Follow

Selasa, 14 November 2017

I'm Your Sun - Karya Wulan Dadi

Aku melangkah girang di sertai siulan pelan, dengan mengenakan kemeja warna biru laut dan celana hitam panjang tak lupa dengan sepatu putih yang tampak mengkilap, karna memang sengaja ku beli khusus untuk hari ini, menyempurnakan hariku yang kurasa sempurna.

Namaku Doni Kataniama. Dengan berat badan 60 kg dan tinggi 168 cm. Walau tak terlalu tinggi untuk ukuran cowok, tapi kurasa lumayan, karna aku tak merasa bermasalah dengan bentuk tubuhku. Ditambah lagi wajahku yang bisa di bilang cakep meski tak seganteng artis korea yang lagi trend di kalangan remaja sekarang, tapi kurasa cukup lah.

Aku menyebut hari ini sempurna, karena mulai hari ini aku akan bekerja di salah satu radio milik swasta di kota metropolitan yang saat ini menjadi tempat kediamanku. Sudah lama aku bermimpi untuk bekerja di sini, jauh sebelum aku bermukim di kota ini.

Sedikit tentang asal usulku. Aku hanyalah mahasiswa dari daerah yang menuntut ilmu di Jakarta. Karna tak ingin hanya menunggu kiriman dari orang tua dan tak ingin menambah beban mereka, akhirnya dengan modal nekat, kuberanikan diri untuk mengirim lamaran pekerjaan di sini. Dan syukurlah ternyata permohonan ku itu di terima. Tak tergambar girangnya hatiku.

"Penyiar baru ya mas?" Sapa seorang gadis padaku. Orangnya terlihat cantik, putih, dan manis dengan lesung pipinya yang menggoda. Membuat tubuhku merasakan terpaan angin saat pertama kali melihatnya.

"Haallloooo... Mas?" Ucapnya lagi, membuyarkan lamunanku.
"Eh, iya mbak." Jawabku tergagap.

"Baiklah, kalau begitu saya tidak salah orang." Ujarnya tersenyum. Senyum yang sangat menyejukkan hati.

"Perkenalkan mas, nama saya Olive, saya yang akan menjadi patner mas saat menyiar."

"Salam kenal juga mbak, saya Doni Kataniama. Panggil aja Doni, mohon bimbingannya mbak." Ujarku berlaku sopan sembari menjabat tangannya sebagai tanda perkenalan.

"Nggak usah panggil mbak segala mas, nyantai aja."

"Kalau begitu, jangan panggil saya mas juga ya, saya kan nggak jualan bakso." Candaku, membuat dia sedikit tergelak.

"Iya deh mas... Eh maksud saya Doni." Ralatnya setelah melihat aku melotot. Tapi kemudian kami saling tertawa begitu saja, menghilangkan rasa canggung di saat pertama bertemu.

Bagitulah awal perkenalanku dengan Olive, ternyata selain cantik dia juga ramah, baik dan menyenangkan. Apalagi saat aku mencuri pandang ketika dia tersenyum ataupun tertawa, membuat jantungku serasa di sengat listrik bertekanan 220 volt.

Sekarang adalah bulan ke 5 aku bekerja di Radio ini, sangat menyenangkan karna di dampingi Olive tentunya, hehehehe.

Aku dan Olive semakin akrab, mungkin karna kami memiliki hobi dan selera yang sama sehingga makin mudah untuk menyesuaikan diri. Kami menyukai kuriner dan sunset, jadi tak jarang kami menghabiskan waktu senggang bersama, untuk menikmati sunset dan berkuriner ria. Sehingga kedekatan kami membuatku memposisikannya sebagai gadis spesial di suatu tempat di hatiku.

Tapi sore itu, aku tak melihat sedikitpun keceriaan di wajah gadis manis itu. Membuat aku merasa ada yang tidak benar. Sehingga, kuputuskan untuk mengajaknya melihat sunset seusai siaran nanti, dan diapun setuju.

Ku bonceng Olive dengan menggunakan motor metik kesayanganku. Hingga aku menghentikan lajunya di tepian pantai yang tak begitu ramai dikunjungi orang. Bukannya ada niat jahat atau bagaimana, hanya saja aku merasa Olive akan lebih nyaman kalau jauh dari keramaian. Terlihat dari raut wajah Olive tentunya.

Dia berjalan mendekati laut, kemudian duduk di atas batu yang ada di sana, sembari menekuk kaki dan membenamkan wajahnya di antara lutut. Aku mendekatinya, dengan 2 buah es krim Vanilla di tangan.

"Hey... Kalau kamu bagitu, kamu akan kehilangan kebahagiaan." Ucapku mengagetkannya.

Ku serahkan salah satu es krim itu padanya, dia hanya menerima sembari menatapku dengan raut bingung.

"Mau ku beri mantra rahasia nggak?"
Olive masih diam tak bergeming. Membuatku sedikit kagok juga.

"Kalau kamu lagi punya masalah, tatap lah langit itu dan ceritakan semua masalahmu padanya. Aku yakin semua masalahmu itu akan hilang, tenggelam bersama matahari di seberang lautan." Lanjutku
Tapi Olive masih saja diam.

"Aku serius loh. Karna aku selalu melakukannya, cara itu sangat efektif untuk membangkitkan lagi semangatku. Seperti matahari tenggelam yang kembali terbit di hari esok." Tambahku meyakinkan.

Ternyata di luar dugaan ku, Olive menjatuhkan es krimnya dan memeluk ku erat seraya menangis tersedu. Membuatku terkaget, kemudian kubelai lembut rambut panjangnya, supaya dia merasa lebih nyaman. Setelah berhasil menumpahkan tangis yang entah dari kapan di bendungnya.

Cukup lama Olive menangis di pelukanku. Tanpa kata, tanpa ucapan, cuma ada air mata yang terkadang di sertai isakan. Aku hanya mendekapnya, tak berani untuk bertanya. Ku fikir bebannya akan berkurang jika dia menangis. Karna aku percaya saat bibir tak mampu berucap, air mata menjadi satu-satunya alat untuk menumpahkan segala beban.

Setelah es yang ku bawa tadi mencair. Tangis Olive pun mulai mereda, perlahan dia melepaskan pelukannya dan kembali tersenyum. Senyum yang mampu menghipnotisku dan membawa jiwaku melayang ke udara.

Olive kembali menduduki batu tadi dan memainkan kaki nya di air, yang kemudian ku ikuti hingga kami sama-sama menggoda sang ombak.

"Terimakasih." Ucapnya lembut, aku bisa melihat senyumnya, walau tampak samar karna suasana yang sudah gelap dan hanya di terangi lampu jalanan.

"Bukan apa-apa." Jawabku tak kalah lembut. 
"Tapi aku siap kok mendengarkan kalau kamu ingin berbagi cerita. Masalah akan terasa lebih ringan jika di bagi dengan orang lain lo." Godaku. Sekali lagi Intan tersenyum manja.

"Sebenarnya aku nggak pernah nangis di depan orang... Malu." Akunya.

"Kenapa harus malu? Kalau emang kamu merasa lebih baik nggak apa kok. Lagi pula aku bersedia meminjamkan dadaku jika suatu saat kau memerlukannya lagi." Godaku lagi.

"Doni... Apaan sih." Cibirnya seperti biasa. Yang kubalas dengan tawa. Sehingga cubitan bersarang di pinggangku sebagai balasan kekesalannya.

"Bener nggak mau cerita?" Tanya ku lagi setelah berhasil menghentikan aksi liar Olive.

Dia menerawang, menatap jauh ke ujung lautan seperti mencari sesuatu.

"Aku cuma sedang bingung." Jawab Olive memulai pembicaraan.

"Bingung kenapa? Galau ni ceritanya?" 
"Doni! Kalo becanda lagi, aku nggak jadi cerita." Ancam Olive dengan bibir mendadak maju 5 cm. Membuatku cengengesan melihatnya.

"Ya udah, aku nggak bakalan becanda lagi. Jadi kamu bisa cerita masalah kamu."

Sejenak Olive terdiam, seperti mencari kata yang tepat untuk di ucapkan.

"Bukan masalah besar kok, aku cuma lagi punya masalah sama Reihan."

"Reihan? Siapa?" Tanyaku saat Olive menyebutkan sebuah nama yang terdengar asing di telingaku.

"Pacarku." Ujar Olive singkat.

Bagai di sambar petir di siang bolong, aku hanya membatu, diam dan tanpa suara. 
'Pacar? Apa maksudnya? Jadi selama ini, aku di anggap apa? Lagi pula kenapa dia tak pernah mengatakannya? ' Batin ku kesal.

"Padahal bulan depan kami akan bertunangan, tapi sudah seminggu ini, dia ga ada kabar.."

Jantung ku serasa berhenti berdetak. Untuk percaya dia punya pacar saja aku tak sanggup, bagaimana mungkin aku bisa menerima berita pertunangannya? Ya Tuhan. Terasa berat ujianmu kali ini. Apa aku harus melepaskan dia yang bahkan belum ku genggam?

"Doni...Menurut kamu Reihan kenapa? Apa ada yang lain?" Olive meminta pendapat.
'Bahkan dia tak memberiku waktu untuk bersedih sebentar saja.' Ujarku membatin lagi.

"Eh? Mungkin dia sibuk." Aku kehabisan kata. Karna saat ini, yang kurasa hanya sayatan luka yang di tambah dengan air garam. Perih.

"Ada benarnya mungkin." Gumam Olive lirih.

Ingin rasanya aku berteriak dan memaki agar dia tau betapa cemburunya aku, serta betapa cemburu ini sangat menyiksaku. Tapi aku bisa apa?

Ku sesali kebodohanku yang sudah memperbolehkannya menagis di pelukanku. Memperbolehkannya menangisi orang lain yang seharusnya menjadi musuh besarku.

'Sebegitu besarkah rasa itu untuk pria itu? Apa tak ada sedikitpun celah di hatinya untuk ku? Apa keberadaanku selama ini percuma?' Berjuta pertanyaan menggerogoti otakku, seperti akan menelan habis nervus otak dan merusak sistem persyarafanku.

Meski begitu aku tak bergeming dan tak melakukan apa-apa. Kami hanya terdiam, di tengah riak ombak, semakin larut dalam luka masing-masing.

***

"Dooooonnnniiiiiiiiiiiiiii..." Olive bersorak memanggilku sambil berlari di lorong. Mau tak mau aku membalikkan badan, menatap orang yang sudah membuat hariku berantakan belakangan ini.

"Apa?" Tanyaku dengan wajah datar.

"Ih... Jutek banget sih! Padahal aku ingin berbagi kebahagiaan!" Olive cemberut. Walau begitu, dia tetap terlihat menggemaskan di mataku.

"Tapi berhubung aku lagi senang, aku tetap cerita." Tambah Olive dengan wajah berseri.

"Senang kenapa? Dapat Lotre?" Tanyaku bingung.

Tapi pertanyaan itu menyebabkan cubitan bersarang di pinggangku. Entah kenapa, dia suka melakukan itu. Membuatku meringis menahan sakit.

"Bukannya dapat lotre! Tapi ini." Ujar Olive sembari memperlihatkan jari manisnya yang sudah terpasang cicin berhiaskan permata.

"Kamu udah tunangan?" Aku tercengang, rasa sakit itu datang lagi, bahkan semakin besar. Bagai di pukul mengenakan sarung tinju besi, tepat di hulu hati.

"Belum, baru cincinnya aja. Tunangannya minggu depan."

Olive memainkan cincin di jari manisnya, persis seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. Tak ingin di usik siapapun.

Tapi untuk kali ini, betapapun lucunya dia, aku tak akan tergoda. Karna rasa sakit itu akan semakin membunuhku jika harus di hadapkan dengan fakta bahwa senyum manja itu tak akan lagi untukku.

"Kita makan-makan yuk? Khusus buat hari ini, aku yang traktir." Ajak Olive kemudian dia menarik tanganku agar mengikutinya.

Dia kembali menoleh, saat menyadari bahwa aku tak beranjak sedikitpun.
"Kanapa Don? Kamu sakit?"

Aku menggeleng lemah, entah kemana hilangnya tenagaku yang biasanya.

"Terus kenapa?" Olive tampak sangat mengkhawatirkan ku. Membuatku makin tak rela jika harus melepasnya dan kehilangan semua ini.

"Aku sayang kamu Olive. Aku cinta kamu!"

Kuperhatikan Olive terlihat kaget dan tak mempercayai ucapanku barusan.

"Jujur, aku sayang kamu. Walau kita belum begitu lama kenal, walau kamu nggak pernah nganggap keberadaanku, walau kamu udah punya pacar bahkan tunangan sekalipun. Aku nggak peduli Olive. Aku tetap cinta kamu!"

Entah bagaimana, ucapan itu mengalir begitu saja dari bibirku, sebagai puncak emosiku yang tak dapat tersalurkan.

"Tapi... Aku udah punya Reihan Don." Lirih Olive pada ku.

"Reihan yang selalu bikin kamu nangis? Kapan kamu bisa sadar kalo aku ada Olive? Kapan?" Bentakku tak dapat di hentikan lagi.

"Cukup Don cukup!" Olive meneteskan air matanya, terisak membasahi pipinya yang sekarang tampak pucat.

"Aku bukannya nggak menganggap keberadaan kamu! Hanya saja aku... Aku nggak bisa jadi pacar kamu Don! Aku nggak akan pernah bisa." Balas Olive memaki ku.

Aku mendekatinya pelan, merasa iba terhadap kondisinya sekarang. Tapi aku juga tak sanggup menghadapi semua ini.
Ku usap pelan pipinya, membersihkan sisa air mata yang masih terus mengalir. Sampai Olive menepis tangan ku pelan.

"Cukup Don! Ku mohon jangan buat aku bingung." Dia berlari meninggalkan ku yang masih membisu.

"Aaaarrrccchhhh! Sial!" Makiku sembari meninju dinding, tanpa menghiraukan sedikitpun rasa sakit ataupun darah yang segar yang bercucuran di tanganku.

***
Sudah 3 hari berlalu semenjak kejadian di lorong itu. Dan sudah 3 hari juga aku tidak masuk kerja. Aku juga tidak pernah lagi menjawab telepon ataupun membalas pesan dari Olive, bahkan aku juga sudah berfikir untuk mengundurkan diri dari pekerjaan itu.

Tok...Tok...
Pintu rumah di ketuk pelan, dengan malas ku buka pintu itu dengan tampang lusuh dan acak-acakan.

Tampak sosok seorang gadis berdiri berkacak pinggang di depan pintu.
"Bella?" Ucapku tak percaya.
"Kok kaget gitu?" Tanya cewek itu bingung juga.
"Nggak apa, aku cuma kaget aja. Nggak biasanya kamu kesini. Ada apa?" Tanyaku memburu Bella.

Bella mengeluarkan amplop dari tasnya dan melemparnya ke atas meja. Aku hanya menatapnya tak bersemangat.
Bella adalah sahabat pertamaku di perantauan ini, kami sangat dekat sehingga banyak orang yang terkadang salah paham pada hubungan kami ini.

Padahal kami hanya sebatas sahabat, tak lebih. Karna Bella memiliki cowok yang sangat tampan, juga baik, walau sekarang mereka LDR an, tapi menurut analisaku mereka pasti mampu bertahan.

Aku masih diam, tak ingin membahas hal yang akan di bicarakannya. Kurasa aku terlalu muak untuk itu.

"Itu maksud nya apa Don!" Ujarnya dengan nada tinggi. Aku hanya mengangkat bahu. Sangat tidak berminat.

"Kamu ngundurin diri? Cuma karna cewek kamu jadi ngancurin cita-cita kamu gitu? Halloooooo... Mana doni yang aku kenal? Yang aku lihat disini cuma PECUNDANG!"

Walau ucapan Bella menyakitkan hati, tapi aku tak menyangkal, karna kurasa yang dikatakannya benar.
'Ini karna Olive! Dia yang mengubahku jadi begini!' Pikirku tanpa berani mengucapkannya.

"Doni?" Kali ini Bella bicara dengan nada lembut.
Aku menengadah menatapnya, entah ekspresi dia atau aku yang lebih mengiba saat itu. Membuat kami diam dalam keheningan.

"Sekarang aku tanya, kamu yakin mau berhenti?" Bella menatapku lekat, seperti mencari jawaban dari sorot mataku.

"Ini adalah hal yang kamu inginkan Don. Kamu rela ngelepas semuanya gitu aja?"

"Aku nggak tau Bell. Aku nggak tau mau apa sekarang." Ucapku terdengar putus asa.

"Doni?" Bella menatap iba sosok ku yang lusuh dan berantakan.

"Kamu pernah bilang ke aku bahwa merelakan bukan berarti menyerah, tapi lebih kepada menyadari dan menerima ada hal-hal yang tak bisa di paksakan. Aku nggak akan maksain kamu? Karna aku yakin kamu pasti tau mana yang terbaik. Aku percaya sama kamu. Tapi kalau memang kamu harus menyerah sekarang, aku bisa apa? Walau rasa kecewa itu ada." Ujar Bella lirih.

Aku tersenyum menatap Bella. Dia menyadarkanku tentang resiko di setiap tindakan.

"Kamu yang terbaik." Ucapku yang di sambut senyuman Bella.

'Aku harus terima setiap resiko. Dan aku siap!' Tekatku membulat.
***

Sore itu aku duduk termenung di atas batu yang sering di duduki Olive, sembari menatap kosong ke arah langit, berharap keajaiban akan turun dari atas sana.

"Seseorang pernah memberikan sebuah mantra padaku, dia bilang tatap lah langit dan ceritakan setiap masalahmu padanya, maka masalah mu itu akan hilang, seiring dengan tenggelamnya matahari dan semangatmu akan kembali tumbuh seperti terbitnya matahari esok." Ucap seseorang yang sangat ku kenal.

Dia duduk di sebelahku. Seperti menunggu aku untuk angkat bicara, tapi nyatanya tiada kata yang terucap di sana.

"Kamu kemana aja Don? Bahkan telpon dan sms ku pun tak kau gubris." Tanya dia akhirnya.

Aku masih terdiam. Bibirku terasa berat untuk kugunakan bicara.

"Aku nggak mau kamu cuekin aku begini Don. Aku mau kamu balik kayak dulu lagi. Aku mau kamu jadi Doni yang perhatian, Doni yang selalu ada buat aku, Doni yang nggak pernah lari dari masalah, Doni yang bikak, Doni yang tegar. Doni yang kuat." Olive menghentikan ucapannya sebentar.

"Aku mau kamu jadi Doni yang sayang sama aku." Tambahnya, membuatku menatapnya untuk pertamakali.

"Kenapa?" Tanyaku tanpa ekspresi.

"Karna... Karna aku juga sayang sama kamu." Gumamnya pelan.

"Bohooong." Jawabku ketus.

"Serius, aku gak bohong?"

"Lalu Reihan?" Pertanyaanku membuat Olive terdiam.

"Aku juga sayang Reihan. Hanya saja, aku tak bisa memilih satu di antara kalian. Seandainya aku belum punya pacar..." Ujar dia akhirnya.

"Ah sudahlah, jangan buat aku berharap."

"Kamu juga jangan buat aku berharap Don!"

"Kenapa kamu harus berharap sama aku? Kamu sudah punya pacar." Jawabku yang semakin terbawa suasana.

Lama kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Tak apa Olive. Karna aku tak akan membuat kamu bingung lagi.... Dan mulai besok kita tidak akan menyiar bersama lagi, karna Bu Linda sudah menyetujui surat pengunduran diriku."

Aku berdiri dan siap untuk melangkah pergi. Tapi Olive menahanku. Dia mengenggam tanganku erat.

"Doni..." Panggilnya nyaris tak terdengar.
"Ku mohon Olive! Jangan buat aku menjadi pecundang lebih dari ini. Karna seberapa keraspun usahaku tiada artinya. Memang seperti ini Olive, dari awal semuanya memang harus begini." Ucapku Lirih namun tegas.

Aku mengusap lembut pipinya. Menghapus air mata yang ada di sana.
"Ini mungkin yang terakhir kalinya... Namun percayalah bahwa aku akan mencintaimu selamanya, walau selamanya kamu tak kan pernah kumiliki. Biarlah ku simpan Rasa ini, agar tetap terbingkai indah dengan kenangan yang tak kan terulang. Aku rela melepasmu jika memang dia yang terbaik. Ini semua bukan karena aku tak peduli tapi karna matahari tetaplah matahari yang harus tenggelam demi sebuah kebahagiaan, dan keindahan malam."

Ku turunkan tanganku, dan ku lepas genggaman Olive. Seiring bergantinya matahari dengan bulan, menemani bayangku yang makin menjauh. Matahari mungkin tenggelam dan di gantikan indahnya kerlap kelip bintang juga bulan. Tapi percayalah, matahari akan selalu ada, terus menjaga dan mengawasi setiap mimpi mu. Begitu juga aku...

Because i'm Your Sun...

- END -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar