Follow

Selasa, 14 November 2017

Ramadan Terindah - Karya Riniey Ekayati

Cerpen ini adalah juara 1 event Ramadan Story Club 2013

Uh, sebel! Kenapa sih papa dan mama memaksa aku untuk masuk ke pesantren ini? Aku tidak butuh sekolah khusus, apalagi yang namanya pesantren. Aku bukan anak nakal dan suka melawan orang tua, aku hanya malas untuk sekolah. Bagiku, sekolah hanya membuang-buang waktu dan uang saja, belum tentu juga setelah tamat sekolah aku bisa jadi anak pintar seperti harapan mereka. Lagi pula, menurutku tidak ada sekolah yang bisa menjamin hal itu. Dan bersekolah di pesantren sama sekali tidak pernah terlintas dalam alam sadar maupun mimpiku. Tapi begitulah papa, dia seperti Tuhan di rumah kami, jika sudah berkehendak, maka tidak ada yang bisa melawan.

“Pokoknya, kamu harus pindah ke pesantren tempat papa dulu pernah mondok. Di sana kamu bisa belajar untuk lebih mandiri, dan terutama lebih disiplin. Titik!” papa menutup pidatonya hari itu. Mama hanya terdiam, memandangku dengan senyum manisnya. Aku sedikti terhibur.

“Tapi pa, Sigit tidak mau sekolah di pesantren. Pesantren itu seperti penjara saja, setiap santrinya tidak bisa bebas, terkurung di asrama. Mana bisa Sigit begitu. Sigit senang dengan sekolah Sigit sekarang. Jadi, untuk apa harus pindah?” aku coba berargumen.

“Tidak bisa! Kalau papa bilang pindah, ya harus pindah. Selama ini, kamu sudah terlalu bebas, sampai kebablasan. Coba kamu hitung, sudah berapa kali papa dan mama harus ke sekolah kamu akibat kenakalanmu yang sering bolos, berkelahi dengan sesama teman, bahkan kamu berani menjahilin guru sendiri. Papa sudah cukup menahan tingkah lakumu. Jadi, sekarang kamu harus belajar untuk lebih menghargai, bukan menghargai orang lain, tapi menghargai diri sendiri. Dan menurut papa, pesantren adalah tempat yang tepat.” 

Begitulah, akhirnya di sinilah aku sekarang. Di dalam sebuah kamar sederhana dengan tempat tidur bertingkat, harus membagi kamar dengan seorang santri yang lain. Kamar sederhana ini sungguh jauh berbeda dengan kamarku sewaktu di rumah, tidak ada fasilatas elektronik, tanpa sistem pendingin ruangan, dan tanpa pengharum ruangan. Hanya ada dua meja tulis yang terbuat dari kayu, dan dua lemari pakaian. Di tambah lagi, setiap santri juga tidak diperbolehkan memiliki perangkat komunikasi. Jika ingin menelpon, dapat menggunakan telepon di ruang administrasi, tentunya setelah mendapat izin. Perangkat komputer dan internet hanya ada di ruang laboratorium komputer yang hanya digunakan untuk kegiatan ekstrakulikuler. Aku sama sekali tidak merasa nyaman dengan keadaan ini, setiap saat yang terlintas dalam pikiran dan terucap dari lisanku hanyalah keluhan dan keluhan tentang semua keadaan ini. Dan kalau sudah begitu, hanya Sarnok yang akan selalu menjadi tempat pelampiasanku. Sarnok teman sekamarku, dia seorang anak lelaki yang sangat berbeda denganku. Baginya, dapat bersekolah di pesantren ini, dan memiliki kamar sendiri meski harus berbagi adalah sebuah berkah dan karunia yang teramat besar. Dia merasa begitu beruntung ada seorang dermawan yang rela memasukkannya ke pesantren ini, karena menjadi seorang santri adalah impiannya. Dia adalah seorang pribadi yang sederhana, berasal dari keluarga sederhana, punya impian hidup juga sederhana, ingin menjadi santri. Bila dibandingan denganku, jadilah kami seperti langit dan bumi. Aku yang tidak menyukai kehidupan di dalam pesantren, dan Sarnok yang sangat mencintai seluk-beluk kehidupan pesantren. Namun begitu, aku merasa sangat beruntung memiliki teman saperti Sarnok. Dia sangat mengerti keadaanku, bisa menerima setiap keluh-kesahku, dan bahkan bersimpati dengan keadaanku. Anehkan? Begitulah Sarnok, dia seperti penetralisir dari kelabilan diriku. Aku sungguh beruntung.

*****

Hari itu...
“Git, kamu puasa hari ini?” tanya Sarnok pagi itu sebelum kami berangkat ke masjid yang terdapat di dalam lingkungan pesantren untuk melakukan taddarus Al-Qur’an.

“Puasa. Emang kenapa?”

“Alhamdulillah, syukur kalau begitu.”

“Lho, kok gitu?”

“Iya, beberapa hari ini kamu enggk puasakan? Iyakan?” pertanyaan Sarnok mengagetkanku. Di dalam hati aku berkata, “Kok dia bisa tahu ya?”

“Kok kamu ngomong gitu? Emang tahu dari mana?”

“Ya, aku tahu. Wong kamu kemarin-kemarin itu ngisep rokokkan di kamar mandi?”
Aku kaget! 

“Lain kali hati-hati. Kalau ketahuan Ustad Bahrum kamu bisa kena masalah. Aku cuma mengingatkan saja. Sudah, ayo kita berangkat sekarang, nanti kita terlambat.”
Tuhkan, aku bilang apa! Aku sungguh beruntung punya teman seperti Sarnok. Dia selalu mengingatkan aku jika aku melakukan kesalahan, dan bukan itu saja, aku merasa lebih enak belajar dengannya mengenai apa saja, ketimbang dengan teman lain atau dengan para pengajar di pesantren ini. 

“Baiklah, terima kasih sudah diingatkan.”
Di hari lain...

“Sarnok, hapalan ayat kamu sudah sampai mana? Aku belum memulainya sama sekali. Entahlah, tiba-tiba aku malas sekali.” Aku memulai percakapan dengan Sarnok pagi itu.

“Emang kapan kamu pernah rajin?” Sarnok tersenyum, menandakan dia hanya bercanda mengatakan kalimat tadi. “Maaf, aku hanya bercanda. Jangan marah, ya.” Sarnok melanjutkan ucapannya. 

“Iya, enggk apa-apa. Kamu benar, tidak perlu juga minta maaf. Kamu tahu sendirikan, aku memang tidak ingin masuk pesantren, semua ini keinginan papa yang tidak bisa aku tolak. Aku...”

“Stop! Jangan kau teruskan, tidak enak telingaku mendengar kau menyalahkan orang tuamu untuk keadaanmu sekarang. Apapun alasannya, aku yakin mereka melakukan ini demi kebaikanmu, bukan karena mereka ingin menyiksamu. Sesungguhnya, tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan darah dagingnya sendiri. Seperti firman Allah SWT dalam surah...”

“Stop! Jangan kau teruskan, Nok. Sudah cukup aku tadi mendengar kutbah Kyai Fajar, jangan kau tambah lagi, cukup untuk hari ini. Besok saja ya.” 
Terpaksa aku menghentikan ucapan Sarnok, karena kalau diteruskan tidak akan cukup waktu satu jam. Dia akan berkutbah panjang lebar tentang keutamaan menghormati orang tua. Bukannya aku tidak ingin dengar, tapi nantinya Sarnok akan melebarkan penjelasannya kemana-mana, padahal aku hanya bertanya tentang hapalan ayatnya.

“Balik lagi ke permasalah hapalan, sudah sampai mana hapalanmu?” aku bertanya sekali lagi. 

“Sudah selesai aku setorkan ke Ustad Kamal kemarin. Apa kamu mau aku bantu menghapal?” dia menawarkan diri tanpa kuminta. Aku sungguh beruntung.

*****

“Sedang apa, Git? Tumben kamu betah berlama-lama di sini. Biasanya baru lima belas menit aja kamu langsung kabur.” Sapa Sarnok hari itu di dalam ruang perpustakaan.

“Habis aku bosen. Selama Ramadhan ini kita hanya diminta untuk ikhtikaf dan menyetorkan hapalan surah. Bisa sih aku tiduran aja di kamar, tapi bosen juga kalau tidur melulu. Jadi, aku putuskan untuk kemari, sambil mencari-cari bacaan yang mungkin saja menarik untuk aku baca.”

“Subhanallah, luar biasa! Sungguh tepat sekali pemikiranmu wahai sahabatku. Ramadhan sungguh bulan pembawa rahmat, dan juga hidayah. Terbukti, kamu memperoleh hidayah itu sekarang. Subhanallah!” Sarnok mulai kambuh dengan gaya dainya.

“Apaan sih, Nok! Biasa aja, enggak perlu lebay begitu.” Aku menimpali puji-pujian Sarnok yang berlebihan.

“Tapi benar, Git! Apa yang kamu lakukan ini benar. Membaca adalah jalan yang paling benar untuk menuju ilmu, dan orang yang berilmu sungguh adalah orang-orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak berilmu...”

Sungguh panjang dan lebar penjelasan Sarnok tentang keutamaan ilmu dan keistimewaan oranng-orang yang berilmu. Aku hanya menjadi pendengar yang budiman, sambil sesekali menganggukkan kepala agar lebih kelihatan menyimak penjelasan Sarnok. Inilah salah satu hal yang aku suka dari Sarnok, dia kalau sudah memulai sesuatu, maka surut dia berpantang. Artinya, kalau sudah menjelaskan, panjang baginya setengah-setengah. Dan akhirnya, hari itu kuhabiskan waktu mendengarkan ceramah dari sahabatku Sarnok, sang dai. Sarnok yang luar biasa!

Malam itu, di dalam kamar tidur setelah selesai taddarus...

“Git, kamu masih ngerasa bosen enggak?” Sarnok tiba-tiba bertanya. Pertanyaan yang aneh menurutku.

“Sedikit. Emang kenapa?” aku balas bertanya.

“Aku ada tawaran untukmu, mungkin bisa membantu menghilangakan rasa bosan. Tertarik?” Sarnok mengusik rasa penasaranku.

“Apa?”

“Begini, kamu pernah dengar tentang sayembara berbuka puasa bareng keluarga Ustad Bahri setiap tahun bagi santri yang dianggap berprestasi selama bulan Ramadhan enggak?”
Aku mencoba mencerna maksud perkataan Sarnok, mengikis-ngikis memori apakah aku pernah mendengar tentang sayembara seperti itu. Nihil! Aku sama sekali tidak mendapatkan petunjuk.

“Sepertinya aku belum pernah dengar. Sayembara seperti apa itu, bisa kamu jelaskan, Nok?” aku mulai penasaran.

“Sayembara ini sebenarnya hanya sebuah sayembara biasa. Setiap santri di sini akan dinilai kesehariannya selama bulan Ramadhan, seluruh hal yang dilakukan setiap santri akan diawasi, hanya saja kita tidak tahu siapa yang bertugas mengawasi. Hal ini untuk menghindari adanya unsur ‘pura-pura’ jadi ahli ibadah karena ingin menang sayembara. Dan sesi penilaian sudah dimulai sejak hari pertama Ramadhan, tepatnya satu minggu yang lalu. Di hari yang tidak diketahui juga, setiap santri yang dianggap memiliki prestasi ibadah yang baik akan diundang untuk menghadiri acara buka puasa bersama dengan keluarga Ustad Bahri, pemimpin pondok pesantren ini.”

“Kok ada sih sayembara seperti itu?”

“Ada yang bilang sayembara ini dilakukan untuk merangsang minat beribadah setiap santri, terutama di bulan Ramadhan. Karena seperti yang kamu ketahui kebanyakan santri di sini berlatar belakang seperti kamu, enggk minat jadi santri. Tapi sebenarnya, menurut kakak-kakak senior di sini, keistimewaan sayembara kali ini, setiap pemenang akan berkesempatan bertemu dengan anak Ustad Bahri yang kabarnya memiliki kecantikan yang luar biasa. Bagaimana, kamu tertarik?”

Gadis? Cantik? Aku tersadar! Sudah lama aku tidak berinteraksi dengan makhluk Tuhan yang bernama Hawa. Di pesantren khusus pria ini, mulai dari pengurus yayasan hingga pengurus taman dan kateringnya adalah kaum adam. Jadi, bisa dikatakan dapat bertemu dengan kaum hawa adalah sebuah berkah yang luar biasa.

“Eh, Git! Kok bengong? Kalau tertarik, mulai hari ini, kamu harus rajin-rajin ibadah ya.” Sarnok tersenyum. Entah dia mengejek aku yang ibadahnya masing bolong-bolong, pakai istilah mama di rumah, atau dia memang tulus memintaku berpartisipasi dalam sayembara ini.

“Malas ah, kok ibadah mengharap imbalan, kan jadinya ria. Enggk mau! Kamu aja yang ikut, pasti kamu menang. Kamukan memang seorang ahli ibadah, itu menurutku.” Aku menyemangati Sarnok. 

“Siapa yang mengharapkan imbalan, kitakan tidak tahu kapan waktunya dan dimana kita akan dinilai, dan siapa juga yang memberi nilai. Jadi, sayembara ini sama sekali tidak mengganggu ibadah kita. Kita cukup menjalankan rutinitas kita sehari-hari selama Ramadhan ini dengan apa adanya. Tapi kalau bisa, ibadahnya dilakukan dengan lebih baik dari hari dan bulan sebelumnya. Gitu maksudku.”

“Sama saja menurutku, aku tidak minat ikut.” Jawabku lugas.

“Tapi Git, walaupun kamu tidak ikut, kamu akan tetap dinilai juga kok. Kita semua santri di sini. Malah mungkin sudah dinilai sejak minggu lalu. Jadi, tinggal tunggu hasil saja. Hanya satu pesanku, jangan pernah ngomong ke siapapun mengenai sayembara ini, karena ini sudah menjadi rahasia umum yang tidak boleh dibicarakan di lingkungan pesantren, oke?” Sarnok tersenyum puas.

Ah, Sarnok! Kali ini dia berhasil membuatku gelisah. Entah apa sebabnya, setelah mendengar mengenai sayembara itu, aku selalu dihantui perasaan tidak enak setiap kali aku ingin melaksanakan aktifitasku. Seperti ada rasa takut salah terutama ketika aku ingin beribadah, seperti sholat dan mengaji. Bahkan ketika sedang berada di dalam kamar mandi, aku seperti diawasi, sehingga aku sampai-sampai meninggalkan kebiasaan lamaku yang selalu mandi tanpa mengenakan sehelai benangpun. Kini aku selalu mengenakan ‘basahan’ ketika mandi, dan berhati-hati setiap menggunakan kamar mandi. Tidak ada lagi acara ‘curi-curi’ merokok di kamar mandi, atau mengambil air wudhu lalu meminum sedikit airnya, semua itu tidak ada lagi. Tidak ada lagi telat bangun saat makan sahur, atau akal-akalanku yang pura-pura sakit perut untuk menghindari makan sahur karena masih ngantuk, atau terlambat datang ke masjid untuk taddarus, semua telah berubah. Tanpa terasa aku mulai menikmati hari-hariku kini di pesantren. Walaupun awalnya terpaksa, kini aku sudah terbiasa melakukan segalanya dengan rapi dan teratur, aku mulai bisa disiplin dengan waktu dan mengatur waktu dengan baik. Aku benar-benar berubah! Perubahan ini tentu tidak luput dari perhatian Sarnok. Tapi dia tidak pernah berkata apapun. Dia hanya tersenyum tanpa makna, membuatku semakin tidak enak hati. Sebaliknya, Sarnok aku lihat biasa saja. Tidak ada yang berubah, bahkan dia sekarang kelihatan sedikit ‘sembrono’ menurutku.

“Nok, kenapa kau tidak menutup pintu kamar mandi ketika kau sedang mandi tadi? Kalau ada yang masuk bagaimana?”

“Apa? Enggk salah? Selama ini bukannya kamu yang sering melakukan hal itu, dan aku cuek-cuek saja. Sekarang kenapa kamu marah ketika aku melakukan hal yang sama.” Sarnok menjawab seenaknya.

“Entahlah, aku hanya tidak enak melihatnya.” Jawabku. Sarnok tersenyum.

“Sepertinya kamu akan memenangkan sayembara itu, Git! 

“Ah, apa? Kamu bilang apa, Nok?” aku pura-pura tidak mendengar yang Sarnok katakan.

“Kamu akan jadi pemenang sayembara itu.” Sarnok mengulang ucapannya dengan suara yang lebih keras.

“Mana mungkin. Di pesantren ini masih banyak santri lain yang lebih pantas untuk memenangkan sayembara itu. Ada kamu, ada Ahmad yang sudah bisa menghapal tiga puluh juz, ada Rifai yang paling rajin ibadah sholat malam, ada Firman yang paling sering menjadi imam di masjid, dan masih banyak lagi santri-santri lain yang lebih berprestasi. Aku belum bisa seperti mereka.” Aku menarik napas sejenak. “Lagian, menang atau tidak menang, aku sama sekali tidak perduli. Aku hanya fokus kepada caraku untuk lebih memperbaiki ibadahku. Bagiku, sayembara ini sudah memberiku banyak pelajaran. Aku sudah mulai mengerti alasan papa mengirimku kesini, aku tidak lagi marah dengan ide papa ini, malah aku sangat berterim kasih. Kini, aku ingin memulai segalanya dari awal dengan benar, dengan niat ikhlas untuk menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga hidupku tidak sia-sia saja. Sekarang aku juga sudah mengerti kenapa sayembara ini dilakukan. Mungkin untuk tujuan seperti inilah sayembara ini dilakukan. Meski awalnya dilakukan dengan terpaksa, namun dalam perjalanannya kita akan menjadi terbiasa, sehingga enggan untuk meninggalkannya. Meski awalnya kita mengharapkan imbalan, di akhir kita akan melupakan imbalan tersebut karena kita mendapatkan berkah yang lebih berharga dari imbalan itu sendiri. Inilah kebaikan yang aku rasakan kini.” Aku menutup kalimatku. Hening! Tidak ada suara! Aku menoleh ke arah Sarnok, aku melihat ada bulir bening mengalir dipipinya.

“Kamu nangis Nok? Emang aku tadi cerita sedih ya.”

“Aku nangis bukan karena sedih, tapi karena terharu.” Sarnok beranjak dari duduknya. Sebelum keluar dari kamar, dia berkata, “Esok pemenang sayembaranya akan diumumkan.” 

*****

“Sigit, sebelumnya aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf. Aku melakukan semua ini bukan karena ingin mempermainkanmu. Aku melakukan ini karena aku merasa kau telah salah mengerti tentang maksud dari keberadaanmu di pesantren ini. Aku ingin kau merasa bersyukur, bahkan lebih bersyukur dari aku karena bisa berada di sini. Aku harus mengharapkan belas kasih orang lain untuk bisa berada di sini, sedangkan dirimu tidak.” Sarnok menarik napas.

“Sejak setahun lalu, aku selalu berpikir apa yang bisa aku lakukan untukmu agar kamu bisa memanfaatkan hari-harimu selama di sini, dan aku juga mencari-cari saat yang tepat untuk melakukannya. Dan di momen Ramadhan tahun ini aku memutuskan untuk melakukannya. Sekali lagi maaf kalau aku sudah mencampuri hidupmu.”

Aku hanya terdiam! Aku ingin marah, tapi tidak bisa. Karena untuk apa aku marah. Sarnok sama sekali tidak menyakitiku, bahkan dialah yang membuat aku kini berubah. Apa aku harus berterima kasih? Mungkin sebaiknya begitu, karena dia sudah sebegitu perhatiannya kepadaku. Kalau bukan karena akal-akalannya tentang sayembara itu, mungkin aku tidak akan seperti sekarang. Mungkin aku masih seorang Sigit Pramudya yang selalu mengeluh dan mengeluh tentang hidup yang tidak adil. Yah, sayembara buka puasa bersama dengan keluarga Ustad Bahri hanyalah sebuah sayembara akal-akalan Sarnok saja. Tidak ada sayembara seperti itu di pesantren tempat kami menimba ilmu sekarang. Itulah sebabnya dia memintaku untuk tidak menyinggung tentang sayembara itu di lingkungan pesantren. Awalnya aku juga merasa ada yang ‘aneh’ tentang sayembara ini, tapi Sarnok dengan kegigihannya berhasil meyakinkanku. Tapi ada yang benar tentang sayembara itu, yaitu acara buka puasa bersama dan tentang seorang gadis manis. Hari ini, setelah Sarnok mendapat izin keluar dari Ustad Burhan, dia mengajakku buka puasa di luar pondokan. Kami berbuka puasa di rumahnya yang kebetulan tidak begitu jauh dari pondok, cukup lima belas menit dengan mengendarai angkutan umum. Dan ternyata, Sarnok memiliki seorang adik perempuan yang cantik. Sungguh cantik! Sarnok memperkenalkan aku kepadanya, dan memberikan restu jika aku dan adiknya ingin menjalin hubungan lebih jauh.

“Gimana? Adikku cantik tidak?”

“Ehh..cantik.” Aku menjawab pelan.

Wasti, adik Sarnok, hanya tersenyum dan berlalu.

“Aku tidak bohong soal buka bersama dan seorang gadis cantiknyakan?” Sarnok menggoda.
“Eh..tidak.”

“Jadi, kau mau memaafkan aku atas kebohonganku soal sayembara itu?”

“Tentu saja, malah aku seharusnya berterima kasih. Kebohongan itu adalah bukti perhatianmu kepadaku. Terima kasih karena sudah menjadi sahabatku.”

Begitulah, acara buka bersamaku dengan keluarga Sarnok hari itu berlangsung hikmad. Di dalam hati aku tidak henti berterima kasih.

“Sungguh, Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang tidak akan pernah kulupakan. Aku menemukan apa yang aku butuhkan dalam hidup. Keyakinan akan kuasa-Mu membawaku sadar akan kebesaran-Mu. Dan mungkin aku akan menemukan cinta dalam perjalananku berikutnya.” Kulirik gadis yang sedang duduk di sisi Sarnok. Dia tersenyum, manis sekali. Sungguh, senyuman itu manis sekali!

T A M A T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar