Follow

Selasa, 14 November 2017

Ini Hanya Masalah Waktu - Karya Lindsay 'Lov

Drrttt ... drrrttt ...

Kurasakan ponselku bergetar di dalam saku celana. Saat ini aku sedang berada di ruang praktikum dan guru Biologi sedang disibukkan oleh sekelompok murid perempuan di meja depan. Jadi aku bisa membuka ponsel untuk sekedar tahu siapa yang sedang menghubungiku. Lagi pula, siapa tahu itu panggilan penting, pikirku. Namun saat kulihat nama yang tertera di layar ponsel, mukaku langsung memanas karena kesal. Bisa-bisanya aku lupa dan kembali terjebak!

“Ck! Sialan!” makiku seraya kembali menenggelamkan ponselku ke dalam saku celana.

“Pastii Miskol anjir itu!” maki Rafa yang berada di sampingku.

“Tuh anak gak ada kapoknya! Padahal baru aja gue hajar!” kali ini Erzi yang berkomentar.

“Pingin masuk rumah sakit, barangkali,” Jojo, ketua kelompok kami yang biasanya pendiam, tiba-tiba berkomentar. Kami jadi menoleh ke arahnya.

Menyadari semua memandangnya, membuat Jo menyeringai seraya mengangkat tangan. “Jangan salah paham, guys! Gue hanya kesal karena kemaren malam gak bisa tidur gegara si kampret itu miskol-miskol terus.”

“Kenapa gak lo telepon gue? Biar kita beri sekali tuh anak!” geram Erzi yang langsung dianggukin semua orang.

Jadi begitulah akhirnya. Beberapa waktu berikutnya, aku dan kelompok praktikumku hari itu jadi lebih banyak memperbincangkan teman satu sekolah kami itu dari pada melakukan praktek biologi yang sadis; membelah perut katak! Bahkan beberapa anak kelompok lain ikut bergabung setelah jam praktikum usai. Seperti sebuah konferensi meja bundar, semua yang hadir duduk melingkar dengan rapi dan mengajukan keluhan yang ternyata sama. Terganggu oleh ulah si Miskol! 
Si Miskol itu, sebenarnya namanya Yudi. Yudi Pramudiansah lengkapnya. Perawakan biasa seperti kebanyakan murid SMU. Ayahnya seorang pejabat, sementara Ibunya memiliki beberapa mini market. Yudi punya tiga orang kakak dan seorang adik. Kakak-kakaknya adalah orang-orang hebat. Ada yang menjadi dokter, polisi, dan pengacara. Sementara adiknya masih duduk di bangku SMP.

Meski lahir dari keluarga berada, Yudi bukan anak yang sombong. Ia ramah dan menegur siapa saja yang melintas di depannya. Ia juga mendekati beberapa murid untuk berteman. Sayangnya, tidak ada yang mau menjadi teman akrabnya. Bukan karena dia angkuh atau semena-mena dengan murid yang tak selevel dengannya, melainkan ini anak ternyata sakit jiwa!

Oke! Itu hanya sebutanku saja. Sakit jiwa di sini bukan seperti orang gila yang tertawa tanpa jelas atau menangis tanpa sebab. Ini tentang sebuah kebiasaan atau hobi atau apa pun namanya, namun sangat mengesalkan. Iya, Yudi suka melakukan misscall ke ponsel kami dengan sengaja. Seperti memakai sistem random, tuh anak menelepon siapa saja tanpa pandang bulu. Nomor ponselku, Rafa, Erzi, Cindy, Nanda, pokoknya semua nomor telepon yang tersimpan di ponselnya, pasti pernah di-misscall-nya. Entah apa maksudnya melakukan itu. Iseng? Wah! Itu namanya keterlaluan!

Atau mungkin juga kesal karena tidak ada yang mau berteman dengannya? Jadi sebagai pelarian, Yudi memilih mengganggu kami dengan misscall-misscall yang dilakukannya? Itu juga keterlaluan! Terlebih tuh anak misscal tanpa melihat-lihat waktu. Siang, malam, kapanpun yang diinginkannya. Entah itu saat kami berada di sekolah, sedang ujian, atau ketika sudah berada di rumah. Aku pernah ditegur guru yang sedang memberi pengarahan atau terbangun jam tiga pagi gara-gara ponselku berdering. Yudi benar-benar mengganggu seperti hama. Melaporkan Yudi ke guru, juga percuma. Karena guru hanya bisa menegur, tanpa bisa menghentikan perbuatan Yudi. Itulah mengapa sekarang aku dan kebanyakan teman di sekolah akhirnya menukar nada dering ponsel menjadi getar saja agar tak terdengar.

Alih-alih berharap tidak ada suara deringan yang mengganggu, getaran ponsel di saku kadang membuat kaget. Belum lagi beberapa teman yang lain, yang mungkin lupa atau tidak suka menukar-nukar dering hape, pasti akan kena teror Yudi dan akhirnya memecah konsentrasi belajar. Guru yang sedang mengajar jadi sering marah ke murid yang ponselnya krangkring-krangkring di dalam kelas. Hingga beberapa guru melarang kami membawa ponsel ke sekolah.

Tapi uniknya, di antara semua yang merasa terganggu, ternyata beberapa murid justru memanfaatkan ulah Yudi untuk memamerkan nada dering yang mereka ambil dari mp3. Mereka jadi sering menukar-nukar nada dering dengan lagu-lagu kesukaan mereka dan menikmatinya. Ckck! Jadi sama anehnya dengan si Yudi, kan?

Di lain saat, cara kasar pernah terjadi. Erzi dan gengnya, sempat menghajar Yudi. Tuh anak memang meminta maaf karena keisengannya dan berjanji untuk tidak mengganggu lagi. Tetapi janjinya hanya bertahan dua hari. Hari ketiga, ponsel-ponsel kami kembali berdering dan bergetar secara bergantian. Bahkan yang lebih parahnya, Yudi mulai mengganggu pegawai sekolah dan guru-guru. Berkali-kali ia ditegur, dimarahi, dihukum dan ponselnya disita guru. Namun tetap saja hari berikutnya, ponsel-ponsel kami lagi-lagi kembali berdering.

“Sebenarnya apa maksud lo, Yud? Lo pingin digebukin sama satu sekolah?” ancamku suatu hari. Aku sengaja menemui tuh anak karena kesabaranku sudah hampir habis. Tapi Yudi menanggapiku sambil nyengir.

“Kalo emang itu jalan keluarnya, why not?” jawabnya balik bertanya.

Aku memandang heran. “Jalan keluar apa? Lo ada masalah?”

Yudi angkat bahu. “Gue sedang memperjuangkan hidup gue, bro!”

Aku melongo. Ternyata Yudi memang sakit jiwa. Tuh anak sengaja melakukan semua ini agar dikeluarkan dari sekolah. Alasan yang sepele. Yudi tak ingin sekolah. Dia hanya tertarik bermain musik. Tapi kedua orangtuanya memaksanya untuk terus ke sekolah. Dan sialnya, Ayah Yudi adalah donatur utama sekolah kami. Mau tak mau, guru atau siapapun tidak ada yang bisa mengeluarkan Yudi dari sekolah. Ini benar-benar rumit dan mengesalkan! Apalagi setelah Yudi mengatakan akan tetap berbuat onar sampai titik darah terakhirnya.

Namun hari ini ada yang berbeda. Yudi tidak datang ke sekolah karena demam. Ponselku belum berdering semenjak pagi. Ponsel teman-temanku juga. Asli, semua merasa senang dan lega karena hari ini tidak ada gangguan sama sekali. Bahkan setelah usai jam sekolah, tidak ada satu misscall pun dari Yudi. Esoknya juga. Tuh anak masih tidak bisa hadir. Ponsel-ponsel kami semuanya tenang dan aman dari gangguan. Hari ke tiga, beberapa anak mulai bertanya-tanya, mengapa Yudi masih belum datang ke sekolah. Tapi tidak ada yang bisa menjawabnya. Hingga hari ke empat, aku dan beberapa teman, termasuk Rafa dan Erzi datang ke rumah Yudi sepulang dari sekolah. Sayangnya, kami hanya diterima oleh sekuriti. Itu pun di balik gerbang rumahnya yang tinggi. Informasi yang kami dapat, Yudi masih sakit dan tidak ingin bertemu dengan siapapun. Hari ke lima, keanehan mulai terjadi. Beberapa murid merasa kehilangan dengan ketidak hadiran Yudi di sekolah. Terutama murid-murid perempuan. Hari ke enam, para murid perempuan bukan hanya ingin Yudi kembali ke sekolah, tetapi mereka juga ingin kembali di misscall si Miskol!

Hari ke tujuh, aku sedang berada di perpustakaan ketika kudengar ada yang berteriak kalau Yudi datang ke sekolah. Dan bagaikan magnit, semua murid meninggalkan tempatnya berada saat itu, dan berlari mendatangi Yudi. Mereka berbondong-bondong masuk ke kelas, menyapa, menyalami, dan menepuk-nepuk pundak Yudi sambil mengungkapkan perasaan gembira karena Yudi akhirnya kembali bersekolah. Sementara Yudi tampak terharu menyaksikan betapa banyak yang merindukannya. Lalu dengan senyuman lebar, ia mengeluarkan sebuah pistol dari dalam tasnya, dan menembak kami semua dengan membabibuta!

*

Seorang polisi membuka pintu dan melihat ke arahku. “Kau adalah tamu pertamanya!”

Aku tersenyum tipis. Kurasa, aku harus bersyukur karena akhirnya Yudi mau menerima tamu. Akibat penembakan brutal Yudi empat bulan yang lalu, tujuh orang murid tewas di tempat, yang lainnya luka berat dan masih dirawat di rumah sakit. Yudi sendiri dihukum penjara selama lima belas tahun. Kudengar, Yudi tidak mau menerima siapapun yang datang mengunjunginya. Bahkan orangtua atau saudara-saudaranya.

“Erik my bro! Akhirnya lo datang juga!” kulihat Yudi dikawal dua polisi ketika melewati sebuah pintu besi.

“Yudi my bro! Gimana kabar lo?” tanyaku tersenyum. Yudi yang kedua tangannya terborgol, didudukkan di hadapanku. Meja kami bersekat dinding dari kaca yang tebal. Kami bicara melaui lobang-lobang kecil di kaca tersebut.

Yudi nyengir. “Lo lihat sendiri, akhirnya gue gak sekolah! Hahahah!”

Aku mengangguk. “Benar, akhirnya gak ada yang memaksa lo harus ke sekolah lagi sekarang.”

“Lo emang keren, bro! Lo bilang, suatu hari kakak gue pasti akan lengah hingga gue bisa mengambil pistolnya!” bisik Yudi terkekeh. Lalu tiba-tiba wajahnya mengeruh. “Tapi sekarang gue dipaksa minum obat dan menghadiri terapi kejiwaan seolah gue sedang sakit jiwa!”

“Itu bukan masalah besar, bro! Seperti yang pernah lo alami sebelumnya, suatu hari salah satu penjaga itu juga akan lengah.”

“Ah, lo benar! Ini hanya masalah waktu, ya?”

“Tepat, bro. Ini hanya masalah waktu,” ucapku tersenyum lebar.

-end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar