Follow

Selasa, 14 November 2017

Die Sonne Noch Scheint(1) - Karya Lindsay 'Lov

Pagi itu, Sonne, gadis berusia enam belas tahun itu, bangun dengan tubuh lelah, sakit dan penuh lebam. Namun sebenarnya, hatinya lebih terasa sakit dan hancur, melebihi nista apapun di muka bumi ini. Dengan sekuat tenaga, ia menyeret langkahnya menuju lemari di sudut kamar. Di pintu lemari itu, ada cermin yang cukup besar, mampu memuat hampir seluruh bayangan dirinya. Rambut coklatnya yang panjang tampak kusut, dibiarkannya saja tak beraturan. Di cermin lemarinya, ia melihat memar-memar pada wajah dan hampir di sekujur tubuhnya. Matanya bengkak dan sembab. Tadi malam ... adalah malam jahanam. Air matanya mengering sudah.

Dan masih dengan hati yang pilu, Sonne keluar dari kamar langsung menuju dapur. Ia adalah anak perempuan. Satu-satunya perempuan di rumahnya. Meski tidak pernah mendapatkan didikan tentang memasak, tetapi ia harus bangun pagi setiap hari dan menyiapkan sarapan. Apa yang pernah diingatnya, yang pernah dimakannya, dan yang paling mudah dilakukan adalah menggoreng bacon dan telur. Lagi pula, hanya itu yang ada di dalam lemari pendingin. Sementara, di ruang makan, tiga orang lelaki berteriak kasar menyuruhnya segera membawakan sarapan untuk mereka. Seperti kanak-kanak, mereka memukul-mukul piring dengan sendok, hingga mengeluarkan suara yang amat berisik. Tetapi Sonne sudah terbiasa mendengarnya setiap kali ia terlambat bangun. Makanya ia mengabaikan saja serangkaian makian yang masuk ke telinganya tersebut. Dengan perlahan, ia membuka laci lemari dapur dan mengambil pisau. Bacon dingin yang juga baru dikeluarkannya dari lemari es, terasa membekukan genggamannya. Namun, belum sempat ia mengiris daging tersebut, tahu-tahu salah seorang dari ketiga laki-laki di meja makan, sudah berdiri di belakangnya. Hans!

"Hey, dummes Mädchen(2)! Kau sebenarnya sedang masak atau tidur?" suara Hans terdengar kesal. Namun Sonne tak menanggapi. Ia mulai mengiris daging mentah di hadapannya.

"Damn! Kalau aku sedang ngomong, kau harus melihat ke arahku, faulenzer(3)!" teriak Hans marah. Tangannya meraih bahu Sonne dengan kasar dan membalikkan tubuh gadis itu ke arahnya dengan sekali sentak. Beberapa detik kemudian, matanya melotot melihat darah yang muncrat dari dadanya.

"Kau …." ucapnya memucat menyadari Sonne telah menikamkan pisau dapur tepat ke jantungnya. Tak sampai semenit, Hans roboh ke lantai. Sonne berjongkok dan mencabut pisau yang masih menancap di dada pemuda tersebut. Ia mengamati wajah Hans dengan seksama sambil memeriksa denyut nadi di leher kakak laki-laki keduanya tersebut.

Saat yang sama, suara Rudger, kakak pertamanya terdengar dari belakangnya.

"Sonne! Apa yang kau lakukan terhadap Hans?" tanyanya
melangkah mendekat. Sonne langsung berdiri dan berbalik. Lalu secepat kilat dihunuskannya pisaunya ke perut Rudger. Pemuda itu terkejut. Terlebih ketika Sonne mencabut pisaunya dan menghunuskannya kembali ke perutnya hingga berkali-kali. Tanpa sempat mengatakan apapun, Rudger roboh di atas darahnya yang mulai menggenangi lantai.

Lalu Sonne melangkah ke ruang makan, di mana Heinrich, ayahnya, sedang menunggu sarapannya. Setidaknya, begitulah yang dipikirkannya. Tetapi ia salah. Laki-laki bertubuh besar itu sudah bangkit dari kursinya dan langsung menyergap Sonne tanpa ampun. Gerakannya yang cepat dan bringas, persis seperti hewan yang sedang menyergap mangsa. Sergapan tubuh besar itu membuat Sonne jatuh terjengkang ke lantai. Sesaat gadis itu merasa dunianya bagai runtuh. Lalu ketika Heinrich meninju mukanya dengan ganas, Sonne tersadar tepat saat pria besar yang menindih tubuhnya berusaha merebut pisau dari tangannya.

"Dasar kau teufel kind(4)! Harusnya kubunuh saja kau sejak dulu!" desis Heinrich marah. Bau alkohol murahan menyeruak dari mulutnya, membuat Sonne mual. Dan tenaga ayahnya yang besar membuat gadis itu tak mampu melawan. Pisau berhasil berpindah tangan. Tepat ketika pria itu hendak menikam dada Sonne, mendadak Stern keluar dari kamar dan menerjang ayah mereka hingga tersungkur ke samping dengan pisau terhempas ke lantai. Heinrich terkejut untuk beberapa detik. Lalu keduanya saling menerkam dan terlibat pergumulan hebat sambil memperebutkan pisau yang masih berdarah tersebut.

Stern beruntung. Kondisi Heinrich yang setengah mabuk
membuatnya berhasil menguasai pisau. Lalu dengan sekuat tenaga ditikamnya dada sebelah kiri ayahnya. Pria itu melolong keras, meninju Stern dan merampas pisau lalu berbalik menusuk pemuda tersebut.

Sonne menjerit marah dengan suara sumbang. Diraihnya guci besar milik ibunya dan dihantamkannya ke kepala ayahnya berkali-kali hingga guci itu pecah berkeping-keping. Darah mengalir deras dari kepala Heinrich dan akhirnya pria tersebut roboh seraya menghembuskan nafas terakhirnya.

"Sonne, meine Schwester(5) …"

Sonne segera memeluk Stern. Dibekapnya perut kakaknya untuk menahan darah keluar.

"Kau aman sekarang, Sonne," bisik Stern sambil menahan sakit. Rasa panas dan perih, mulai membuat tubuhnya kaku. Digenggamnya tangan Sonne dengan erat. Gadis berambut coklat itu menangis. Ingin sekali ia mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tidak keluar. Hanya air matanya yang mengalir deras seperti anak sungai.

"Sonne, jangan menangis. Aku pantas mendapatkan ini," ucap Stern terbata-bata. "Kami semua pantas mati."
Sonne menggeleng keras, menerbangkan airmatanya kemana-mana.

"Sonne, dengar! Aku … minta maaf karena tidak membawamu keluar dari neraka ini sejak dulu. Kau adalah adik kandungku satu-satunya. Tetapi aku terlalu pengecut untuk membelamu. Aku ... aku tahu ayah tiri kita dan anak-anaknya telah memperkosamu," Stern menatap adiknya engan pandangan mulai meredup. "Tapi sekarang kau aman, adikku. Cepat ... cepat kau buka semua laci lemari, dan bongkar isinya. Lalu ...," Stern menekan perutnya yang mulai terasa keram. "Lalu bersembunyilah di kamar mandi. Kunci. Jangan keluar sebelum polisi mendobraknya. Adikku ... semua akan baik-baik saja setelah ini. Aku janji."

Sonne menggeleng. Matanya mengabur oleh air mata. Ia sangat menyayangi Stern, meski kakaknya tersebut tidak mampu melindunginya. Ia sangat mencintai Stern, dan tak ingin kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya.

"Ayo cepat lakukan yang kubilang tadi!" Stern menolak Sonne sampai adiknya tersungkur ke belakang.

***

Beberapa jam kemudian, Polizeilinie(6) sudah mengurung rumah besar milik seorang mantan pengusaha restoran cepat saji, Adeline Sofea Wagner, di pusat kota Rheinland-Pfalz, Jerman Barat tersebut. Bukan hal aneh lagi saat tindak kejahatan yang disertai kekerasan hingga pembunuhan, terjadi di kota besar seperti Rheinland-Pfalz. Kadang, perampokan, kecemburuan sosial, sampai balas dendam, sering menjadi alasan orang-orang tak bertanggung jawab untuk melakukan tindak kriminal. Dan yang terlihat kini adalah beberapa polisi berseragam, detektif dan paramedis tampak hilir mudik mencari bukti-bukti kekerasan yang telah terjadi di rumah janda Wagner yang sebelum menikah dengan Heinrich Baldwen, telah memiliki dua orang anak tersebut. Tentang apa tragedi berdarah itu sebenarnya, masih misterius. Namun dugaan sementara polisi adalah faktor balas dendam yang disertai perampokan. Disinyalir, pelaku berjumlah lebih dari seorang, datang dan membunuh semua penghuni rumah tersebut, kecuali Sonne Hannelora Wagner, seorang gadis bisu yang selamat karena sempat mengunci diri di kamar mandi. Paramedis sudah membawa gadis tersebut ke ambulans untuk mendapatkan pertolongan pertama pada luka-luka di wajahnya.
"Aku senang mereka semua mati!" terdengar sebuah suara dari kerumunan orang di depan rumah bercat putih itu, yang berdesak-desakan ingin menyaksikan apa yang telah terjadi.

“Kenapa?” sambut orang yang berdiri di sebelahnya, tanpa menoleh. Tampaknya ia tak ingin melewatkan saat beberapa paramedis membawa kantung-kantung mayat berwarna orange, keluar dari rumah tersebut.

"Aku sering melihat ayah tiri serta kedua anak lelakinya memukuli gadis bisu itu sampai babak belur, semenjak Adeline, ibu gadis itu meninggal dunia setahun yang lalu. Sungguh gadis yang malang."

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar