Follow

Rabu, 15 November 2017

Waiting For Rain - Karya Sri Marflowers

“Kapan hujannya turun, Bunda?”

Seperti sedang menghapalkan naskah, Zahrah terus mengulang kalimat pertanyaan tersebut kepadaku. Entah apa yang sudah terjadi. Semenjak ulang tahunnya seminggu yang lalu, Zahrah—putriku—terus menunggu butiran dari langit tersebut turun untuk menyapanya.

“Belum, Sayang. Nanti pasti akan turun hujan.”
Sepenggal kalimat yang aku berikan tak membuat Zahrah yakin. Dia menengadahkan kepala ke langit, berharap langit akan mendung dan hujan melarungkan rindunya kepada bumi.

***

Lagi-lagi aku mendapati Zahrah duduk di ayunan, tentu saja dengan beberapa kali melihat ke langit. Pipinya yang seperti hewan molusca semakin lembut menggelantung cemberut. Aku mengamati putriku dari jendela ruang tamu, menghembuskan napas kasar dan meletakkan segelas kopi di atas meja. “Zahrah masih menunggu hujan, Yah,” kataku, kepada seorang pria yang asik dengan sebuah koran di tangannya. Pria tersebut tersenyum, meletakkan koran dan menyeruput kopi kesukaannya dengan tenang.

“Bunda juga dulunya seperti itu, kan? Menanti hujan. Ckck,”

“Ayah...,” aku cemberut, lebih tepatnya malu. Rasa menyesal kembali menyergap. Seharusnya, tak kuceritakan saja kepada pria satu ini: bahwa aku memang tak punya kenangan akan hujan—namun terus berharap—hujan selanjutnya aku akan berada di dalam pelukannya.

Kini senyumnya merekah sempurna, beranjak dari sofa dan mendekatiku—memeluk tubuhku dari belakang. Kami sama-sama melihat Zahrah dalam pikiran yang tentu saja sama.

“Mungkin Zahrah sedang jatuh cinta, Bunda?”

Cinta yang seperti apa akan tumbuh terhadap anak usia lima tahun? “Ya ampun Ayah....” seperti anak kecil, lebih tepatnya aku melihat adegan copy paste antara Rahul dan Anjeli dalam film Kuch Kuch Hota Hai. Aku berlari mengitari ruang tamu, hanya untuk melayangkan sebuah pukulan manja kepada suamiku tercinta. Dia harus diberi pelajaran!

***

Hujan sepertinya ingin bermain-main terhadap Zahrah. Baru saja awan mendung, namun sekarang sudah terang-benderang menyuntikkan cahanya. Aku mengangkat jemuran, sesekali melihat ke teras rumah menunggu kepulangan Mas Farid. Jam menunjukan pukul empat sore.

Baru saja aku masuk ke dalam rumah, bunyi tetes demi tetes air yang terdengar amat jelas menimpa genteng riuh di telingaku. Aku meletakkan jemuran dengan sembarangan, berlari mencari keberadaan Zahrah. Bukan, aku mencarinya bukan untuk menemaninya menyambut hujan, tetapi karena aku tidak mau putriku demam karena hal tersebut.

Kosong. Aku tak mendapati Zahrah di ayunan tempat dia biasa menanti hujan. Pikiranku mulai panik. Ke mana putriku ini? Tak peduli lagi aku dengan basah, kuterobosi hujan untuk mencari keberadaan Zahrah. Mataku menangkap sesosok yang baru saja keluar dari pintu belakang.

“Bunda... Zahrah... hanya ingin mencobanya.”

Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya air mataku yang ikut merebes bersama hujan—setelah kulihat putriku sedang mengenakan sesuatu—sesuatu yang kuberikan sebagai hadiah tepat di hari ulang tahunnya. Sebuah jas hujan.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar