Follow

Rabu, 15 November 2017

Sydney

Langit Sydney di akhir musim semi yang sunyi. Bisu. Sebisu gerakan berpuluh ibis putih yang melenggang melintasi hari yang kian menerik. Aku melangkah pelan, mengikuti gerak seekor ibis yang memisahkan diri dari kawanan. Setelah berpuluh-puluh langkah, aku berhenti. Sebab ia juga berhenti. Ibis itu tampaknya mengerti kalau tengah diikuti. Tapi dia hanya diam, seolah mengerti kalau dia tidak sedang dalam bahaya.

Kupangkas jarak lima meter antara kami menjadi satu meter, berharap dengan demikian suara yang keluar dari paruhnya dapat kudengar jelas. Seperti mengerti, ia membuka paruh panjang hitamnya lebar-lebar, namun hanya sunyi yang kutangkap di pendengaranku.

Aku bersimpuh, menjajarkan kameraku padanya. Berharap jika suaranya tak dapat kudengar, mungkin lewat gambar aku bisa mengerti bahasanya. Kepala pelontos ibis itu miring ke kiri dan ke kanan, seolah mencerna apa maksudku. Tapi ia menunjukkan sikap damai, seolah mengerti kalau dia tidak sedang terancam.

Tanganku spontan terulur ke arahnya, ia merunduk. Tapi, sejengkal menuju kenyataan, sebuah tepukan mendarat di bahuku. Aku terperanjat, menatap kecewa pada arah ibis itu berlari sebelum memutar kepala melihat siapa yang melakukannya. Sosok gagah bak ksatria dari negeri antah berantah berdiri disana, tersenyum padaku.

“Maaf, aku membuat ibismu pergi,” ucapnya, atau setidaknya, menurutku itu yang tengah diucapkannya.

“Tak usah cemas, di…” gerak bibirnya tak bisa lagi kuartikan. Melihatku yang tengah memelintir kening mencerna ucapannya, ia berhenti berbicara, kemudian mengambil sebuah pena dari celana khakinya yang berwarna kecoklatan, dan berlembar-lembar kertas dari tas sandangnya.

“Maaf, aku menulis ini. Dari tadi aku memanggilmu, tapi kau tak menyahut. Tanpa bermaksud menghina, makanya aku berpikir kalau kau tuli.” Bunyi tulisan di atas kertas itu.

“Tak masalah, aku memang tuli,” jawabku. Kupikir aku tak perlu melakukan hal yang sama dengannya, karena kurasa dia bukan seorang tunarungu. “Kalimat terakhirmu tadi apa?”

Ia kembali sibuk dengan kertas dan penanya.

“Aku bilang tak usah cemas. Masih banyak ibis lain yang bisa kau temui disini,” tulisnya.

Anggukan setuju dariku membuatnya tertawa. Aku mendesah pelan, terasa tawa itu begitu menyiksa bagiku.

“Hei lihat!” Ia kembali berucap, sembari mengarahkan kameraku pada enam ekor ibis yang berada tak begitu jauh dari kami. Mereka bergerak lambat, kemudian menghentak. Berputar, mengepak. Begitu dinamis. Aku bahkan kini tengah membayangkan enam sosok ballerina tengah menari diiringi sebuah simfoni dari langit.

Kuatur posisi kamera untuk membidik gambarnya. “Kupikir sekarang aku tengah melihat enam ballerina tengah menari diiringi simfoni,”

“Tentu saja, mereka menari dalam bahasa rasa.” Tulisan dalam kertas tersaji lagi, menghalang pandanganku.

“Berhentilah menuliskannya. Biarkan saja aku membaca gerak bibirmu,” ucapku. Sudut mataku menangkap gerakan mengangguk darinya. Bibirnya kembali bergerak. Kuarahkan shutter kameraku pada wajahnya yang oval dengan mata hazel menghiasi.

“Barangkali, itulah keuntungan memiliki kekasih tuli. Dia selalu mendengarkanmu dengan mata. Kau akan selalu merasa diperhatikan.” Gerak bibirnya kutangkap.

“Tapi tak selamanya diperhatikan atau memperhatikan itu menyenangkan. Saat kau bertengkar dengan kekasihmu, perhatian itu akan membuatmu jengah,” timpalku pada sosoknya yang kini mendekat ke arah ibis-ibis itu. Ia seperti berucap, tapi tanpa melihat gerak bibirnya aku tak bisa mengartikan ucapannya.

Aku mendekatinya yang kini tengah bersimpuh di hadapan ibis-ibis itu. Rupanya, gerakannya yang mengulurkan tangan pada mereka mengganggu kenyamanan para ibis. Mereka berterbangan. Membuatku tertawa melihat raut wajah kecewanya.

“Kau senang sekali melihatku ditelantarkan,” Ia berucap dengan raut wajah kesal. Aku kembali tertawa.

Ia mengusap kepalaku, lalu membimbingku duduk di bawah pohon rindang yang entah apa namanya. Selama beberapa saat, kami diam.

“Sejak kapan?” dia menyela diam.

“Maksudmu? Sejak kapan aku tuli?”

Anggukannya membuatku menghela napas berat. “Dua bulan lalu, beberapa hari setelah kudapatkan visa-ku.” Ia memandangku iba. “Penyakit lupus yang ada di dalam darahku menyerang system imun, melumpuhkan saraf-saraf pendengaranku. Awalnya aku tak bisa menerimanya, semua kusalahkan. Termasuk Tuhan. Tapi semakin aku berusaha menyangkal, kekecewaan makin berat kurasakan. Jadi kuputuskan saja menerimanya, mungkin Tuhan sedang mengajarkanku mendengar dengan cara lain,” jelasku.

“Kenapa kau tak pakai alat bantu dengar saja?”

“Aku sudah coba. Tapi yang kudengar cuma suara bising yang memekakkan. Makanya aku tak pakai. Maaf yah, aku tak berusaha menipumu,” desisku lagi.

“Kau tak perlu minta maaf, Kau tak pantas untuk diberi maaf, Sydney!”

“Kau tak mau memaafkanku?”

“Kau tak punya salah padaku, jadi apa yang harus kumaafkan?”
Tak percaya, kutatap wajahnya. Sungguhkah ia memaafkanku? Semudah itu?

“Kau terlalu memanjakanku dengan belas kasihanmu. Kenapa kau buat semudah ini?”

“Kenapa aku harus mempersulitmu jika bisa dibuat lebih mudah?” Ia membalasku dengan tatapan tajam dari mata hazelnya. “Adikmu, Keyra sudah menceritakan semuanya,” tambahnya.

“Harusnya kau dengar dariku, bukan dari Keyra,” ucapku lagi. “Tak seharusnya aku membiarkanmu berprasangka. Aku memang pecundang.”
Sydney

Langit Sydney di akhir musim semi yang sunyi. Bisu. Sebisu gerakan berpuluh ibis putih yang melenggang melintasi hari yang kian menerik. Aku melangkah pelan, mengikuti gerak seekor ibis yang memisahkan diri dari kawanan. Setelah berpuluh-puluh langkah, aku berhenti. Sebab ia juga berhenti. Ibis itu tampaknya mengerti kalau tengah diikuti. Tapi dia hanya diam, seolah mengerti kalau dia tidak sedang dalam bahaya.

Kupangkas jarak lima meter antara kami menjadi satu meter, berharap dengan demikian suara yang keluar dari paruhnya dapat kudengar jelas. Seperti mengerti, ia membuka paruh panjang hitamnya lebar-lebar, namun hanya sunyi yang kutangkap di pendengaranku.

Aku bersimpuh, menjajarkan kameraku padanya. Berharap jika suaranya tak dapat kudengar, mungkin lewat gambar aku bisa mengerti bahasanya. Kepala pelontos ibis itu miring ke kiri dan ke kanan, seolah mencerna apa maksudku. Tapi ia menunjukkan sikap damai, seolah mengerti kalau dia tidak sedang terancam.

Tanganku spontan terulur ke arahnya, ia merunduk. Tapi, sejengkal menuju kenyataan, sebuah tepukan mendarat di bahuku. Aku terperanjat, menatap kecewa pada arah ibis itu berlari sebelum memutar kepala melihat siapa yang melakukannya. Sosok gagah bak ksatria dari negeri antah berantah berdiri disana, tersenyum padaku.

“Maaf, aku membuat ibismu pergi,” ucapnya, atau setidaknya, menurutku itu yang tengah diucapkannya.

“Tak usah cemas, di…” gerak bibirnya tak bisa lagi kuartikan. Melihatku yang tengah memelintir kening mencerna ucapannya, ia berhenti berbicara, kemudian mengambil sebuah pena dari celana khakinya yang berwarna kecoklatan, dan berlembar-lembar kertas dari tas sandangnya.

“Maaf, aku menulis ini. Dari tadi aku memanggilmu, tapi kau tak menyahut. Tanpa bermaksud menghina, makanya aku berpikir kalau kau tuli.” Bunyi tulisan di atas kertas itu.

“Tak masalah, aku memang tuli,” jawabku. Kupikir aku tak perlu melakukan hal yang sama dengannya, karena kurasa dia bukan seorang tunarungu. “Kalimat terakhirmu tadi apa?”

Ia kembali sibuk dengan kertas dan penanya.

“Aku bilang tak usah cemas. Masih banyak ibis lain yang bisa kau temui disini,” tulisnya.

Anggukan setuju dariku membuatnya tertawa. Aku mendesah pelan, terasa tawa itu begitu menyiksa bagiku.

“Hei lihat!” Ia kembali berucap, sembari mengarahkan kameraku pada enam ekor ibis yang berada tak begitu jauh dari kami. Mereka bergerak lambat, kemudian menghentak. Berputar, mengepak. Begitu dinamis. Aku bahkan kini tengah membayangkan enam sosok ballerina tengah menari diiringi sebuah simfoni dari langit.

Kuatur posisi kamera untuk membidik gambarnya. “Kupikir sekarang aku tengah melihat enam ballerina tengah menari diiringi simfoni,”

“Tentu saja, mereka menari dalam bahasa rasa.” Tulisan dalam kertas tersaji lagi, menghalang pandanganku.

“Berhentilah menuliskannya. Biarkan saja aku membaca gerak bibirmu,” ucapku. Sudut mataku menangkap gerakan mengangguk darinya. Bibirnya kembali bergerak. Kuarahkan shutter kameraku pada wajahnya yang oval dengan mata hazel menghiasi.

“Barangkali, itulah keuntungan memiliki kekasih tuli. Dia selalu mendengarkanmu dengan mata. Kau akan selalu merasa diperhatikan.” Gerak bibirnya kutangkap.

“Tapi tak selamanya diperhatikan atau memperhatikan itu menyenangkan. Saat kau bertengkar dengan kekasihmu, perhatian itu akan membuatmu jengah,” timpalku pada sosoknya yang kini mendekat ke arah ibis-ibis itu. Ia seperti berucap, tapi tanpa melihat gerak bibirnya aku tak bisa mengartikan ucapannya.

Aku mendekatinya yang kini tengah bersimpuh di hadapan ibis-ibis itu. Rupanya, gerakannya yang mengulurkan tangan pada mereka mengganggu kenyamanan para ibis. Mereka berterbangan. Membuatku tertawa melihat raut wajah kecewanya.

“Kau senang sekali melihatku ditelantarkan,” Ia berucap dengan raut wajah kesal. Aku kembali tertawa.

Ia mengusap kepalaku, lalu membimbingku duduk di bawah pohon rindang yang entah apa namanya. Selama beberapa saat, kami diam.

“Sejak kapan?” dia menyela diam.

“Maksudmu? Sejak kapan aku tuli?”

Anggukannya membuatku menghela napas berat. “Dua bulan lalu, beberapa hari setelah kudapatkan visa-ku.” Ia memandangku iba. “Penyakit lupus yang ada di dalam darahku menyerang system imun, melumpuhkan saraf-saraf pendengaranku. Awalnya aku tak bisa menerimanya, semua kusalahkan. Termasuk Tuhan. Tapi semakin aku berusaha menyangkal, kekecewaan makin berat kurasakan. Jadi kuputuskan saja menerimanya, mungkin Tuhan sedang mengajarkanku mendengar dengan cara lain,” jelasku.

“Kenapa kau tak pakai alat bantu dengar saja?”

“Aku sudah coba. Tapi yang kudengar cuma suara bising yang memekakkan. Makanya aku tak pakai. Maaf yah, aku tak berusaha menipumu,” desisku lagi.

“Kau tak perlu minta maaf, Kau tak pantas untuk diberi maaf, Sydney!”

“Kau tak mau memaafkanku?”

“Kau tak punya salah padaku, jadi apa yang harus kumaafkan?”
Tak percaya, kutatap wajahnya. Sungguhkah ia memaafkanku? Semudah itu?

“Kau terlalu memanjakanku dengan belas kasihanmu. Kenapa kau buat semudah ini?”

“Kenapa aku harus mempersulitmu jika bisa dibuat lebih mudah?” Ia membalasku dengan tatapan tajam dari mata hazelnya. “Adikmu, Keyra sudah menceritakan semuanya,” tambahnya.

“Harusnya kau dengar dariku, bukan dari Keyra,” ucapku lagi. “Tak seharusnya aku membiarkanmu berprasangka. Aku memang pecundang.”

“Kau bukan pecundang. Bukan hal mudah bagi siapapun saat harus kehilangan pendengarannya tiba-tiba.” Ia mengelak. “Iya sih, dulu aku memang sempat berprasangka buruk padamu ketika kau menghilang begitu saja, kukira kau menipuku.”

Ia bangkit, menepuk debu dari celananya. “Ayo!”

Kusambut uluran tangannya. “Aku tuli. Jika dustaku dulu bisa kau terima, bagaimana dengan kenyataan itu?”

“Buktinya aku disini sekarang kan? Bersamamu. Kau tak sendiri,” jawabnya manis.

Ia tersenyum, aku tersenyum. Ia lalu menggamit lenganku dan menggandengku pergi. Kami berjalan sunyi di tengah gemuruh suasana hati, diiringi simfoni yang digelar langit Sydney.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar