Follow

Selasa, 14 November 2017

Lost - Karya Ananda Nizzma

Aku merindukanmu, tapi kau tidak merindukanku

Aku mencintaimu, tapi cintamu tidak sebesar rasa cintaku padamu.

Selalu begitu, aku selalu menjadi pihak yang menanti dan mengharap tanpa pernah sekalipun dinantikan. Selalu menunggu, tanpa pernah ditunggu …

Di matamu, aku selalu menjadi pihak yang salah, yang harus meminta maaf.

Pernahkah terbersit di benakmu, bahwa suatu saat nanti aku akan merasa lelah dan akhirnya memilih untuk pergi? Meninggalkanmu dan segala keegoisanmu!

-

“Rey, tunggu!” Aku berusaha menyejajarkan langkahku dengan langkah Reyhan, kekasihku, yang hampir keluar dari rumahku. “Aku minta maaf.”

“Kamu itu kekanakkan, Key! Sampai kapan kamu mau kayak gini terus?” Reyhan berkata setengah membentak.

Ditatap seperti itu olehnya membuatku menciut. Aku mematung dan airmata mengalir tanpa kusadari.

Reyhan mengusap wajahnya frustasi, “Sedikit-sedikit nangis. Dewasa dong, Key. Aku capek ngadepin kamu yang kayak gini.

“Maaf …,” ucapku sambil sesenggukan.

“Aku harus pergi,” kata Reyhan lelah.

“Aku ikut.” Aku menarik tangan Reyhan, berusaha mempertahankannya tetap di sisiku.

“Tidak. Kenapa kau selalu ingin mencampuri urusanku?” tuduh Reyhan sengit.

Apa? Siapa yang ingin mencampuri urusannya? Selama ini aku selalu berusaha untuk tidak terlibat apapun dengannya. Aku hanya menjadi penyemangat dari belakang untuk masalah yang tidak pernah kuketahui. Tapi kali ini aku merasa ada sesuatu yang salah. Aku hanya ingin memastikan kalau dia baik-baik saja.
“Aku hanya … aku ingin ….”

“Sekali lagi aku tanya, aku pergi sendiri atau tidak sama sekali?” nada suaranya benar-benar dingin, membuatku nyaris menggigil.

Aku tidak berani menatap matanya, namun aku tidak ingin melepaskan tangannya dari cengkeramanku. Kalau aku melepaskannya, dia akan pergi, lagi. Setelah aku menunggu sekian lama, akhirnya aku bisa bertemu dengannya. Hanya sekejap, sebelum telepon sialan itu merebutnya kembali dariku. Aku menggeleng. Dia tidak boleh pergi. Tidak boleh!

“Terserah!” Rey menyentak lenganku kasar dan membanting pintu tepat di depanku.
Dia tetap pergi.

Sekali lagi aku kehilangan dia. Sudah beberapa tahun ini hubungan kami tidak berjalan baik. Reyhan menjadi tidak tergapai, seolah dia berada di dunianya sendiri. Mengabaikanku yang haus akan perhatian seorang Reyhan yang dahulu, sebelum dia berubah.

Aku hanya bisa menunggu, lagi.

-

Nyaris sebulan sejak kejadian itu. Tidak pernah ada kabar sedikitpun darinya, tapi itu tidak masalah. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang seperti ini. Tapi hari ini, aku mencoba mengirim pesan padanya. Demi kejelasan hubungan kami.

‘Hai, sudah makan?’

Hanya itu yang akhirnya kukirim. Aku tidak tahu apa yang harus kutulis. Begitu banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Apakah dia baik-baik saja? Apakah masalah apapun itu yang sedang terjadi sudah selesai? Apakah dia merindukanku? Dan … apakah dia masih mencintaiku? Aku meragukan pertanyaan yang terakhir.

Beberapa jam kemudian, barulah balasan yang kutunggu-tunggu tiba.
Sudah.

Hanya balasan singkat, teramat singkat. Membuatku meremas ponselku dengan gemas. Dia bahkan tidak bertanya balik, apakah aku sudah makan? Dia tidak tahu kalau berat tubuhku menurun drastis karena memikirkannya.

‘Lagi di mana?’ tanyaku lagi.
Di rumah teman.
‘Nggak kerja?’
Libur.
‘Oh.’

Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Kutekan dadaku yang terasa sakit. Hatiku sesak memikirkannya yang lebih memilih menghabiskan hari liburnya bersama dengan ‘teman’nya daripada denganku yang notabene adalah kekasihnya. Apa dia tidak pernah berpikir kalau aku sangat merindukannya? Betapa aku mendambakan bisa bertemu dengannya, melihat wajahnya dan merasakan belaian tangannya mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang.
‘Aku ingin bertemu denganmu, Rey.’
Kuberanikan diri untuk meminta sedikit waktunya yang berharga. Bahkan aku bisa menghitung dengan jari, berapa banyak waktu yang dia habiskan untukku selama setahun terakhir ini.
Nanti aku ke rumahmu.

Aku menghela napas panjang, tidak ingin membalas pesan singkat tersebut. Airmata kembali merembes di mataku. Kenapa begitu sulit hanya untuk bertemu denganmu?

-

Sudah hampir tengah malam, tapi aku masih setia menunggu di ruang tamu. Reyhan belum datang atau mungkin dia tidak akan datang. Selalu begini, menunggu tanpa kepastian. Kupejamkan mataku di sandaran sofa, berusaha menghapus rasa sakit yang terus melesak di dadaku.

Reyhan. Satu nama itu yang terus membayangiku. Satu-satunya orang yang kucintai sekaligus yang terus menyakitiku. Bukan secara fisik, namun lebih dalam. Membuatku tidak bisa bernapas. Mengikis sedikit demi sedikit rasa cinta di hatiku sampai akhirnya yang tersisa hanya rasa sakit.

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Yang jelas matahari sudah mengintip dari jendela yang gordennya sengaja aku buka sedikit. Agar aku bisa melihat kedatangan Reyhan - namun dia tidak datang. Aku bangkit dengan perlahan, tubuhku terasa kaku dan pegal, mungkin karena posisi tidurku semalam.

Kulirik ponselku di meja. Sama sekali tidak ada pesan. 

Aku berangkat kerja dengan perasaan yang tidak menentu, semangatku menguap bersama dengan matahari yang bersinar sangat terik hari ini. Untunglah pekerjaan hari ini cukup banyak sehingga bisa menyita pikiranku yang lelah karena memikirkan Reyhan. Tidak terasa waktu sudah bergulir sangat cepat, aku bahkan tidak keluar untuk makan siang dan aku melewatkan waktu sarapanku dengan menangis, tapi aku tidak lapar.

Ketika aku pulang, motor Reyhan sudah terparkir dengan mulus di rumah kontrakanku. Dia sedang asyik menatap ponselnya sambil sesekali mengetikkan sesuatu, sama sekali tidak menyadari kedatanganku sampai aku berada di hadapannya.

“Kau sudah pulang?” tanya Reyhan datar.
Aku hanya mengangguk dan membuka kunci pintu lalu menyuruhnya masuk. Dia sudah duduk di depanku, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Jarangnya intensitas pertemuan kami membuatku canggung untuk membuka obrolan.

“Apa kau kurang tidur semalam?” tanyanya sambil menatapku tajam, aku tahu dia paling tidak suka kalau aku tidur larut malam. Tapi, ini salahnya, bukan?

“Aku menunggumu,” jawabku singkat.

“Kenapa?” Reyhan mengangkat sebelah alisnya.
Kenapa? Apa perlu aku jelaskan kalau aku sangat mengharapkan kedatangannya. Aku menunggunya karena aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku merindukannya. Dasar bodoh!

“Kau bilang akan datang, jadi aku menunggumu.”
Rahang Reyhan mengeras, “Aku tidak menyuruhmu menungguku. Aku bilang NANTI. Jadi, belum tentu aku akan datang semalam. Kenapa kau begitu bodoh?” bentaknya.
Bodoh? Aku? Yah, lagi-lagi aku yang salah. Dan aku sudah hapal di luar kepala, kata apa yang dia tunggu selanjutnya.

“Maaf,” ucapku datar, mengabaikan mataku yang memanas karena ucapan kasarnya.
Reyhan tidak menjawab, seperti biasa. Dia hanya diam, mengabaikanku dan memilih fokus pada ponselnya.

“Rey, aku mau bicara.”

“Hmm?” dia mengangkat wajah tampannya dan menatapku.

Wajah itu yang dulu membuatku jatuh cinta, sikap dinginnya yang terkadang bisa menjadi hangat saat kubutuhkan, sekarang perlahan-lahan semakin menghilang. Reyhan tidak ubahnya seperti gunung es yang tidak mampu aku daki, membuatku menggigil dan lama kelamaan aku akan mati terkena Hypotermia.

“Aku mau … kita akhiri hubungan ini,” ujarku pelan, namun aku yakin cukup keras untuk bisa ia dengar, nyatanya Reyhan menatapku tanpa berkedip.

“Apa kau akan lebih bahagia hidup tanpa aku?” tanya Reyhan.

Pertanyaan yang sama yang menghantui benakku begitu aku mengucapkan kata final tersebut. Apa aku akan bahagia? Aku tidak tahu. Mungkin sulit, tapi aku akan berusaha.

“Ya,” bisikku serak, sehingga aku harus berdehem untuk menormalkan suaraku. “Aku pasti bahagia.”
Reyhan tersenyum, senyuman yang sudah lama sekali tidak pernah aku lihat. Ia berdiri tegap menghampiriku, membuatku refleks segera berdiri juga.

“Baiklah, kalau itu maumu. Terimakasih sudah mewarnai hari-hariku selama ini. Maaf kalau yang bisa kuberikan untukmu hanyalah rasa sakit. Semoga kau bahagia,” ucap Reyhan lembut, tangannya mendarat di puncak kepalaku dan mengusapnya pelan. Lalu, dia pergi tanpa berbalik lagi.

“Aku melepaskanmu, Rey,” gumamku dengan airmata berlinang. Tanganku perlahan naik ke atas kepala, merasakan bekas sentuhan Reyhan yang kini terasa dingin.

-

Reyhan sudah berputar-putar dengan motornya selama berjam-jam sampai tanpa sadar ia memacu kuda besinya tersebut ke sebuah taman yang sangat ia kenal, tempat kencan pertamanya dulu dengan Keyla, yang kini sudah menjadi mantan kekasihnya. Kenyataan itu kembali menghantamnya dengan telak, membuat dadanya kembali sesak. Ia menghentikan motornya dan membiarkannya terguling begitu saja, tanpa ada keinginan untuk membangunkannya. Motor itu sama seperti dirinya saat ini. Jatuh sejatuh-jatuhnya.
Ia duduk di tanah, di samping motornya yang tergeletak tidak berdaya. Menekan dadanya kuat-kuat. Rasa sakit itu tidak hilang. Ia kehilangan Keyla.

Reyhan terlalu bodoh dengan berpikir bahwa Keyla akan selalu berada di sampingnya. Gadis itu tak akan ke mana-mana. Keyla tidak pernah mengeluh, karena itu ia anggap semuanya baik-baik saja. Namun ia melupakan satu hal yang teramat penting, bahwa Keyla juga hanyalah manusia biasa. Dia sudah terlalu banyak berkorban dan bersabar menghadapi keegoisannya. Dan sekarang ia sudah lelah.

“Key….” bisiknya pilu. “Maafkan aku.”

Tangannya menggenggam erat sebuah cincin emas putih bertuliskan inisial namanya dan Keyla, cincin yang rencananya akan ia gunakan untuk melamarnya malam ini.

-end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar