Follow

Jumat, 17 November 2017

Dia (lah) Ibuku - Karya Lindsay 'Lov

-= Cerita ini kupersembahkan kepada seluruh IBU yang menyayangi anaknya, di manapun berada =-

--

Eva membuka bungkusan kecil bersampul pink dengan corak bunga-bunga kecil, yang sedari tadi berada di depannya. Isinya adalah jam tangan elegan berwarna emas. Tanpa melihat dengan seksama pun, Eva tahu kalau jam itu bermerk Rolex, dan asli dibalut emas.

“Gimana sayang? Kamu suka?” tanya seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan, yang duduk di sisi kirinya, seraya menyentuh pundak Eva. Gadis itu tersenyum tipis.

“Apa kubilang? Eva pasti suka dengan pilihanmu,” kini terdengar suara seorang pria berusia sekitar lima puluh tahunan, yang duduk di sebelah kanannya. “Astaga! Aku lupa! Sebentar aku ambil kamera dulu. Masa tak ada acara foto-fotonya?”

Eva mengikuti gerak si pria, yang tak lain adalah ayahnya, melangkah menuju parkir dengan pandangan matanya. Setelah menghilang, dengan sigap di cengkramnya lengan wanita yang baru saja memberinya hadiah jam tangan tadi.

“Hei! Jangan kau kira kau bisa membeliku dengan jam tangan kampungan itu!” desis Eva menatap wanita muda yang tampak kesakitan tersebut. Eva memang sengaja membenamkan kuku-kukunya pada pergelangan tangan wanita tersebut dengan maksud menyakitinya. “Kau boleh saja membeli cinta ayahku dengan … senyum sok sucimu itu! Tapi di mataku, kau tetaplah perempuan murahan! Kau pelacur! Kau pasti menyembah di kaki ayahku sambil telanjang!”

“Eva, kau menyakitiku …”

“Kau yang menyakitiku! Kehadiranmu!” penggal Eva cepat. Secepat tangannya mengembalikan kotak dan jam tangan tadi ke dalam tas wanita di sampingnya tersebut.

“Hei! Ternyata kameranya ketinggalan di rumah. Kita foto-foto pake handphone saja, gimana?”

Suara ayahnya membuat Eva segera melepaskan cengkramannya. Diliriknya, wanita di sampingnya segera memasang wajah manis sambil menutupi pergelangan tangannya yang memerah.

“Papa narsis, ah!” ucap Eva dengan senyuman lebar. “Gak usah pake foto-fotoan segala. Kayak anak kecil aja!”

“Gak apa-apa toh? Kita sudah lama gak kumpul. Ini mumpung kamu pulang …”

“Eva mau ketemu teman bentar, Pa. Lagi gak mood foto-fotoan!” Eva meraih tas kecilnya dan segera meninggalkan ayah dan ibu tirinya yang memandang sambil terdiam.

Sementara, di luar restoran, Eva langsung mengeluarkan ponselnya. “Di mana lo?” tanyanya setelah menghubungi nomor seseorang. Mendengarkan jawaban dari seberang telepon sesaat, lalu ia mengangguk. “Bagus. Gue kesana sekarang!”

Eva menyetop taxi dan langsung meluncur ke alamat yang di sebutkan oleh teman bicaranya di telepon.

“Jon! Joni!” teriaknya begitu sampai.

Seorang pemuda berpenampilan preman, yang sedang membaca Koran, langsung menoleh. “Eva my darling!” balasnya berteriak sambil melangkah mendekat dan bersiap hendak memeluk gadis itu.

“Hei! sejak kapan lo genit dan memuakkan gini?” tolak Eva saat tangan Joni hendak merangkulnya.

Joni tergelak. “Sejak lo tiba-tiba ngubungin, Va. Gue kira lo udah melupakan pacar lama lo ini.”

Eva meringis. Sejak kapan pula dia pacaran dengan cowok tak terurus itu? Tapi dia tahu Joni hanya bercanda. Jadi dia mengabaikan basa-basi tersebut. “Di mana rumahnya?”

“Itu!” Joni menunjuk ke arah seberang mereka. Sebuah rumah besar, yang di depannya terdapat pos sekuriti, tanda tak mungkin bisa masuk sembarangan.

“Gue ke sana!”

“Jangan sekarang!”

“Kenapa?”

“Yang lo cari sedang keluar.”

Joni benar. Tak lama, cowok itu menunjuk ke sebuah mobil mewah yang baru datang. Dua sekuriti terburu-buru membuka gerbang, dan mobil tersebut pun masuk. Eva segera melangkah mendekati rumah yang sudah diamati Joni semenjak dua bulan lamanya. Bicara sebentar dengan para sekuriti, dan dia mendapatkan izin masuk. Beruntungnya, ia masih melihat orang yang dicarinya sedang mengeluarkan beberapa barang belanjaannya dari bagasi mobil.

Eva menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba mengering. Wanita itu … yang berparas sangat cantik, sudah lama sekali dirindukannya. Setitik airmatanya mengalir, membayangkan pertemuan yang sudah dua puluh tahun ditunggu-tunggunya. “Mama …” ucapnya dengan suara tercekat.

Si wanita cantik terkejut mendengar suara yang tiba-tiba datang dari belakangnya. Ia langsung menoleh dan menatap dengan mata membulat.

“Si … siapa kau?”

“Eva, Ma. Evany Putri Hidayat. Aku … aku anakmu …”

“Tidak!” penggal wanita tersebut dengan suara bagai tercekik.

“Apa?”

Si wanita melangkah mendekati Eva. Melihatnya dari atas hingga ke bawah. Dari rambut hingga kakinya. Menatap wajahnya. Meneliti raut mukanya. Dan apa yang selama ini diimpikan oleh gadis itu, hancurlah sudah.

“Kau … bukan putriku! Aku tak pernah menginginkanmu! Sama seperti laki-laki itu! Ayahmu! Aku tak pernah mencintainya. Dia tahu itu, tapi tetap menikahiku. Dia membeliku dengan uangnya! Merampas kebebasanku. Menghancurkan kebahagiaanku! Memperkosaku!”

“Memperkosa Mama?”

“Aku tak sudi tidur dengan ayahmu, tapi dia memaksaku!”

“Mama …”

“Jangan panggil aku Mama! Kau keturunan laki-laki tak bermoral dan aku membencimu! Membenci kalian! Pergi dari rumahku, atau aku akan memanggil polisi untuk mengusirmu!”

Airmata Eva meluncur bagai air hujan, saat dilihatnya wanita cantik yang begitu dirindukannya itu melangkah membelakanginya dan membanting pintu rumahnya.

“Eva …”

“Gue balik, Jon!” ucap Eva berusaha menutupi matanya yang basah.

“Va, lo nangis? Mereka mengusir lo? Apa perlu gue ke sana …”

“Simpan tenaga lo, Jon!” Eva membanting pintu taxi yang tadi memang sengaja disuruhnya menunggu.

“Va, tunggu sebentar!” Joni mengetuk kaca jendela taxi. Eva membuka dan memandang Joni tak senang.

“Gue cuma mau tanya satu hal,” ucap Joni cepat. “Ibu lo yang sekarang, pernah gak dia meninggalkan lo?”

Eva tak menjawab. Mulutnya terkunci beberapa saat. “Jalan, Pak!” ucapnya akhirnya, meninggalkan Joni yang menatapnya dengan simpati.

Ia tahu apa maksud Joni. Hampir seumur hidupnya, Eva selalu meneror wanita itu. Sebelum ia kuliah ke Belanda, sudah begitu banyak yang dilakukannya untuk membuat mantan sekretaris ayahnya, yang telah menjadi ibu tirinya semenjak ia berusia tiga tahun itu, keluar dari rumahnya. Dari mengancam, merusak pakaian wanita itu, memasukkan kotoran ke masakan, dan semua perbuatan-perbuatan buruk telah dicobanya. Namun wanita itu tegar bagaikan kaktus. Ia tetap bertahan, tanpa membalas sekalipun. Dan Joni benar. Wanita itu tak pernah meninggalkannya saat dia sakit, atau saat dia sedang bermasalah di sekolah. Wanita itu tak pernah sekalipun meninggalkannya!

‘Ya Allah!’ Eva mendesah seraya metatap keluar jendela. Saat yang sama, ia melihat sesuatu yang mengerikan. “Pinggir, Pak! Pinggir!” teriaknya cepat. Begitu taxi menepi, Eva langsung melompat keluar, tepat saat seorang wanita terjatuh karena seorang pengendara menjambret tasnya.

“Jambreeett!” teriak si wanita seraya mengaduh kesakitan. Tampaknya kakinya terluka hingga membuatnya tak mampu berdiri. Eva langsung mengejar dan menghadang orang yang menjabret, yang kebetulan menuju ke arahnya tersebut dengan mengibaskan tas kecilnya. Orang itu terkejut dan kibasan tas Eva membuatnya hilang keseimbangan dan terjatuh ke aspal. Tanpa membuang waktu, Eva langsung menghajar laki-laki tersebut. Detik berikutnya, beberapa orang yang melihat kejadian, berdatangan untuk membantu mengamankan si penjambret. Setelah semuanya aman, Eva mengambil tas si wanita dan mengembalikannya dengan perasaan haru.

“Eva …” ucap wanita itu dengan air mata berlinangan.

“Ibu sedang apa di sini?” tanya Eva cepat.

“Ibu? Ka … kamu memanggilku Ibu?”

Eva menatap wanita itu dengan mata yang kembali basah. “Ayo kita ke rumah sakit, Bu. Kita periksa kaki Ibu.”

“Eva sayangku. Ibu tidak apa-apa. Kau … kau nakal sekali!”

Eva menatap ibu tirinya. “Aku nakal?”

“Iya. Kenapa kau mempertaruhkan dirimu mengejar penjambret itu. Bagaimana kalau dia punya pisau? Aku tak sanggup membayangkannya!”

“Aku hanya ... tidak ingin kehilangan jam tanganku, Bu,” ucap Eva sedikit malu.

“Astaga!” wanita di hadapan Eva tergelak lebar. “Jam itu sudah Ibu letakkan di kamarmu. Ngapain juga Ibu bawa-bawa?”

“Benarkah?”

“Eva, tolong jangan lakukan hal-hal yang membuatmu celaka, ya?”

“Ibu … aku … aku …”

“Kenapa, Va?”

“Aku ingin dipeluk,” ucap Eva menitikkan airmatanya. Ibu tirinya tersenyum dan langsung memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang.

‘Ya Allah, dia inilah, wanita inilah ibuku,’ bisik Eva di dalam hatinya.

End :')

1 komentar: