Follow

Selasa, 14 November 2017

The Black Rose (18+) - Karya Ananda Nizzma

Perhatian!
Cerpen ini mengandung materi dewasa, mohon kebijaksanaanya dalam menyikapi isi dari cerita ini.

Sesak dan gelap. Itu yang kurasakan ketika membuka mataku untuk pertama kali malam ini, lalu seolah sedang berlomba, rasa sakit itu datang bertubi-tubi menyerang di seluruh tubuhku. Aku tidak kaget, ini sudah biasa untukku. Kusingkirkan lengan berbulu itu dari leherku dan butuh usaha keras agar paru-paruku bisa kembali bekerja tanpa rasa sakit yang menyengat. Kuraih gaun malamku dan bersyukur karena malam ini bajingan tua itu tidak merobek gaunku lagi. Secepat mungkin kupakai gaun berwarna merah yang seksi tersebut, berharap bilur-bilur lebam di tubuhku tidak cukup parah dan menyembul dari potongan bahan mini yang menutupi tubuhku.

Sial! Sakit di bawah perutku terasa ngilu saat berjalan. Bajingan itu sudah ‘bermain’ sangat keras tadi, dan sepertinya ia harus membayar lebih untuk itu. Aku kembali tertatih mendekati ranjang mewah yang sudah tidak karuan dan berantakan, di atasnya sebuah tubuh pria botak, gendut dan telanjang sedang berbaring telungkup. Ia tertidur pulas karena kelelahan dan efek alkohol yang dikonsumsinya sebelum ‘aerobik’ tadi. Aku meraih celana panjangnya yang tergeletak di lantai, di tepi tempat tidur, dan meraba-raba untuk menemukan dompetnya.

Tanpa sadar aku menyeringai, bajingan tua yang kaya raya! Aku mengambil semua uang yang ada di dompetnya dan melempar benda kulit mahal itu begitu saja. Toh dia pasti masih punya uang banyak hasil dari memakan uang rakyat. Pejabat seperti dia harusnya dihukum mati saja, dengusku dalam hati.

Lalu, bagaimana denganku? Bukankah aku juga sering dianggap sampah masyarakat?! Batinku mulai berkata dengan sinis.

Aku melemparkan diriku pada seonggok kasur busa yang sudah mulai menipis, mataku menatap nyalang pada langit-langit yang sudah mulai menghitam dan bocor kalau musim penghujan tiba. Ini seperti rumah bagiku, tepatnya setelah aku meninggalkan kampung halamanku dan bersikeras merantau ke Jakarta untuk mencari sang kekasih hati yang tak kunjung pulang tanpa kabar. Dia seperti hilang ditelan bumi, sekuat tenaga aku mencari ke sana ke mari selama berhari-hari seperti orang gila. Tapi, menemukan seseorang tanpa petunjuk di Ibukota sama saja seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Aku kehabisan uang, tidak punya tempat tinggal, tak ada pekerjaan untuk orang desa yang tidak punya ijazah sepertiku. Sampai suatu ketika ada seorang bapak yang menawariku pekerjaan sebagai pembantu, aku sangat senang sekali ketika itu, tapi ternyata aku hanya dijadikan budak nafsunya belaka. Aku marah, menyesal, dan merasa jijik pada diriku sendiri. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak punya alasan untuk kembali ke kampung karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di sana. Akhirnya, terpaksa jalan gelap inilah yang memberiku makan, dan juga mereka.

Mengingat mereka membuat hatiku sedikit ringan, anak-anak jalanan yang selama ini aku asuh dan beri tempat tinggal yang layak di pinggiran kota sana. Aku tidak mau mereka tahu apa pekerjaanku, dan melihat bagaimana kacaunya hidupku. Aku hanya ingin membuat mereka bahagia, setidaknya dengan begitu, aku merasa hidupku sedikit berguna.
***

Jalan ini masih jalan yang sama, hampir setiap hari aku melewati jalan ini, tapi ada sesuatu yang berbeda hari ini. Aku merasa ada yang mengikutiku, tapi aku tidak melihat apapun ketika menengok ke belakang. Ah, mungkin perasaanku saja. Tapi, tanpa sadar aku sudah mempercepat langkah kakiku. Rasa lega luar biasa membanjiriku ketika akhirnya aku sampai di sebuah rumah sederhana yang menjadi tujuanku, terlebih ketika melihat anak-anak itu berlari menyambutku, atau barang bawaanku, mungkin. Aku tidak peduli, aku sudah sangat senang bisa melihat mereka hari ini.

“Kak Mawar!” teriak Azriel, bocah berusia 7 tahun yang langsung berlari menubrukku sampai aku nyaris terhuyung.

Aku tertawa, bukan tawa palsu seperti ketika bersama klienku yang berusaha membuat lelucon garing di depanku, tapi tawa bahagia dari dalam hatiku. Andai aku bisa menjadi anak kecil kembali yang tidak perlu memikirkan apapun. Aku merindukan masa-masa kecilku yang sering mandi di sungai dan tersesat di hutan ketika sedang bermain petak umpet dengannya, kekasih hatiku. Aku sangat bahagia waktu itu, tidak seperti sekarang …

“Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Bu Netta, orang yang selama ini aku tugasi untuk mengurus rumah dan anak-anak selama aku tidak berada di sana. Beliau tidak punya keluarga, sehingga dengan senang hati menerima tawaranku tanpa meminta bayaran apapun, meskipun aku bersikeras ingin menggajinya secara normal karena aku mampu. Tapi, wanita lembut itu hanya tersenyum dan menggeleng penuh kehangatan, mungkin ia tidak mau menerima uang haram dariku, karena hanya pada beliau aku menceritakan apa pekerjaanku yang sebenarnya.

Aku mengangguk dan berusaha tersenyum sewajar mungkin, tapi aku tahu, tidak ada yang bisa kusembunyikan darinya.

“Kau mendapat pelanggan kurang ajar lagi?” tanya Bu Netta lagi, tanpa bermaksud mencampuri urusanku. Ia hanya khawatir, sama seperti perhatiannya pada anak kandung yang tidak dimilikinya dan aku sangat menikmati perhatiannya padaku.

“Hanya sedikit,” jawabku pelan, yah, sedikit kelewatan sebenarnya.

Bu Netta tersenyum prihatin, dan mengelus kepalaku lembut. Rasanya nyaman sekali, seperti belaian ibu kandungku sendiri. “Mungkin sudah saatnya kamu berhenti, Nak,” ujarnya tanpa nada memerintah sama sekali.

Aku menggeleng samar, “Aku akan berhenti, Bu, tapi tidak sekarang. Mereka masih membutuhkan aku.” Tatapanku jatuh pada anak-anak yang sedang berebut makanan yang kubawa di ruang tengah, sesekali Azriel menegur anak yang mengambil terlalu banyak. Anak itu memang sangat cerdas dan berjiwa pemimpin, mungkin dia bisa menjadi pemimpin yang jujur dan adil suatu saat nanti, sesuatu yang sangat sulit ditemukan di jaman sekarang, tidak seperti bajingan tua itu. Sayang sekali nasib tidak berpihak padanya dan padaku …

“Kita bisa mencari usaha lain. Ibu bisa membuat kue, menjahit atau mencuci pakaian tetangga misalnya,” usul Bu Netta dengan mata berbinar.

Aku tahu Bu Netta serius dengan ucapannya, tapi beliau sudah tua, mengurus rumah dan anak-anak saja sudah pasti sangat melelahkan, aku tidak ingin membebaninya dengan tugas yang lebih berat lagi. Lagipula, hasil jualan tidak akan seberapa, anak-anak itu butuh banyak biaya untuk sekolah dan makan sehari-hari. Aku tidak akan berhenti sekarang!

“Aku pergi dulu, Bu,” pamitku sopan, kucium tangannya dengan takjim, dan seperti biasanya, beliau akan mendoakan yang terbaik untukku. Ya, itu sudah cukup untukku, Bu. Doa dari orang baik, karena aku yakin doaku tidak akan diterima.

Perasaan aneh itu lagi, aku harus segera pergi dari sini, ada klien penting malam ini. Pria yang mengaku sebagai salah satu anggota di kursi pemerintahan yang terhormat. Cih, rasanya ingin sekali aku menyeretnya ke hadapan rakyat dan berkata kalau kita tidak butuh pejabat tidak berakhlak seperti mereka. Mengingat hal itu, gigiku gemelutuk menahan marah. Apa bedanya aku dengan mereka? Kalau mereka memakan uang rakyat hasil korupsi, lalu mereka membayarku dengan uang itu setelah menikmati tubuhku. Aku bahkan jauh lebih buruk dari mereka, rutukku dalam hati.

Tiba-tiba aku merasakan tanganku ditarik oleh seseorang, aku terkejut dan berusaha meronta, kupukulkan tas tanganku keras-keras ke kepala pria itu. Dia mengaduh kesakitan sambil berusaha melindungi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ini kesempatanku untuk kabur, tapi langkahku terhenti ketika mendengar suaranya memanggilku.

“Mawar, ini aku.” Suara itu …

Setengah sadar aku berbalik, mataku terbelalak ketika melihat siapa pria yang sekarang berdiri di hadapanku. Ini seperti mimpi, mimpi yang menjadi nyata. Dia yang selama bertahun-tahun ini aku cari akhirnya bisa kutemukan, dia belum berubah. Wajahnya masih tampan, hanya sedikit bertambah dewasa dan semakin kurus.

“Mas Rama,” bisikku lirih, seakan untuk meyakinkan diriku sendiri kalau itu memang dia, kekasih hatiku.

Pria itu tersenyum lagi, memamerkan lesung pipinya yang manis. Matanya bersinar penuh kerinduan, dan itu membuatku ingin melompat ke pelukannya. “Ternyata benar ini kau, sejak tadi aku mengikutimu. Aku sangat terkejut ketika tidak sengaja melihatmu di jalan tadi, jadi aku mengikutimu sampai ke rumah itu. Aku sangat senang bisa melihatmu, kau masih sama, Mawar yang polos dan baik hati yang aku kenal dulu.”

Aku tertegun, ‘Polos dan baik hati? Apakah Rama akan bilang begitu kalau ia sudah tahu pekerjaanku?!’ dalam hati aku mulai menyalahkan keadaan, kenapa aku bertemu dengannya di saat semuanya sudah terlambat? Saat aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk kuberikan padanya.

“Aku menelepon Indra dan dia bilang kalau kau menyusulku ke mari setahun setelah keberangkatanku ke Ibukota. Aku sangat mengkhawatirkanmu, aku takut terjadi apa-apa padamu. Aku berusaha mencarimu ke mana-mana tapi tidak ketemu, aku hampir putus asa. Jakarta ini kejam, tapi aku lega melihatmu sekarang, sepertinya kau baik-baik saja,” cecarnya dengan nada hangatnya yang biasa.

‘Baik-baik saja?! Apa aku baik-baik saja? Tidak sama sekali, aku tidak baik. Aku hancur! Aku sampah!’ batinku terus menjerit tanpa sanggup aku keluarkan, hanya air mataku yang mengalir perlahan sebagai tanda ketidak berdayaanku.

“Mawar, kau kenapa?” tanya Rama cemas, ia segera menghampiriku tapi aku segera menahannya.

“Berhenti! Jangan mendekat!” bentakku kasar.

Rama menghentikan langkahnya dengan bingung. Ia menatapku tajam, seolah sedang mencari jawaban atas tindakanku barusan di mataku.

Jangan menatapku seperti itu, aku bisa luluh dan berlari memelukmu sekarang juga, batinku mengeluh.

“Aku bukan Mawar yang dulu lagi, semuanya sudah berubah sejak kau meninggalkanku. Jadi, jangan pernah mencoba untuk mendekatiku lagi, Mas,” ucapku kasar.

“Apa … kau sudah punya pacar atau mungkin … suami?” tanyanya ragu.

Bagaimana mungkin aku bisa berpacaran bahkan menikah dengan orang lain kalau hanya kamu yang ada di pikiranku? Tidak! Tapi, mungkin akan lebih baik kalau dia memang berpikir begitu, karena aku tidak akan bisa kembali padanya dalam keadaan seperti ini. Aku kotor, rusak dan sampah!

“Ya,” ucapku pahit, “aku sudah menikah.”

Rama tampak sangat terkejut dan sekilas aku bisa melihat kekecewaan dalam manik mata hitam pekatnya yang bening, namun berusaha ia sembunyikan dalam senyuman. “Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau sudah … menikah.” ia terlihat sangat sulit untuk mengucapkan kata terakhir itu.

“Selamat atas pernikahanmu. Hmm, ngomong-ngomong kau tinggal di mana? Boleh aku minta nomor ponselmu, tentu kalau suamimu tidak keberatan. Aku juga ingin berkenalan dengan suamimu. Aku ingin tahu seperti apa pria yang sangat beruntung sudah berhasil merebutmu dariku,” ujarnya dengan sikap antusias yang dibuat-buat.

“Aku harus pergi,” aku tidak bisa membiarkan Rama terus mengorek tentang ‘suami’ku, bisa-bisa semuanya terbongkar detik ini juga.

“Apa kita bisa bertemu lagi?” tanyanya penuh harap.

“Tidak. Aku rasa tidak.”

Aku berjalan dengan setengah menyeret kakiku, mereka pengkhianat karena tidak mau ikut melangkah dengan sukarela bersamaku. Hatiku bahkan sudah tertinggal bersamanya, kini aku tidak punya hati lagi. Hanya tinggal tubuh yang penuh oleh jamahan tangan-tangan pria brengsek yang kuperas uangnya. Aku terus menghapus air mata yang jatuh dengan sia-sia, karena setelah kuhapus, alirannya akan semakin deras membasahi pipiku. Aku harus kuat, demi mereka, demi Azriel dan anak-anak lainnya.

***

Aku memeriksa make upku sekali lagi sebelum turun dari taksi, tidak terlalu tebal ditambah lipstick merah yang sensual dan gaun hitam dengan belahan yang cukup lebar di belakang sehingga memamerkan bagian punggungku yang mulus. High heels duapuluh cm-ku berdetak di lantai marmer yang mewah. Bahkan dari pintu masuk pun aku sudah mengenali mangsaku selanjutnya, pria hampir botak dengan kumis tebal seperti Pak Raden dalam film Si Unyil yang sering kutonton bersama Rama dulu. Arrgghhh … kenapa di saat seperti ini aku masih memikirkan dia? Lupakan Rama, lupakan Rama! Aku merapal mantera itu berkali-kali dalam hati.

“Hai,” sapaku sopan dengan nada mendesah yang biasa kugunakan untuk merayu calon klienku.

“Hallo, cantik sekali. Aku tidak sabar untuk …”

“Sabarlah. Kau memilikiku malam ini, sayang,” sahutku manja, dalam hati aku ingin muntah mendengar perkataanku sendiri.

Pria tua itu tertawa keras, sudah tugasku untuk membuat para klienku bahagia agar mereka bisa memberikan apapun yang kuinginkan. Atau membuat mereka mabuk, lalu aku akan mengambil jatah lebihku seperti waktu itu.

“Bagaimana kalau kita minum dulu?” tawarku sambil menyodorkan sebotol anggur mahal yang sudah ia pesan.

“Kau memang tahu bagaimana cara menyenangkanku, cantik,” pujinya sambil meraba pipiku dan turun ke leher lalu aku memegang tangannya sebelum ia sampai ke payudaraku.

“Kita tidak mau melakukannya di sini, bukan?” aku mengerling genit padanya, dan dia semakin tertawa lebar. Dasar tua bangka tidak tahu malu!

“Aku sudah tidak tahan ingin menikmatimu. Ayo, kita lanjutkan malam ini, sayang,” ajaknya sambil menarik tanganku ke lantai atas, di mana ada kamar suite mewah untuk orang-orang kaya yang menginginkan privasi dengan bayaran super mahal.

Sial! Aku tidak bisa membuatnya mabuk, sepertinya malam ini akan jadi malam yang panjang. Di dalam lift ia terus menggerayangi punggungku yang terbuka, bahkan sesekali ia meremas bokongku, tidak peduli dengan tatapan orang-orang dalam lift yang terus melihatku dengan pandangan jijik, atau itu hanya perasaanku saja. Kalau tidak butuh uangnya, rasanya ingin sekali aku menendang bokong bajingan ini sampai ke kutub utara, tapi ia salah satu tangkapan terbesarku selama ini.

Kami sampai di sebuah kamar di lantai 7. Sebuah kasur king size langsung menyambutku di sana, seolah sedang mengejekku habis-habisan. Aku masuk lebih dulu dan bisa kudengar kalau pintu langsung terkunci di belakangku bersamaan dengan pria itu memelukku dari belakang.

“Kau sangat cantik, Rose, kau membuatku gila.” Mulut pria itu ada di tengkukku, menjilatiku seperti permen. Aku bisa merasakan napasnya yang panas dan berbau tembakau, dan aku berusaha keras agar tidak muntah di hadapannya.

“Katakan apa yang bisa kau lakukan malam ini untukku?” tanya tua bangka itu tanpa melepaskan pelukannya dariku.

“Apapun yang kau inginkan, Boy,” jawabku dengan nada menggoda, ia menyeringai mendengar jawabanku. Dia tidak suka namanya dibawa-bawa dengan alasan demi keamanan identitasnya, jadi ia selalu menyuruhku untuk memanggilnya dengan nama Boy.

Ia langsung melepaskan pelukannya, termasuk melepaskan jas, kemeja, celana dan membiarkan tubuhnya tanpa sehelai benang pun berdiri di depanku. Ia menciumku dengan ganas, kumisnya yang kasar menusuk-nusuk bibirku. Tubuhku di dorong sampai terjerembab ke atas ranjang, dan dengan sekali sentak ke bawah, gaun dan celana dalamku sudah berada di lantai. Tanpa melepaskan ciumannya, ia mulai meremas payudaraku dengan keras.

Aku menggelinjang di bawah dekapan tubuh besarnya, ia semakin bernafsu dengan membiarkan tangannya menjelajahi seluruh tubuhku. Kini mulutnya berpindah ke leherku, aku bisa merasakan bibirku bengkak dan berdenyut-denyut karena ciumannya yang menggigit secara harfiah. Aku menjerit ketika ia juga menggigit leherku, ia hanya tertawa kesenangan mendengar jeritanku.

Mataku terasa panas mengingat pertemuan siang tadi. Bagaimana kalau sampai Rama tahu apa yang aku lakukan sekarang ini? Bergumul dengan seorang pria tua demi sejumlah uang. Mungkin aku akan dianggap seperti kotoran atau najis baginya. Seandainya aku tidak menyusul ke sini, seandainya aku tidak mempercayai kata-kata pria bajingan yang menjerumuskanku, seandainya aku tidak terperangkap dalam lingkaran setan ini. Apakah semuanya akan menjadi lebih baik? Seketika aku menginginkannya ada di sini bersamaku, bukan pria tua ini. Mencumbuku, mendekapku dan memasukiku …

“Rama,” desahku tanpa sadar.

Gerakan Boy berhenti, ia mencengkeram kedua bahuku dengan keras sampai aku merasa tulangku bisa saja hancur saat ini juga.

“Apa kau bilang?! Berani-beraninya kau menyebut nama pria lain ketika sedang melayaniku. Dasar pelacur!”

Ia menamparku sekali, lalu sekali lagi di pipi yang satunya. Aku bisa merasakan pipiku berdenyut dan rasa asin menyebar di mulutku, mungkin bibirku robek. Tapi, aku tidak ingin menangis, aku sudah biasa menghadapi hal semacam ini. Aku hanya perlu diam dan jangan melawan, biarkan ia berbuat sesukanya untuk melampiaskan amarahnya.

“Aku paling tidak suka kesenanganku dirusak sebelum klimaks, kau harus membayar mahal untuk itu.” Boy tidak berniat meminta uang sebagai imbalan tentu saja, ia sudah punya banyak uang. Ia ingin membuatku menyesal sudah membuatnya marah, itu saja. Tapi, ia tidak tahu kalau aku tidak akan menyesal sama sekali meskipun ia membunuhku sekalipun.

Ia mengambil ikat pinggang dari celananya dan membalikkan tubuhku, aku menurut karena aku sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Satu cambukan, dua, tiga dan entah berapa kali sampai aku tidak sanggup menghitungnya lagi. Aku hanya merasa punggungku perih, tapi aku tidak akan menangis.

Setelah itu ia kembali menciumku, kali ini lebih kasar dari sebelumnya. Bibirku yang robek terasa sangat menyakitkan, ia menggigit lidahku sampai aku mati rasa setelah rasa asin itu menyebar dimulutku. Tubuhnya yang besar kembali menindihku, ia menyetubuhiku dengan keras dan kasar. Ia tidak berhenti sampai ia kehabisan tenaga dan menyerah, lalu ikut berbaring di sampingku dengan terengah-engah.

“Kau pelacur brengsek! Tapi, aku tidak akan pernah puas denganmu. Pergilah dan bawa semua uangku,” bentaknya kasar sambil melemparkan semua uangnya padaku sampai semuanya berhamburan.

Aku memungut uang-uang itu dengan merendahkan harga diriku, itu pun kalau aku masih punya harga diri. Aku segera memakai kembali gaunku dan meninggalkan bajingan itu yang sudah mendengkur pelan. Punggungku terasa perih ketika bergesekan dengan gaun, mungkin lecet atau berdarah. Aku harus segera mengobatinya sesampainya di rumah nanti agar tidak berbekas, para klienku tidak akan mau memakaiku lagi kalau kulitku cacat.

Sudah lewat tengah malam ketika aku keluar kamar hotel itu, tapi aku malah menyusuri jalanan ibukota yang sedikit sepi. Aku ingin menikmati saat-saat kehancuranku untuk yang ke sekian kalinya, berjalan kaki membawa tubuh dan jiwa yang hancur di tengah angin malam yang berhembus kencang, anehnya aku tidak merasa kedinginan. Aku sudah mati rasa. Langkahku terhenti ketika melihat seseorang menghalangi jalanku, lebih terkejut lagi ketika aku melihat dari dekat pemilik wajah tampan itu.

“Mas Rama? Sedang apa kau di sini?” tanyaku terkejut.

Wajahnya muram, terlihat banyak sekali ekspresi. Ada kesedihan, kekecewaan, kemarahan, penyesalan dan begitu banyak yang tidak bisa aku artikan di sana. Matanya yang gelap terlihat semakin kelam, hampir membuat tubuhku menggigil, mengalahkan dinginnya angin malam.

“Jadi, itu SUAMI-mu?” tanyanya penuh penekanan, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana jeansnya.

Aku bergeming, tidak berniat untuk menjawab. Toh, ia juga tidak akan membutuhkan jawaban apapun dariku.

“Aku pernah melihatnya kampanye beberapa waktu yang lalu, dan aku tahu kalau pria itu sudah berkeluarga. Apa yang kau lakukan di kamar hotel berdua saja dengannya?” Rama menatap tajam mataku, tapi aku memilih untuk membuang muka, menatap mobil-mobil yang sesekali lewat.

“Kenapa kau mengikutiku?” Aku berusaha mengelak dengan balik bertanya.

“Jawab dulu pertanyaanku!” bentaknya tegas.

“Kau sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh pria dan wanita dewasa di kamar hotel tengah malam begini,” jawabku berusaha sesinis mungkin.

“Ya, Tuhan.” Rama mengusap wajahnya frustasi, berusaha mencerna kalimatku barusan. Tampaknya ia sangat terpukul, tapi sedetik kemudian wajahnya kembali dingin. “Berapa bayaranmu untuk semalam?”

Hatiku seperti diremas ketika ia menanyakan hal itu, orang-orang sering mengatakan hal yang lebih kejam padaku, tapi rasanya berbeda ketika orang yang sangat kusayangi yang mengatakannya. Aku merasa benar-benar murahan!

“Kenapa kau lakukan ini, Mawar?” nada suaranya pahit, ada kepedihan di sana dan hatiku ikut mencelos mendengarnya. Oh, aku lupa kalau aku sudah tidak punya hati.

“Bukan urusanmu, Rama!” sahutku ketus, aku tidak mau repot-repot menggunakan embel-embel ‘Mas’ di depannya.

Rama sedikit terkejut mendengar nada bicaraku, lalu ia tersenyum masam. “Aku salah. Ternyata kau sudah benar-benar berubah, Mawar. Aku bahkan tidak bisa mengenalimu lagi.”

“Aku bukan Mawar. Mawar sudah lama mati, sekarang panggil aku Rose. Kalau kau ingin ‘memakai’ku, aku bisa memberikan nomor yang bisa kau hubungi. Kalau tidak, aku harus pergi sekarang. Aku lelah sekali,” usirku secara terang-terangan.

“Kenapa, Mawar?” tanya Rama lagi, kali ini suaranya tidak lagi dingin. Bahkan terdengar pedih dan putus asa, aku harus berusaha sekuat tenaga agar tubuhku tidak mengkhianatiku dan berlari memeluknya.

Aku tertawa, menertawai kegetiran nasibku sendiri.

“Kenapa?!” aku membeo pertanyaannya, ditujukan lebih kepada diriku sendiri. “Karena ini satu-satunya pekerjaan yang aku punya dan akan menghasilkan uang banyak dalam sekejap. Aku suka uang, dan kau tidak bisa memberikannya. Kau bahkan sudah meninggalkanku dan pergi ke kota ini.””

Rama tampak sangat terluka dengan perkataanku, matanya memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Oh, andai dia tahu alasan yang sebenarnya bukan itu. Aku mencintainya dan aku tak peduli berapa uang yang ia punya. Aku sudah sangat melukai perasaan dan harga dirinya sebagai seorang pria, sudah sepantasnya kalau dia ingin balik mencaci atau menghinaku. Aku siap.

“Semua ini salahku, seharusnya aku mengabarimu ketika aku sampai di sini. Setahun pertama adalah tahun yang berat untukku. Aku kehabisan uang dan tidak punya pekerjaan. Aku terpaksa menjual ponselku, satu-satunya barang berharga yang aku miliki saat itu, agar aku bisa terus bertahan hidup. Aku terlalu malu untuk mengabarimu.” Rama berhenti sejenak, berusaha menetralkan suaranya yang bergetar.

“Beruntung saat itu aku mendapatkan pekerjaan yang cukup baik. Aku bekerja sangat keras selama tiga tahun ini. Aku sudah bisa membeli sebuah rumah sederhana dan sepeda motor, uang tabunganku pun sudah cukup banyak. Aku melakukan semuanya untukmu, Mawar. Bertahun-tahun aku mencarimu, aku berjanji begitu aku menemukanmu, aku akan langsung melamarmu. Aku tidak menyangka kalau …,” ucapannya menggantung, matanya terlihat berkaca-kaca dan aku hanya bisa menatapnya tanpa berkedip.

Apa? Apa yang sudah kulakukan? Selama ini aku selalu meragukan kesetiaan kekasihku, tapi ternyata ia sudah mempersiapkan segalanya untukku, untuk kami berdua. Seandainya aku bisa lebih bersabar … Penyesalanku datang ke Ibukota kini menjadi beribu-ribu kali lipat dan rasanya menindihku sampai aku sulit bernapas. Aku bersiap untuk menerima hinaan, tapi aku tidak siap mendengar kenyataan ini. Aku harus secepatnya pergi dari sini. Jangan menangis. Tetaplah tegar. Aku tidak pantas untuknya. Berkali-kali aku mengucapkan kalimat-kalimat itu dalam hati untuk sekedar mengingatkan.

“Kau sudah selesai?” tanyaku dengan menampilkan wajah bosan, rasanya sangat sulit ketika hatiku sedang remuk dan air mata terus menerus menusuk mataku, memaksa untuk keluar. “Aku harus pergi. Percintaan tadi sangat panas dan membuatku lelah.”

Aku sengaja mengucapkan itu untuk membuatnya marah, tapi ia hanya diam dan menatapku tanpa ekspresi. Hanya tangannya yang terkepal di samping tubuhnya yang membuatku yakin kalau dia benar-benar marah. Langkahku kubuat seanggun mungkin, sepertinya stiletto hitamku sangat membantu. Aku terlihat seperti wanita elegan dan cantik, ditambah dengan nama belakang pelacur tentu saja.

“Tunggu.”

Kenapa aku berhenti? Jarak kami hanya tinggal beberapa langkah, seharusnya aku segera pulang dan meratapi nasibku sendirian. Sialnya, kakiku langsung berhenti bergerak ketika dia yang memintanya.

“Bolehkah aku memelukmu? Sekali saja …,” pintanya memelas.

Oh, aku sangat menginginkannya, tapi aku ragu, aku takut kalau aku tidak akan bisa melepaskannya setelah pelukan itu. Setengah tubuhku bersorak, tapi setengah lainnya berontak. Apa yang harus aku lakukan?

“Aku mohon, aku akan membayarmu untuk itu kalau kau keberatan.”

Kata-katanya menghancurkanku, aku pikir dia berbeda dengan pria lainnya. Ternyata dia juga memandangku sebagai pelacur, mungkin sebaiknya aku juga bersikap seperti pelacur di hadapannya.

“Satu pelukan selama lima menit, dan aku minta 500 ribu. Apa kau sanggup?” Aku melipat kedua tanganku di depan dada dengan gaya menantang.

“Apapun yang kau inginkan, semuanya milikmu,” bisiknya lembut di telingaku.

Aku terkesiap ketika tubuhnya mendekapku. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir ini, aku merasa nyaman dan hangat dalam pelukan seorang pria. Oh, aku rela menukar nyawaku agar aku bisa terus merasakan kehangatan ini.

“Aku merindukanmu, Mawar, sangat merindukanmu.”

Pelukannya bertambah erat dan aku meringis ketika jaket denimnya menggesek punggungku yang terbuka. Rama melepaskan pelukannya dan menatapku khawatir.

“Apa aku menyakitimu?” tanyanya cemas, kedua tangannya memegang bahuku. Mata hitamnya terlihat kelam dan bercahaya di saat yang bersamaan.

“Umm, tidak. Aku tidak apa-apa. Aku harus pergi, kau belum memelukku selama lima menit, jadi aku berikan gratis untukmu,” jawabku berusaha menghindari pandangannya dan menunduk menatap stiletto yang baru aku beli kemarin.

Rama tidak melepaskan tangannya dari bahuku. Ia justru semakin lekat menatapku, matanya tertuju pada bibirku. Untuk sedetik aku berpikir kalau ia akan menciumku, dan jantungku bergemuruh dengan antisipasi.

“Kau terluka,” desahnya sambil menyentuh sudut bibirku dengan ujung jarinya.

Bekas tamparan itu! Oh, tadi tidak terasa apa-apa, tapi begitu dia mengingatkannya, bibirku rasanya berdenyut menyakitkan.

“Sial! Berbaliklah,” perintahnya geram, rahangnya mengeras dan cengkeramannya di bahuku terasa semakin kencang.

Aku tidak mau memperlihatkan bekas lukaku padanya, dan aku mengutuk diriku sendiri karena tidak membawa mantel malam ini. Dia menyentak tubuhku karena aku sama sekali tidak merespon ucapannya.

“Ya, Tuhan, bajingan itu menyakitimu.”

Rama kembali memelukku, kali ini dengan amat sangat pelan, membuatku merasa dilindungi. Tubuhnya bergetar karena amarah, tapi dia tidak berkata apa-apa lagi. Hingga aku merasakan setetes cairan hangat mengalir di pundakku. Aku menjauhkan tubuhku dan menatap ke arahnya. Kekasihku menangis, dan jantungku terasa ditusuk oleh ribuan belati tajam secara bergantian.

“Aku baik-baik saja, ini hanya luka kecil,” ujarku menenangkan, aku menghapus air matanya dengan ibu jari secara perlahan.

Dia menggenggam tanganku dan menciumnya lembut. “Apa ini sering terjadi?”

Aku mengangkat bahu dengan cuek, “Yah, kadang-kadang, kalau aku tidak bisa menyenangkan mereka.”

“Maafkan aku, seharusnya aku melindungimu,” sesalnya, raut wajahnya terlihat sangat menderita.

“Ini bukan salahmu, aku benar-benar harus pergi. Kumohon,” pintaku memelas, aku tidak mau berada dekat dengannya setelah aku melihatnya seperti tadi. Ini pertama kalinya aku melihatnya menangis, ia adalah pria yang kuat. Sejak kecil, dialah yang selalu jadi penopangku, pahlawanku, tapi malam ini ia terlihat begitu rapuh.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kau setuju untuk menikah denganku,” tegasnya sambil mencengkeram pergelangan tanganku.

Aku terbelalak. Ya, ampun, dia melamarku! Perutku rasanya jungkir balik di udara saking bahagia dan terkejut. Namun, kenyataan lain menghantamku begitu keras. Dia melamarku setelah melihat bekas lukaku!

“Aku tidak butuh dikasihani,” semburku marah, aku berusaha menarik tanganku dari genggamannya tapi tidak berhasil, ia begitu kuat.

“Aku tidak mengasihanimu, aku mencintaimu. Ada atau tidaknya luka itu, aku akan tetap melamarmu, mungkin hanya tinggal masalah waktu,” ia berkata seolah bisa menebak isi kepalaku. “Saat ini, keinginanku untuk melindungimu sudah tidak bisa ditahan lagi. Aku ingin kau segera menjadi milikku, agar tidak ada seorang pun yang bisa menyakitimu. Kumohon, menikahlah denganku.”

Oh, itu adalah lamaran terindah yang pernah kudengar, dan itu memang satu-satunya lamaran yang kuterima. Mana ada yang mau menikah dengan seorang pekerja seks sepertiku? Hatiku menampakkan wujudnya dengan sembunyi-sembunyi, dan sekarang ruang kecil itu dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Rasanya aku ingin tersenyum sampai wajahku melar.

“Umm, aku akan memikirkannya, beri aku waktu untuk berpikir,” jawabku ragu, walau bagaimana pun aku tidak mau terlalu cepat mengambil keputusan. Aku tidak boleh egois.

“Baiklah,” ia menyerah dan melepaskan tanganku. “ayo, kuantar kau pulang.”

***

Aku memandang selembar kertas itu dengan nanar, air mata kembali merembes dan membanjiri pipiku. Seharusnya aku tidak setuju untuk tes darah, seharusnya aku tetap pada niatku untuk berkonsultasi rutin dengan dokter langgananku tentang metode pencegah kehamilanku dan pulang. Mungkin aku tidak akan berakhir seperti ini, mengunci diri dan menangisi nasibku sepanjang waktu. Atau mungkin ini adalah hukuman yang diberikan Tuhan untukku. Sedikit lagi aku akan menggapai kebahagiaanku dan dalam sekejap semuanya lenyap hanya karena selembar kertas yang diberikan dokter padaku. Aku positif mengidap HIV.

Rasanya duniaku akan runtuh, semuanya terasa menyakitkan untukku. Aku tidak tahu harus marah pada siapa, atau bajingan mana yang sudah menulariku penyakit sialan ini. Aku hancur, benar-benar hancur. Aku tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan siapapun.

Ketukan pelan di pintu menyadarkanku dari ratapan menyedihkan yang sedang kulakukan.

“Mawar, apa kamu di dalam?”

Rama. Kenapa dia harus datang di saat seperti ini? Aku masih terisak dalam posisiku, meringkuk dalam pojokan kamar kost-ku yang sempit. Hampir semua barang yang aku punya sudah habis kubanting, tidak ada yang tersisa lagi. Hanya aku dan penyakit mematikan ini.

“Aku tahu kau ada di dalam. Biarkan aku masuk, sebentar saja. Aku ingin bertemu denganmu,” pintanya memohon, nada suaranya terdengar khawatir.

“Pergilah, aku tidak ingin bertemu denganmu!” Oh, suaraku terdengar kacau dan berat. Mungkin penampilanku jauh lebih mengerikan lagi.

“Aku akan mendobrak kalau kau tidak membukanya.” Rama berteriak, kali ini ia benar-benar khawatir mendengar suaraku.

Aku tidak peduli apapun lagi, kubenamkan wajahku dalam dekapan kedua tumit dan memeluk tubuhku sendiri. Dengan begini aku merasa aman, setidaknya sampai pintu kamarku yang bobrok terbuka dengan paksa. Hanya butuh tiga kali dorongan dan Rama sudah berdiri di hadapanku.

“Apa yang terjadi?” napasnya terengah-engah, ia berjalan dengan hati-hati untuk menghindari pecahan beling dari berbagai macam parfum dan cermin yang kulempar secara brutal.

“Pergi!” aku berusaha sekeras mungkin untuk berteriak, namun yang terdengar hanya suara serak yang mengerikan.

“Apa ada yang menyakitimu lagi? Katakan padaku, Mawar!” desak Rama cemas, dari sudut mataku, aku bisa melihat kalau Rama sedang meneliti tubuhku kalau-kalau ada luka yang tidak ia ketahui.

“Berhentilah peduli padaku. Aku kotor!” isakku lagi, berusaha semakin rapat memeluk tubuhku.

“Aku tidak peduli. Bukankah sejak awal aku katakan kalau aku tidak peduli dengan semua ini?!”

Ia tampak frustasi ketika berusaha meyakinkanku, tapi ia tidak mengerti. Aku tidak sama lagi dengan Mawar yang ia temui seminggu yang lalu, setidaknya saat itu aku belum tahu tentang setan yang perlahan menggerogoti tubuhku ini.

“Aku terkena HIV,” bisikku pelan, dan beban berat yang menghimpitku seakan perlahan menghilang sehingga aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan memandanginya. Ia tampak sangat … terkejut. Well, itu ungkapan yangsangat biasa. Ia seperti sudah melihat hantu di siang bolong, wajahnya pucat pasi tanpa sedikit pun rona merah di pipinya. Dengan susah payah, ia berusaha menelan ludah untuk membasahi tenggorokan dan mulutnya yang kering.

“Aku … aku pergi dulu,” ucapnya datar sebelum ia bangkit dan menghilang tanpa menoleh ke arahku lagi.

Sudah kuduga akan seperti ini. Tidak akan ada yang mau menerimaku lagi. Hidupku sudah berakhir dan kematian menungguku di depan sana. Untuk apa aku hidup lebih lama lagi di dunia ini kalau hanya akan menjadi sampah yang tidak berguna? Bukan berarti hidupku selama ini berguna, hanya saja, setidaknya aku masih bisa menghidupi anak-anak tidak beruntung yang tinggal di rumah singgah. Sebuah pikiran gila tiba-tiba melintas di otakku, aku mengambil pecahan cermin yang cukup panjang dan bersiap untuk menggoreskannya di pergelangan tanganku.

Aku memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa perih ketika sedikit demi sedikit pecahan kaca itu mulai menyayat kulitku. Satu per satu wajah orang-orang yang aku sayangi melintas seperti slide show di kepalaku. Rama, Bu Netta, anak-anak panti, Ibu dan … Ayah.

“Bunuh diri itu dosa, Nak, sebaik-baik manusia adalah yang tidak berputus asa ketika Allah sedang mengujinya.” Kata-kata Ayah kembali terngiang di telingaku. Saat itu aku memang sudah putus asa ketika Rama meninggalkanku tanpa kabar apapun, bahkan aku sempat berniat untuk bunuh diri saat terdengar kabar burung kalau Rama sudah meninggal. Sekarang apa yang kulakukan?

Aku melempar pecahan kaca itu ke dinding sampai benda itu hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Tanganku berdarah, namun tidak seberapa. Aku menangis sejadi-jadinya. Maafkan aku, Ayah. Aku tidak ingin menambah gunungan dosaku lagi.

Dengan terseret-seret aku mengambil kapas kosmetikku dan menghapus darah yang ada di pergelangan tanganku dan membasuhnya dengan alkohol. Kuambil plester untuk menghambat darah keluar lagi dan segera membakar kapas-kapas yang penuh darah itu di asbak. Aku tidak akan mati, setidaknya bukan sekarang. Masih ada yang harus kulakukan.

Aku mengganti bajuku dan berjalan terseok ka rumah singgah. Lama aku berdiri di luar rumah sebelum akhirnya aku mengambil napas panjang dan berusaha tersenyum sewajar mungkin pada anak-anakku.

“Halo, semuanya. Hmm, masih pada bau asem, nih! Belum pada mandi, ya?” ucapku ketika mencium mereka satu per satu.

“Belum, Kak, kami habis main bola tadi,” jawab anak-anak lelaki serempak.

“O ya? Wah, itu bagus sekali. Sering-seringlah berolah raga seperti itu biar kalian sehat. Sekarang mandi dulu gih! Lihat tuh, yang wanita udah cantik-cantik,” tambahku melirik beberapa anak gadis yang sedang bermain rumah-rumahan. Dipuji seperti itu membuat mereka tersenyum malu dengan cara yang membuatku ingin tertawa.

Mereka menuruti perintahku dan segera berebut ke kamar mandi. Aku hanya tertawa dan berusaha melerai mereka, tapi namanya juga anak-anak. Susah sekali untuk membuat mereka tenang.

“Mawar, kapan kau datang?” tanya Bu Netta lembut.

“Baru saja, Bu. O ya, ada yang ingin kubicarakan dengan Ibu.”

“Apakah tentang pernikahanmu?” Bu Netta tersenyum menggoda, aku memang sudah menceritakan perihal lamaran Rama padanya karena beliau sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum, mengabaikan sengatan panas di mataku. Kami berbicara di teras samping, di mana saat itu sedang sepi.

“Aku ingin menyerahkan ini pada Ibu,” kataku seraya memberikan amplop cokelat yang cukup tebal padanya.

“Apa ini?” tanya Bu Netta heran.

“Ini uang tabunganku, Bu.”

“Kalau begitu, Ibu tidak mau menerimanya. Kau akan membutuhkan ini untuk biaya pernikahanmu nanti. Simpan saja, Ibu masih punya uang untuk keperluan sehari-hari. Pemberianmu waktu itu masih tersisa cukup banyak. Nak,” tolaknya halus.

“Tidak, Bu. Aku tidak perlu membiayai apapun. Mas Rama yang menanggung semuanya. Kami juga akan pindah dari kota ini,” aku berbohong. Oh, maafkan aku, Bu.

“Pindah?” alis Bu Netta terangkat.

“Kami akan memulai hidup baru di kampung halaman kami dulu,” kurasa aku mulai lancar berbohong sekarang.

“Benarkah itu, Nak? Ibu senang sekali mendengarnya. Kau pantas mendapatkannya, sayang.”

Mata Bu Netta berkaca-kaca ketika mengatakannya, air mataku pun tidak sanggup lagi kubendung. Kami berdua bertangisan dalam pelukan, meskipun dalam suasana yang benar-benar berbeda. Aku sama sekali tidak berniat untuk membohongi wanita yang selama ini dengan tulus menyayangiku. Aku hanya tidak ingin membuat mereka susah dengan keadaanku, hanya ini satu-satunya cara untuk ‘pergi dengan baik-baik’.

“Aku pamit dulu, Bu. Tolong terimalah uang ini, hanya ini yang aku punya. Aku akan merasa sangat senang kalau Ibu mau menerimanya,” desakku bersikeras.

“Baiklah, Nak. Tolong sampaikan terima kasih Ibu pada calon suamimu nanti ya, sayang. Kapan-kapan ajaklah dia berkunjung ke sini.”

Aku mengangguk.

“Baik, Bu,” dustaku lagi. “Aku menyayangi Ibu,” ucapku seraya memeluknya untuk terakhir kali.

“Ibu juga sangat menyayangimu. Semoga kau bahagia, sayang.”

Bu Netta mencium puncak kepalaku dengan penuh kasih sayang, sama seperti Ibuku dulu. Aku sangat merindukan mereka, namun aku tidak mungkin kembali ke rumah. Tidak dengan keadaan seperti ini, itu hanya akan menyusahkan mereka saja. Satu-satunya yang harus aku lakukan sekarang adalah pergi ke tempat sampah, di mana seharusnya orang sepertiku berada.

***

Author’s PoV

Rama berusaha meyakinkan dirinya kalau semua yang ia dengar barusan hanya mimpi buruk. Padahal ia sudah menyiapkan semuanya. Pernikahan sederhana yang ia impikan dengan Mawar dahulu. Sekarang semuanya musnah sudah. Kenapa Mawar harus menderita penyakit mengerikan itu? Bahkan, membayangkannya saja terlalu menakutkan untuknya. Bagaimana dengan Mawar?

Ya, Tuhan, kenapa tadi ia meninggalkannya begitu saja? Pasti sekarang ia sedang sangat ketakutan dan membutuhkan dirinya. Dia terlalu kaget ketika mendengar berita ini dan tidak bisa berpikir apapun lagi. Ia harus kembali ke sana. Harus! Walau bagaimanapun ia akan mendampingi Mawar untuk menjalani sisa hidupnya.

Dengan tergesa-gesa ia mengambil sepeda motornya dan kembali ke rumah kontrakan Mawar, namun terlambat. Ia tidak ada di sana. Pecahan-pecahan kaca dan barang yang berserakan sudah tidak ada lagi. Semuanya sudah bersih, kecuali pintu yang hanya bersandar di kusen, semuanya baik-baik saja. Lemarinya bahkan masih utuh, semuanya berisi gaun-gaun mahal milik Mawar.

“Apa ia sudah pergi? Tidak. Ia tidak boleh pergi!” gumam Rama, tiba-tiba ia merasa benci pada dirinya sendiri. Kenapa ia meninggalkan Mawar di saat wanita itu sangat membutuhkannya. “Dasar pengecut! Sekarang aku akan kehilangan dia lagi.”

Rama masih menunggu di depan rumah Mawar, berharap dia kembali ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Rumah singgah! Pasti dia ada di sana.” Rama memukul jidatnya sendiri, kenapa ia tidak berpikir ke sana sejak tadi?

Ia menyusuri jalan setapak yang masih diingatnya menuju rumah singgah sambil tak henti-hentinya ia berkata dalam hati, semoga Mawar ada di sana. Semoga Mawar ada di sana. Suasana rumah itu sudah terlihat sepi karena malam memang hampir larut, mungkin mereka sudah tidur. Tapi, ia tidak bisa menunggu sampai besok untuk mendapat kepastian tentang Mawar. Ia harus mengetahuinya sekarang juga.

Dengan memantapkan hati, ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam perlahan. Beberapa saat tidak terdengar apapun, ia mengulangi mengetuk dan ada sahutan dari dalam.

“Maaf, Anda mau cari siapa ya?” tanya Bu Netta heran.

“Saya Rama, Bu. Apa Mawar ada di sini?” tanya Rama cemas.

Senyum Bu Netta melebar.

“Nak Rama calon suaminya Mawar? Wah, silakan duduk. Senang sekali kamu datang. Mawar tadi siang memang ke sini, tapi sekarang sudah pergi,” kata Bu Netta semangat.

“Benarkah? Apa dia mengatakan sesuatu? Atau dia bilang mau pergi ke mana?” cecar Rama, tapi ia masih tidak beranjak dari tempatnya.

“Tidak. Tapi, ia memberikan uang pada Ibu, katanya ia tidak membutuhkannya karena semua biaya pernikahannya kamu yang menanggung. Ibu senang sekali akhirnya Mawar bisa hidup bahagia,” jelasnya dengan wajah berseri-seri.

“Menikah?” wajah Rama memucat.

“Iya, Mawar sudah menceritakan semuanya pada Ibu. Dia juga bilang kalau kalian akan kembali ke kampung halaman dan memulai hidup baru di sana. Selamat ya, Nak Rama.”

“Mawar bilang begitu?” tanya Rama kaget, ia tidak menyangka kalau ternyata Mawar punya hati sebaik itu. Ia sudah menyia-nyiakan gadis sebaik Mawar karena kebodohannya sendiri. Seandainya tadi ia tidak meninggalkannya, mungkin gadis itu masih berada di sini sekarang. Tanpa sadar air matanya mengalir dan ia jatuh terduduk di lantai.

“Ada apa, Nak?” tanya Bu Netta panik.

Rama berusaha mengendalikan dirinya, ia tidak boleh terpuruk sekarang. Ia harus mencari Mawar. Karena Bu Netta terus mendesak, akhirnya ia menceritakan semuanya pada wanita itu.

“Ya, Tuhan, kenapa dia harus menanggung penderitaan seberat ini?” Bu Netta terisak, tampak sangat terpukul.

“Ini semua salahku, Bu. Seharusnya aku tidak meninggalkannya,” kata Rama menyesal.

Bu Netta masih terus menangis sambil menyebut-nyebut nama Mawar, selama ini ia sudah menganggapnya puterinya sendiri. Ia sangat menyayanginya.

“Tolong temukan Mawar untuk Ibu ya, Nak Rama,” pinta Bu Netta memelas.

“Pasti, Bu. Saya akan mencari Mawar sampai ketemu. Mungkin sekarang ia sudah kembali ke kampung, saya akan segera menyusulnya ke sana,” jawabnya mantap.

Untuk terakhir kalinya, Rama menatap Ibukota dengan nanar. Kota ini sudah meninggalkan sejuta luka untuknya dan Mawar dan mungkin untuk puluhan bahkan ratusan orang di luar sana yang tidak ia kenal. Namun, kota ini tetaplah menjadi primadona bagi para pencari mimpi yang akan mencari penghidupan agar bisa menjadi lebih baik lagi. Terkadang mereka berhasil, tapi tak sedikit mereka yang jatuh dan terperosok ke lubang hitam, seperti Mawar. Mengingat hal itu membuat hatinya semakin sakit, ia segera mempercepat langkahnya dan menaiki bus terakhir yang akan membawanya kembali ke kampung halaman. Meninggalkan kota sejuta mimpi yang tidak pernah mati.

***

Setahun kemudian …

Di sebuah gubuk reyot yang kumuh dekat kompleks pemulung di Ibukota, berbaring seonggok tubuh lemah tak berdaya. Ia hanya beralas tikar di atas dipan yang keras. Kalau diperhatikan, tubuhnya hanya seperti tulang terbalut kulit. Beberapa benjolan kecil menyebar di sekujur tubuhnya. Jemarinya yang kurus terlihat mengerikan dengan kuku-kuku yang menghitam. Wajahnya sudah seperti mayat hidup, hanya napasnya yang sesekali terdengar sesak yang menandakan kalau dia masih bernyawa.

Sebuah gedoran keras membuatnya terbangun. Matanya yang layu terbuka dengan susah payah. Tangannya menggapai, namun ia sama sekali tidak punya tenaga untuk berdiri. Setelah demam berhari-hari, ia sudah tidak sanggup untuk mencari makan lagi sehingga ia hanya berbaring seharian. Gedoran itu semakin keras dan sebuah suara berteriak dengan berang.

“Keluar kau, pelacur sialan! Aku tahu kau di dalam!”

Ia masih tidak bisa berbuat apa-apa. Ia pasrah.

Dalam sekali tendangan, pintu triplek itu sudah tergeletak seperti dirinya. Dua orang pria berbadan tegap segera masuk ke dalam ruangan dengan tampang sangar. Di belakangnya berdiri seorang pria gendut berkepala plontos dan kumis tebal.

“B-Boy?” ia terbelalak.

“Ternyata kau masih mengenaliku, Jalang sialan!” umpat Boy sinis sambil memelintir kumisnya dengan angkuh. “Sudah lama aku mencari-carimu. Akhirnya aku menemukanmu di tempat sampah ini. Tempat yang sangat pantas untukmu.”

“Ke-kenapa kau mencariku?”

“Kau masih tanya kenapa setelah kau menulariku penyakit sialan ini?!” bentak Boy, matanya melotot tajam.

Apa? Ia terpaku. Pria itu tidak terlihat seperti orang penyakitan seperti dirinya.

“Kenapa? Kau heran karena aku masih terlihat segar bugar?” tanya Boy seolah bisa menebak pemikirannya. “Aku sudah membayar sangat mahal untuk menjaga kondisiku tetap baik, tidak seperti kau yang terlihat menyedihkan.”

Ia ingat, penyakit ini memang bisa bertahan bertahun-tahun tetap seperti biasa asal rutin menjalani pengobatan. Sementara ia tidak pernah menjalani pengobatan satu kalipun.

“Aku sudah menunggu saat-saat seperti ini selama setahun. Aku tidak akan puas sebelum membunuhmu dengan tanganku sendiri. Nikmatilah saat terakhirmu di dunia ini, Rose.”

Boy mendaratkan sol sepatunya yang keras dan tajam ke wajah Mawar, namun tidak sedikitpun terdengar jerit kesakitannya. Ia tidak akan menjerit karena itu hanya akan menambah kesenangan bajingan itu. Kejadian itu berulang berkali-kali sampai akhirnya ia tidak sanggup lagi menahan rasa sakt di tubuhnya. Dengan perlahan, ia mengembuskan napasnya yang terakhir dan meninggalkan semua rasa sakit dan penderitaannya untuk selamanya. Mawar sudah kembali kepada-Nya.

-End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar