Follow

Selasa, 14 November 2017

Maple - Karya Sri Marflowers

Aku setia melihat Rei sibuk dengan kertas-kertas di atas meja, membalik benda tersebut hingga puluhan kali. Sesekali aku tersenyum—dia tidak melihat—mungkin memang lebih baik begitu. Ah, aku malu jika terus tertangkap basah menikmati dengan gratis wajah damainya.

“Kenapa tersenyum?”

Aku cengengesan, menyembunyikan semeraut wajah yang merona malu. “PD banget, deh,”

“Jangan ngeles. Aku memang tampan, kok, kalo sedang konsentrasi begini,” kelakarnya, meletakkan semua kertas tersebut dan beranjak ke arahku. “Kita keluar sekarang?”

“Ice cream?” usulku, memegang tenggorokan yang seperti akan terbakar. Cuaca memang luar biasa pekan ini, seperti neraka sedang pameran ke dunia. Lagi pula, menikmati jajanan lembut di lidah tersebut tampak sehati dengan kehadiran Rei—yang membuatnya menjadi lengkap—meneduhkan segala hal.

Rei tampak menimbang-nimbang. Pasti dia memikirkan resiko yang akan berlangsung jika dia menyetujuinya. “Baiklah....” katanya. Aku tahu dia akan mengatakan hal tersebut—lebih tepat akan terus mengatakannya jika itu permintaan yang keluar dariku.

***

Aku dipertemukan dengan Rei dalam keadaan yang biasa saja—namun sulit untuk terlupakan. Lukisan berukaran besar yang tergantung gagah di pusat toko sederhana membuat kami bertengkar hebat. Aku yang memang mempunyai uang pas-pas-an untuk membeli harga yang dipatok oleh pelukisnya merasa terintimidasi. Rei dengan segudang penghasilan mencoba merayu penjual lukisan tersebut dengan harga tinggi, membuatku naik pitam.

“Eits... aku yang lebih dulu, loh, memegang lukisan ini,” jelasku , secara halus. “Jadi aku yang berhak membawanya pulang!”

“Bagaimana, Pak? Lima juta cukup?” katanya—berbicara terhadap pria tua yang berada di antara kami—tanpa memperdulikan kemarahanku.

Kurasa bibirku sedang berdarah saat ini. Aku mempunyai kebiasaan buruk dengan menggigit bibir jika menemui situasi yang tidak kusukai.

“Maaf, Nona. Kebetulan istri saya sedang sakit. Jadi....” pria tua tersebut menggantungkan kalimatnya, dan aku sudah tahu jawaban dari ketidakadilan dunia ini.
“Terima kasih, Pak. Saya akan berikan alamat saya, dan Bapak tinggal mengirimnya ke sana.” Kata laki-laki kurus tinggi itu ,menjabat tangan tua di hadapannya—berlalu tanpa sedikit pun merasa bersalah.

“Maaf, Nona,” katanya, kedua kali.

Aku melihat wajah tulus bapak tersebut. Marah bukan solusi yang baik untuk kecantikkan wajahku. Dengan masih menggigit bibir, aku mengambil secarik kertas yang berisikan alamat pria itu, menyalinnya pada cacatan ponsel Samsung milikku dan menggertakkan gigi dengan geram. Keadilan harus ditegakkan!

***

Jika diberi tugas membuat karya tulis atau sejenisnya dalam seratus hari, aku adalah orang yang akan mengerjakannya tepat pada hari kesembilan puluh sembilan. Menunda adalah keahlian dan hobbyku yang paling menarik—membuatku harus mengecap manisnya migrain. Namun hari ini, sepertinya bumi sedang tidak berputar pada porosnya.

Kuparkirkan motor metic-ku sembarangan, memencet bel rumah megah merwarna biru laut lima kali—aku tidak perduli jika pendengaran orang yang ada di dalam rumah tersebut seketika tuli—aku sudah terlanjur sakit hati.

Di saat ingin kembali menekan tombol ajaib penghubung rumah tersebut, pagar rumah seketika terbuka—melihatkan wajah pria yang baru saja sekitar tiga puluh menit tadi kutemui. Tetap sama, beku dan tak bersahabat. Aku meyakini, pria tersebut pasti lahir pada musim dingin, atau mungkin beruang kutub yang disulap menjadi pria tampan. Yah, kuakui dia memang manis dan... memikat.

“Ada apa?” katanya, lembut. Seketika aku merasa malu karena suka teriak-teriak tidak jelas jika sedang emosi.

Aku tergagap, menggaruk belakang leher dengan canggung, “Lukisan itu...,” kataku.

“Masuklah,” pintanya, membuka pagar lebih lebar. Aku seperti ekor yang membuntutinya.

Mataku liar, bahkan mulutku terbuka tak percaya setelah memasuki rumah mewah tersebut. Hampir disetiap ruangan aku mendapati lukisan terpajang anggun dengan gambar objek yang sama.
“Oh... ini semakin nggak adil!” garamku, menikam korneanya dengan tatapan kasar.

“Apa yang nggak adil?” pria itu berkacak pinggang, membalas tatapan mataku lebih tajam dan ganas. “Kau mau apa ke sini? Bermain-main?”

Telingaku panas. Sikap dan suaranya yang lembut di depan pintu pagar ternyata hanya kamuflase agar tetangga di sebelah rumah tidak mengetahui jati diri pria tersebut sebenarnya. Memuakkan!
“Hah? Jangan sembarangan bicara, yah, pecundang!” aku menekan nada bicaraku, sabar yang selalu ibu ajarkan selama dua puluh tiga tahun ini meluap tak bersisa. “Kau sudah punya banyak lukisan yang sama, kenapa kau tetap saja merendahkan derajatmu dengan menganiaya orang sepertiku? Kau tidak malu berdebat dengan perempuan?” cercahku meluap-luap.

“Kau mau keluar sendiri atau diseret paksa?”

“Aku mau lukisan itu!”

“Jangan bermimpi!” aku melihat wajah pria tersebut mengeras, menapakkan langkah gagahnya dengan berani. Seketika aku merasa takut. Tidak, pria di depanku ini bukan manusia, dia bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya. Aku melangkah mundur, merasakan ruang gerakku semakin sempit, dan...
Pranggg... Aku terjerembab, sebuah vas bunga dari kaca berderai pecah. Melihat kejadian tersebut, pria itu semakin dekat ke arahku. Oh Tuhan... hanya sampai di sini kah nasip kesucianku?

“Jangan mendekat!” kataku, sebisa mungkin mengeluarkan suara yang sangat keras. “Jangan nodai aku,” hanya pasrah yang tersisa. Semoga saja permohonan tulusku ini didengarnya.

“Dasar bodoh! Kau tidak melihat lukamu?” dengan sekali sentakkan, tubuhku sudah sempurna dalam gendongannya. Aku dapat mencium dengan jelas bau mint yang keluar dari aroma tubuhnya. Wangi sekali.

“Diam....” aba-abanya, mencuci kakiku yang berdarah dengan air bersih. Kemudian tangannya yang cekatan meneteskan alkohol berserta obat merah di sana. Tampaklah balutan perban putih yang melingkar rapi sekarang.

“Terima kasih,” kataku, akhirnya.

Semenjak kejadian tersebut, aku semakin akrab dengan Rei. Kami mempunyai banyak kesamaan, di antaranya sama-sama menyukai pohon maple—gambar lukisan yang membuat kami bertengkar—dan juga menyatukan segala yang terpisah. Hati.

Filosofi di balik pohon maple begitu menakjubkan. Konon, katanya pohon tersebut menunjukkan arti sebuah kekuatan, kesederhanaan, kehangatan, keromantisan, dan kesetiaan. Kadang aku ingin menggelar pernikahan dengan konsep Pangeran Willian dan Kate, yaitu menggunakan pohon maple. Aku semakin menaruh mimpi itu dengan sangat tinggi mana kala Rei juga menginginkan hal yang sama.

Melihat pohon maple bukanlah hal yang asing untuk Rei. Bisnis properti miliknya membuat kekasihku tersebut bisa terbang ke mana saja. Dan aku? Yah... semenjak meninggalnya papa, aku seperti ditakdirkan untuk tidak bisa pergi jauh dari rangkulan ibu. Penyakit asma ibu terlalu beresiko jika aku mengabaikannya. Dengan hadirnya Rei, membuat harapan itu kian muncul. Walau hanya lima detik, aku tetap ingin melihat pohon maple secara langsung.

***

Aku mengeliat, meraba-raba dengan mata yang masih terpejam. Dering ponsel yang menyuntik telinga membuatku terjaga dari alam bawah sadar. “Siapa, sih?” rutukku, kesal.

“Dea...,”

Aku menjauhkan ponsel dari telinga, memicingkan mata untuk melihat nama siapa yang menelpon. Siska, sekretaris Rei. “Yah... ada apa, Sis?” jawabku,masih setia memeluk guling hangat berbulu pemberian almarhum papa.

“Kamu bisa ke rumah sakit di dekat kantor sekarang?”

“Untuk?”

“Rei... dia mengalami kecelakaan. Oh Tuhan... aku sulit mengatakannya,”

Aku terperanjat, melempar selimut dengan kasar. “Kamu bilang apa, Sis?” aku benar-benar tidak percaya dan tidak ingin percaya.

“Rei... kata dokter... dia... sulit diselamatkan!”

Tanganku sertamerta lemas, ponsel yang kupegang terbanting dengan sendirinya di lantai. Dengan tubuh gemetar, aku meraih kunci, menghidupkan motor dan membawanya dengan paksa meski tubuhku terasa mencair. Tidak, ini tidak benar! Apa yang sulit diselamatkan? Rei kah? Kekasihku kah? Pria yang selalu memberi kebahagaiaan untukku, pria yang mengalah ribuan kali dengan kekeras kepalaanku. Apa aku harus kehilangan wajah teduh itu? 
Kamu tidak boleh lemah, Rei. Aku tidak mau kehilangan seseorang yang selalu mengacak rambutku hingga kusut, aku belum puas memolesi wajahmu dengan ice cream. Bukankah kita akan melihat pohon maple bersama? Bukankah kita akan menggantung lukisan maple di seluruh penjuru rumah kita? Bukankah kau berjanji akan membawaku melihat pohon maple secara langsung? Rei, jangan siksa aku!

Kenangan seperti ingin mengejekku dengan sempurna. Air mata semakin deras seiring hujan yang kian membasahi jalan. Hujan? Apakah dia turun untuk menyambut kembalinya Rei? Tuhan... izinkan aku ikut bersamanya.

Aku sudah tidak perduli dengan motor yang kubiarkan tergeletak dengan anggun di pinggir jalan. Kantor Rei terasa begitu beku dalam balutan hujan yang semakin menusuk pori-pori. Tepat di sebelahnya, rumah sakit tampak lekang dengan perawat yang berlalu-lalang.

“Dea....” panggil sebuah suara. Perempuan tersebut menghambur memelukku, kami sama-sama menangis.

“Aku ingin melihat Rei,” aku benar-benar hancur. Waktu sukses membuat segalanya berubah dalam hidupku. Tidak cukupkah dia mengambil papa?

“Ikut aku,” kata Siska, menarik pergelangan tanganku ke dalam kantor. Aku tak berdaya dalam pegangannya. Tapi... kenapa harus ke kantor? Entahlah, meski sedikit bingung, namun otakku sudah tak bekerja sekarang.

Pintu terbuka lebar dengan sendirinya, dan....
“Happy birthday to you... happy birthday to you... happy birthday, happy birthday, happy birthday... to you.”

Seorang pria jangkung membawa nampan berisi kue yang bertahtahkan lilin angka 24 di tangannya. Pria tersebut menggunakan kemaja putih dengan dasi berwarna silver. Dia Rei, kekasihku! Aku menghambur, memeluk pria tersebut dengan air mata yang semakin deras tergelincir di pipi. Aku lupa, hari ini ulang tahunku.

“Jangan lakukan itu lagi. Kau hampir membunuhku...” isakku, memukul dadanya dengan kecepatan pelan. Rei mengambil tanganku, membawaku masuk ke dalam dekapan hangatnya. Tepuk tangan riuh terdengar. Ternyata, aku tidak hanya berdua sekarang.

“Kadomu kali ini... melihat pohon maple bersamaku di akhir pekan.” Bisik Rei, membuatku semakin menangis kencang.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar