambil bergetar memperlihatkan Strength Arcana itu padanya. Kulempar kartu itu padanya, bersamaan dengan dia melempar belati peraknya. Mereka bertemu diantara kami, dan saat kartu dan belati itu bertabrakan, cahaya keperakan muncul menyelimuti, menjengkangkan aku kebelakang dan menarik sadarku. Sebelum pingsan, dapat kudengar suara teriakan kesakitan dari si setan.

”Nona? Bangun, Nona.” seseorang menepuk pipiku. Aku tersadar. Masih didalam ruang loker. Wajah Sensei Kashiwagi ada dihadapanku.
”Sensei? Kenapa panggil aku Nona?” tanyaku sambil berusaha berdiri.
”Karna kamu memang tuanku, aku ada disini untuk menjagamu.” Dia membantuku berdiri. Aku melihat ke sekeliling, sama sekali tidak berantakan seperti yang kukira, bahkan kartu tarot yang kuhamburkan tadi juga sudah lenyap.
”Kalau yang Nona cari adalah Morgana, dia sudah lenyap.”
”Maksud Sensei?”
”Jangan panggil saya Sensei, Nona. Saya hanya pesuruh.”
”Tidak! Anda adalah guruku.”
”Nona?”
”Jadi apa maksudnya?”
”Cahaya keperakan itu berasal dari keberanian Nona, dia sudah meninggal akibat ulahnya sendiri.” jelasnya.
”Sekarang, mari saya antar Nona pulang. Setelah itu saya akan kembali pergi ke tempat seharusnya saya berada.”
”Tempat yang seharusnya Sensei berada?”
”Iya, istana Merlin.” ucapnya.
Dia mengantarkanku pulang sampai gerbang rumahku. Dan disaat aku menatap kepergiannya, aku tahu aku tak akan pernah beremu dia lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar