Follow

Rabu, 15 November 2017

Neo Romeo & Julliet - Karya Lindsay 'Lov

Once upon a time, lagi asik-asiknya baca majalah, sebuah benda berbulu ayam, mendarat hebat di jidat Zulie. Rasanya kaya di jitak! Sudah tiga kali untuk sorenya yang rusak. Darahnya mendidih. Si Andrew itu emang belagu amat! Mentang-mentang baru pulang dari Amrik, gayanya kaya artis Hollywood. Dengan perasaan dongkol, Zulie bangkit dan melangkah menuju sasaran. Di balik pagar, tampak olehnya dua cowok cengar-cengir memandangnya.
“Sorry lagi ya?” terdengar suara si kaos oblong sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Itu salah dia, kok.”
“Aku?” si kaos buntung mendelik, “Oh, iya deh. Tadi itu salah pukul. Sorry. Kamu tidak apa-apa ‘kan? Jangan marah ya? Bisa gak bolanya dikembaliin?” 
Zulie melotot, sampai bola matanya hampir keluar. Dikembalikan? Enak banget. Belum pernah ada orang yang tidak apa-apa setelah dijitak bola sampai tiga kali dalam kurun waktu sejam! Maka dengan kesal, dicabutinya bulu ayam satlecock tersebut satu persatu, membuat kedua makhluk berkaos tadi terkesimah. Mereka memandang, terpatung dan tersadar saat Zulie melempar sisa akhir berupa bantalan gabus.
“Jadi itu cewek yang mulai merusak hidup lo?” Tanya Boy, si kaos oblong beberapa saat setelah Zulie menghilang dari pandangan mereka.
Andrew, si kaos buntung mengeluh, “Abis service lo payah! Bola gue ya out terus.”
“Emang gue lebih berminat sama bola kaki.” Boy menyeringai, “Tapi cakep juga.”
“Si penyihir itu?”
“Yup.” Boy menenggak minuman dinginnya.
“Beautiful enchanter? No way!” Andrew mengelap keringatnya dengan handuk kecil dan duduk sambil menaikkan kaki ke meja, “Cewek berkarakter kasar gak mungkin masuk katagori cantik. Dan gue paling anti sama cewek yang kejam terhadap bola.”
“Jangan emosi dulu, man. Lain kali lihat baik-baik. Tuh cewek original banget. Wajahnya mulus tanpa polesan. Beda banget sama cewek-cewek di kampus.”
Andrew menenggak minumannya sampai habis, “Soal itu ‘kan tuntutan zaman.”
“Ihh…” Boy bergidik, “Kalo gue sih jangan sampai pacar gue ketergantungan sama make-up. Yang alami pasti lebih seru, man.”
Andrew tertawa. Lalu dia melihat gerakan mencurigakan dari dalam rumah.Beberapa saat kemudian suami istri Hasrul menghampiri mereka. Boy langsung menyalami dengan sopan.
“Sore om, tante. Rapi amat. Ada hajatan nih?” tanyanya ramah.
“Oh ya. Acara pak Sunyoto. Kami akan kesana.” Jawab pak Hasrul.
“Wah, pasti jadi semacam reuni nih.” Komentar Boy menyeringai.
“Emang sekalian reuni toh.” Giliran bu Hasrul menjawab. “Om dan tante panitia pesta putri pak Nyoto. Jadi harus datang lebih awal. Malam ini pesta tunangan. Minggu depan resepsinya.”
“Asiknya pergi bareng pacar, nih. Lo jangan ketinggalan, bro.” Guyon Boy cepat.
Andrew angkat bahu, “Males. Gue ‘kan gak di undang.”
Bu Hasrul seperti tersadar, “Ya ampun. Mami lupa. Undangan buatmu ada kok, Drew. Coba cari diatas lemari es.” Katanya merasa bersalah, “Oh ya, kamu berangkat sama keluarga bu Djafar. Tadi mama udah telepon. Usai maghrib. Jangan lupa ya? Okey nak Boy. Kami berangkat duluan.”
Setelah suami istri tersebut menghilang dibalik tembok, Boy menepuk pundak Andrew, “Siapa sangka ada undangan pesta di atas lemari es.” Katanya tersenyum lebar, “Tapi ambil hikmahnya, man. Keluargamu udah mulai akrab dengan warga sini.”
“Gue pikir juga begitu.” Andrew kembali duduk dengan sikap nyantainya. Lalu, “Astaga!” serunya menepuk jidat, “Gue gak tahu alamat keluarga bu Djafar itu, bro.”
Boy memandang sahabatnya sejenak. “Gue akan menulisnya untuk lo, bro.” Katanya menahan senyum.

***

“Apa? Lilie pergi bareng dia?” teriak gadis berambut ikal itu seraya menunjuk ke arah seorang cowok berstelan tuxedo hitam yang lagi manyun di ruang tamu.
Bu Djafar mengangguk, “Ini bukan kesalahan mama. Dari tadi mama udah suruh siap-siap, tapi Lilie malah nonton Slamdog Millionaire.”
“Tapi…” mata gadis itu mulai berkaca-kaca membayangkan harus berangkat bareng cowok yang udah membuat beberapa sorenya berantakan.
“Andrew anak yang baik kok. Lilie pasti senang berteman dengannya. Ya udah, mama pergi dulu ya sayang. Papa udah engga sabar tuh. Ngelakson terus.”
“Tapi, ma…”
“Tuh, nangis deh.” Bu Djafar menghampiri si cowok yang merasa terjebak dalam permainan para orang tua, “Aduh, nak Andrew. Maafkan sikap anak tante ya. Agak kolokan. Kalo punya sapu tangan, tolong di lap airmatanya sebelum rumah tante kebanjiran.”
“Iya, tante.”
Zulie masih merengek, “Tapi, ma…” 
“Pokoknya Lilie harus berangkat bareng Andrew. Jangan engga. Mama tunggu disana.” Setelah ngesun pipi Zulie, bu Djafar segera berlalu. Begitu suara mobil menghilang, buru-buru Zulie menghapus airmata yang hendak menyembur keluar, lalu membalikkan tubuh dan memandang Andrew dengan mata menyala.
“Menyebalkan!” 
Andrew mengerutkan kening, “Aku juga gak happy.” ujar Andrew kalem.
Zulie tengsin banget dengernya, “Lalu napa masih disini? Pergi aja sendiri.”
“Sorry.” Andrew mengibaskan tangannya, “Aku sudah janji sama ortumu untuk menggiringmu ke pesta itu.”
“Menggiringku? Emang aku anak ayam?” teriak Zulie mangkel.
“Terserah. Sekarang segeralah bersiap-siap.”
“Lebih baik aku berangkat bareng perampok.”
Andrew tersenyum sinis, “Itu bisa kau lakukan lain kali. Untuk sekarang ini, kau berangkat bareng aku!”
Mata Zulie membesar, “Kamu memerintah aku?”
“Iya, Ayo cepat!”
Mulut Zulie bergetar karena merasa dilecehkan. Ingin banget dia mencak-mencak dan memaki cowok dihadapannya itu. 
“Tunggu apa lagi, nona? Mau berangkat pake piyama? No problem!” Andrew meraih tangan Zulie. Serta merta gadis itu mengibaskan tangannya.
“Jangan macam-macam, ya. Aku bisa tinju dan karate. Mau coba?” tanyanya mengepalkan tangan dan memasang kuda-kuda.
Andrew ingin tertawa melihatnya, “Percayalah, kau tidak akan menang melawanku. Aku juga bisa tinju dan karate. Bahkan taekwondo, dojo, silat, taichi, gulat, sumo, kapuera, bahkan ninja. Semua ilmu bela diri kukuasai. Sekarang ganti pakaianmu. Semakin cepat kita berangkat, semakin baik. Disana kau bisa mencari perampok mana pun yang kau suka.”
“Menyebalkan!” runtuk Zulie melangkah menuju kamarnya, dengan penuh dendam!
Andrew menghela nafas. Pantas saja Boy berusaha keras menahan senyum. Siapa kira alamat keluarga bu Djafar ada tepat disebelah rumahnya? Kemana saja dia selama ini? Ohya, dia disibukkan oleh bangunan kolam renang dibelakang rumahnya. Jadi tidak mengenal tetangga sendiri. Sekarang, mau tak mau dia harus menunggu gadis manja itu berdandan. Sebuah aktifitas yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya. Dan entah sudah berapa lama dia menunggu. Rasanya dia nyaris tertidur ketika Zulie keluar dari kamarnya dengan mengenakan gaun panjang berwarna silver. Andrew hampir tidak mempercayai penglihatannya!

***

Karin tertawa terbahak-bahak. Lucu banget kisah sedih yang baru di alami sahabatnya. Sampai-sampai air matanya ikutan menetes.
“Gue bener-bener engga nyangka bisa ngalamin hal seburuk itu, Rin…uhuu…” Zulie terisak sampai terbata-bata. Satu kotak tissue habis buat ngeringi air matanya, “Lo ‘kan tau gue benci banget sama si Andrew gebleg itu. Tapi di pesta si Dewi kemaren, orang-orang malah memilih kami sebagai the perfect couple…uhuu…! Elo sih, pake acara sakit gigi segala. Gue jadi kaya kucing kesiram air gitu deh. Orang-orang engga ada yang ngertiin gue. Bahkan nyokap bokap kelihatan cuek. Padahal, gue udah malu banget. Apalagi saat si Andrew ngambilin makanan buat gue. Trus minuman, pudding, rasanya muka gue ilang entah kemana…uhhuuu…” 
Karin semakin geli, “A Hero! Trus, lo nolak, dong.”
“Engga.Sebab gue emang laper en haus malam itu…”
“Kok lo trima semua bantuannya? ‘Kan lo benci banget sama dia.”
Zulie megap-megap menahan sesak didadanya, “Justru itulah kenapa gue merasa nasib gue buruk banget. Gue terpaksa, Rin. Soalnya…soalnya…uhhuu…malam itu….”
“Soalnya kenapa? Lo engga bisa ngambil makanan lo sendiri? Tapi kenapa? Tiba-tiba kaki lo semutan? Kram? Lumpuh?” Tanya Karin penasaran banget.
Zulie memencet hidungnya yang penuh air, “Lo ingat engga stiletto yang kita beli minggu kemaren?”
“Hm. Gue beli yang hitam, lo yang silver.”
Zulie mengangguk, “Nah, saat turun dari mobil, gue buru-buru banget mau cepet-cepet menyingkir dari hadapan si Andrew gebleg itu, tapi gue malah kesandung dan ampir aja gue nyungsep kalo aja dia engga cepat-cepat menangkap gue...”
“Oh...romantisnya...” gumam Karin membayangkan adegan sahabatnya tersebut.
“Romantis apaan? Lo tau engga, saat itu tumit sepatu sebelah kiri gue patah...”
“Ya ampun. Trus?”
“Ya, gue bingung banget. Engga tau mesti gimana. Eh, tau-tau si Andrew gebleg itu udah mematahkan tumit sepatu gue yang sebelah lagi...”
“Gila, kaya iklan mentos.”
“Gila? Lo mau tau yang lebih gila? Kaki gue nih keseleo gara-gara sepatu kita yang super tinggi itu...uhuu...”
“Apa?”
“Dan...dia...si Andrew gebleg itu....uhuu...”
“Iya...dia kenapa?” Karin engga tahan lagi.
Zulie mengelap air matanya lagi, “Dia...dia berbaik hati memijat pergelangan kaki gue biar engga benggkak...”
“Oh my god...” 
“Gue marah sama dia. Trus gue minta di anter pulang. Tapi si Andrew gebleg itu engga mau nganterin. Katanya kalo gue mau pulang, ya pulang aja sendiri. Ya ampun, Rin. Lo ‘kan tau gue penakut. Belum lagi kaki gue nyut-nyutan. Jadi, mau tak mau gue terpaksa masuk dan duduk di sudut ruangan sampai acara inti selesai. Borring banget! Setelah itu, baru deh tuh cowok mau diajak pulang.”
“Pasti deh sepanjang perjalanan lo ditertawainnya habis-habisan.” Tebak Karin sok teung.
“Itulah yang bikin gue sekarat, Rin. Si Andrew gebleg itu sama sekali tidak menertawain gue. Bahkan dia engga berkomentar apapun. Dia diem aja.” 
“Kok aneh?”
“Makanya.”
“Tapi bagus kalo begitu.”
“Bagus apaan? Gue engga suka sikapnya itu.”
“Jadi lo lebih suka dia menertawain lo?”
“Bukan gitu. Maksud gue, harusnya ‘kan dia mengatakan sesuatu. Kalo dia bener-bener gentleman, dia pasti mengucapkan apa kek buat menghibur gue. Dia tau gue lagi down. Masa dia cuek aja, kaya engga ada masalah? Dia engga tau memperlakukan wanita ato apa?”
Mulut Karin langsung menganga, “Lo tuh yang aneh, Lie. Lo ‘kan benci banget sama si Andrew gebleg itu. Lo marah waktu dia mijat kaki lo yang keseleo. Trus lo juga kesal saat dia mengambilkan makanan en minuman buat Lo. Napa lo jadi ngarapin perhatiannya?”
“Entahlah. Tetapi gue yakin kalo dia emang engga pernah care sama gue.”
“Apa dia harus care sama lo?”
Zulie diam sejenak. “Iya ya. Napa gue jadi bego begini? Ihh, padahal gue ketiban sial ‘kan gara-gara si gebleg itu. Bintang gue juga udah ngingatin kalo bulan ini gua akan kedatangan cowok yang bakal mengganggu hidup gue. Pasti dia orangnya. Ini mengerikan, Rin. Gue putusin untuk engga mau melihat mukanya lagi, sampe kapanpun.”
“Yang bener, Lie?” tanya Karin tersenyum penuh arti.

***

Dua minggu sudah berlalu sejak Zulie membuang stiletto silvernya yang lumayan mahal itu ke tempat sampah. Dan selama itu pula dia tidak melihat si Andrew gebleg yang menyebalkan itu. Aneh. Biasanya tuh cowok selalu lewat di depan rumahnya kalo mau berangkat kuliah. Atau main badmington bareng si playboy kampung. Atau sekedar beli ketoprak yang emang suka mangkal di seberang rumah. Trus kemana dia? Lenyap begitu aja. Apa sibuk? Ato kembali ke Amrik? Ato sakit?
Zulie tercengang. Kok dia jadi mikirin si gebleg itu? Mau ngapain kek, emang ada urusan apa sama gue?
“Ayo dong, Rin…” rengek Zulie di telepon, “Sepi banget nih. Bonyok main golf. Bi Una ngantar anaknya masuk asrama. Si Kiki ada eskul di sekolah. Gue sendirian nih. Masa lo tega, sih?”
“Bukan tega, Lie,” terdengar suara Karin meringis, “Tapi lo ngerti dong. Gue kena cacar air nih. Ntar nular ke elo, lagi.”
“Kita ‘kan bisa ngobrol dari jarak jauh. Gue boring banget sendirian. Siaran tv kagak ade yang sip. Smua dvd udeh gue tonton abiz!”
Tapi Karin tetap menolak, “Wah Lie, gue gak boleh kena angin dan matahari…”
“Gue yang datang…”
“Jangan! Gue lagi jelek. Gak mau dikunjungi oleh siapapun. Suer. Kita pisah dulu seminggu ya?”
“Tega banget sih lo. Dulu sakit gigi. Lha sekarang kena cacar. Betah amat lo dikerubungi penyakit?”
Karin terkekeh, “Abis, gimana lagi? Hm…gue ada ide. Gimana kalo lo telepon aja cowok gebleg di sebelah rumah lo. Gue yakin dia pasti senang nemenin lo.”
Zulie cemberut, “Yang benar aja! Gue ‘kan udah bilang gak mau melihat mukanya lagi sampe kapanpun. Lagi pula, udah dua minggu gak kelihatan. Apa udah ko’it ya?”
“Hus! Gak bole ngomong gitu. Dosa tau. Eh, tapi diem-diem lo memantau si Romeo ya?”
“Masa sih? Gue benci setengah mati sama dia. Rin, jangan sebut dia Romeo. Gak pantas, tau. Gak romantis. Gak lembut. Dia bukan Romeo yang gue tunggu-tunggu.”
Karin ngakak, “Tapi awas. Terlalu benci bisa berubah cinta loh.” Katanya sebelum menutup telepon.
Zulie mencibir. Jatuh cinta ama si gebleg itu? Yang benar aja. Apa stok cowok keren di Indonesia sudah habis?
Bel pintu membuyarkan pikiran Zulie.
“Selamat siang, mbak. Kenalkan saya Budiman. Saya ingin memperlihatkan beberapa produk kosmetika terbaru kami agar mbak semakin terlihat cantik. Saya harap mbak tidak berkeberatan.” Sapa seorang pria berpakaian rapi yang wajahnya terlihat lelah.
Zulie tersenyum, “Terima kasih banyak. Tetapi maaf ya mas. Saya sudah cocok dengan produk yang saya pakai sekarang...”
“Mbak tidak harus membeli. Lihat-lihat saja dulu. Ada bedak, lipstik, parfum, dan semua kosmetika kami khusus diciptakan untuk gadis Asia secantik mbak. Kalau soal mutu, tidak diragukan lagi.” Pria berusia sekitar 30an itu tampak setengah memaksa, meski sikapnya tetap sopan. Tetapi Zulie maklum. Seorang penjual memang pantang berputus asa, kan?
“Saya minta maaf. Mas. Saya benar-benar tidak sedang membutuhkan...”
“Mbak, pepatah mengatakan, tidak kenal maka tidak sayang. Tidak ada salahnya mbak lihat-lihat saja dulu. Tertarik atau tidak, itu urusan nanti.”
“Wah, bagaimana ya?”
Budiman tersenyum melihat terbukanya peluang tersebut. Cepat-cepat dia membuka kopernya dan mengeluarkan beberapa produk kosmetikanya, “Tolong jangan membuat saya merasa kalah sebelum berjuang, mbak. Luangkan waktunya sebentar saja. Kalau kira-kira mbak tidak tertarik, saya janji akan segera pergi.”
“Tetapi saya sedang memasak, jadi saya tidak bisa...”
“Hm...mbak sedang merebus jagung ya?”
Zulie melongo, “Kok mas tau ya?”
Budiman tertawa, “Penciuman saya tajam, mbak. Selain itu, saya juga suka sekali jagung rebus. Itu makanan favorit saya. Oh ya, bagaimana dengan orang tua mbak? Apa mereka ada di rumah? Kakak atau adik? Saya ingin mereka juga melihat promo saya.” Katanya menerobos masuk ke rumah sambil menyeringai lebar, “Bisa tidak mereka dipanggilkan?”
Didesak terus seperti itu membuat badan Zulie panas dingin. Tiba-tiba dia merasa keadaan sudah mulai tidak terkendali, “Maaf ya mas. Saya tidak ada mempersilahkan masuk. Mas ini kayanya sudah berbuat tidak sopan...”
“Wah mbak, jangan marah begitu. Saya tidak punya maksud lain kok selain mempromosikan dagangan saya.” Ujar Budiman dengan sorot mata berkilatan mengitari seluruh ruangan. Hati Zulie berdebar kencang. Saat dia mengaku bisa tinju dan karate kepada Andrew, itu bukan isapan jempol. Memang tahun lalu dia mempelajari kedua ilmu bela diri itu. Tetapi hanya dasar-dasarnya saja. Dan sampai saat ini ilmu itu sama sekali belum pernah di praktekkannya. Belum ada lawan yang tangguh, demikian dalihnya. Tetapi saat segenting ini, mengapa nyalinya tidak sebesar tekadnya saat mulai mempelajari ilmu bela diri itu?
“Rumah ini sepi sakali. Kelihatannya mbak sendirian dirumah ini, ya?” Budiman tersenyum kecil. Dan bagi Zulie itu sebuah senyum yang sangat mengerikan.
“”Kenapa anda menayakan itu? Sendirian atau tidak, itu bukan urusan anda.” Mendadak sebuah suara menggelegar dari dapur. Sosoknya yang tinggi dan tegap melangkah mendekati Zulie. Selembar sapu tangan diulurkannya kepada gadis itu, “Aku sudah mematikan api kompor. Jagungnya sudah matang dan siap disantap. Kamu memang pintar memasak.” Katanya mencium pipi Zulie. Wajah gadis itu spontan memerah. Pikirannya berkecamuk antara senang dan marah. 
“Nah sayang, siapa laki-laki ini? Kamu mengenalnya?” tanya Andrew lembut.
Zulie menggeleng lemah. Masih terkesimah dengan kemunculan cowok itu yang tiba-tiba, serta sikapnya yang sungguh mesra.
“Baiklah. Bisa anda jelaskan mengapa anda bisa berada rumah ini?” tanya Andrew dengan suara berat. Dipandangnya Budiman dengan sorot mengancam. Membuat pria itu gugup setengah mati.
“Maafkan saya, pak. Saya hanya ingin promo kosmetika kepada istri anda...”
“Dengan cara memaksa masuk?” penggal Andrew cepat, “Anda ini mau berjualan atau merampok? Sikap anda benar-benar tidak profesional.”
Budiman menelan ludah. Dengan gugup dia mengemasi barang-barangnya, “Sekali lagi saya mohon maaf pak. Bukan maksud saya menakut-nakuit istri anda. Kalau begitu, saya permisi dulu pak. Selamat sore.” Katanya meraih tasnya dan segera berlalu. Setelah terdengar suara pintu pagar ditutup, serta merta Zulie terisak seperti anak kecil yang kehilangan boneka. Dia marah karena kebodohannya, dan malu, juga karena kebodohannya.
“Laki-laki itu sudah pergi. Sudahlah jangan menangis lagi.” Andrew memegang pundak Zulie dengan lembut, “Lain kali, jangan pernah membuka pintu untuk orang asing...”
Tetapi Zulie segera melepaskan diri. Tangannya terangkat menampar Andrew, membuat cowok itu terkejut. “Itu karena kau mencium...pipiku!” teriaknya berang. Memang Andrew sudah menyelamatkan dirinya. Tetapi bukan berarti dia dapat berbuat seenaknya. Pakai cium-cium segala!
Andrew terdiam sejenak, “Nona Zulie yang terhormat. Apa kau pikir aku senang melakukannya? Setelah ini aku akan cuci muka dan sikat gigi.”
Mendengar itu, darah Zulie kembali menggelegak. Tangannya terangkat kembali, namun kali ini Andrew lebih cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu.
“Wah-wah...cantik tetapi kasar.” Gumam Andrew menggeleng-gelengkan kepalanya.
Zulie mengibaskan tangannya. Tetapi cengkraman Andrew begitu kuat hingga dia merasa lelah dan putus asa, “Berapa banyak lagi budimu yang mesti kubalas?” desisnya megap-megap.
Kening Andrew langsung berkerut, “Saat melihat ada orang mencurigakan, aku langsung masuk lewat pintu belakang. Aku ikhlas kok.”
Zulie menggigit bibirnya, “Kau...pasti benci sekali kepadaku.”
“Tidak. Memang kenapa?”
“Kalau kau tidak membenciku, kenapa kau diam saja saat mengantarkan aku pulang dari pesta pertunangan Dewi waktu itu? Kau tau aku mengalamai depresi saat itu.”
Sesaat Andrew mengawasi wajah Zulie yang halus dan begitu dekat dengannya. Bahkan aroma parfum gadis itu samar-samar masuk ke lobang hidungnya, menggoda benaknya. “Jadi kau masih menyimpan sikapku itu hingga sekarang?” tanyanya tersenyum.
“Kau bahkan menghindariku sejak saat itu.” Zulie kembali berusaha melepaskan tangannya. Tetapi tampaknya Andrew masih tidak tergoyahkan. “Tadi kau memang telah menyelamatkanku lagi. Tetapi bukan berarti aku memaafkan apa yang baru kau lakukan.”
“Maksudmu, ciumanku?”
Wajah Zulie memerah kembali, “Aktingmu sungguh buruk! Siapapun akan tau kalau kau telah memanfaatkan situasiku. Tetapi aku sudah menamparmu, jadi kita impas.”
“Jadi aku tidak perlu mencuci muka dan menyikat gigiku? Itu tidak adil.” Ujar Andrew kalem.
“Maksudmu aku harus...menciummu juga, lalu tidak mencuci muka dan menyikat gigi, baru bisa dikatakan adil?”
Andrew tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku jadi bingung, siapa sebenarnya di antara kita yang paling bodoh. Dengar ya Lilie, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku diam saat mengantarkanmu pulang, justru karena aku tau kau benar-benar mengalami malam paling buruk. Aku tidak ingin membuatmu bertambah tertekan. Jujur, saat itu aku juga sedang kesal dan aku tidak mungkin bisa mengatakan hal-hal baik untuk menghiburmu. Lalu ciuman tadi, itu bukan akting. Puas?” tanyanya seraya melepaskan cengkramannya pada pergelangan tangan gadis itu.
Zulie diam. Benarkah cowok itu tidak sedang berakting saat menciumnya?
“Belakangan ini aku memang jarang keluar. Tetapi bukan untuk menjauhimu. Aku hanya sedang berpikir. Kurasa aku telah...” Andrew tidak meneruskan kalimatnya. Dia menatap Zulie, “Aku sedang mencari peluang untuk mengatakannya. Kalau kau sudah tenang, pergilah ke dapur. Ada bungkusan buatmu. Sampai jumpa.”
Setelah Andrew pergi, Zulie langsung mengunci pintu depan. Lalu buru-buru kedapur. Di atas meja dapur, dia melihat sebuah bungkusan rapi. Setelah dibuka, ternyata isinya Stiletto silvernya! Dan sebuah catatan kecil.
“Dasar anak manja! Jangan kejam terhadap benda. Itu tidak baik. Sepatu ini ‘kan masih bagus. Aku sudah memperbaikinya. Aku menyukainya. Mungkin karena aku juga sudah menyukai pemiliknya. Salam, Romiandrew.” 
“Romiandrew?” eja Zulie dengan kening berkerut. Jadi namanya Romiandrew. Romi...Romeo! Ya ampun, Karin benar. Dialah Romeo itu. Yang selalu datang untuk menyelamatkannya. Yang benar-benar memahami dirinya. Yang ciumannya begitu lembut. Zulie mendekap sepatunya dengan air mata berlinang. Dialah Romeo yang diidamkannya selama ini.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar