Follow

Rabu, 15 November 2017

Billy - Karya Lindsay 'Lov & R.A Edelbrand

Ruangan olahraga itu sedang tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa mahasiswa yang tampaknya sedang mengelilingi seseorang. Dan yang menjadi pusat perhatian mereka ternyata seorang laki-laki yang tampaknya sangat tertekan. Keringat dingin bercucuran di antara helai-helai rambut tipisnya yang berminyak dan mengalir tanpa halangan di permukaan wajahnya yang pucat berjerawat. Aroma parfum murahan dengan bau yang cukup norak sesekali tercium, dan sepertinya ia lupa akan resleting celananya yang setengah terbuka. Semua membuat orang-orang yang mengelilinginya semakin sadis mengolok-oloknya.
"Hei! Belle! Banci! Lo suka sama Diandra?" terdengar sebuah suara dari kelompok pem-bully yang benar-benar tidak punya perasaan tersebut. "Lo yakin punya alat vital buat muasin Diandra?"
Sontak pertanyaan yang sangat menohok itu membuat sekawanan 'serigala liar' yang mengelilingi Billy tertawa terbahak-bahak. Tentulah di dalam kepala mereka tak lain sebagai sosok yang tak berguna, sampah yang hanya mengotori pandangan mereka. Kalaupun Billy bisa satu sekolah dengan mereka, itu bukan karena keturunan orang kaya, melainkan karena ayahnya adalah tukang kebun sekolah mereka. Dan tentu saja mereka tidak terima jika cowok sekaliber Billy, harus jatuh cinta pada Diandra, yang pantesnya bersanding dengan Adhitya, si bintang lapangan sepak bola.
"Belom pernah gue liat ada makhluk sehancur ini!" Anita, sahabat Diandra mendekat dan langsung menolak kepala Billy hingga cowok itu jatuh terjengkang ke belakang.
"Hey, Guys..." tiba-tiba yang menjadi pusat obrolan muncul. Diandra. Gadis manis berambut panjang. Di sisinya, ada Adhitya, yang menggandeng mesra tangan gadis itu. Tampan, tinggi, dan keduanya benar-benar membuat orang iri. "Eh, bentar deh. Ini kenapa dia?" tanya Diandra sambil telunjuknya mengarah ke arah Billy, dan si Billy balas menatapnya dengan pandangan aneh yang tak bisa ditebak, yang sedang tertunduk basah kuyup oleh keringat di seluruh wajah dan seragamnya yang kebesaran.
"Woy! Mupeng lo ya!" seru Panji sambil mendorong pipi Billy yang wajahnya tiba-tiba melompong kosong seperti kaleng bekas. Semua orang serentak kembali tertawa keras. "Din, lo tau gak, si Belleee ini katanya naksir berat sama lo." 
Bagai tak percaya, Diandra menatap Billy dengan mulut mencibir. Disampingnya, Adithya memandang jijik.
Tetapi, bukan Billy namanya jika ia terlahir bukan sebagai orang yang bebal. Begitu bengisnya kawanan serigala di sekitarnya menghina dan mencaci makinya, ia tetap tidak berkutik. Bahkan, di dalam keterpurukanya, ia masih saja mampu berdiam diri bagai cecunguk tak bertulang, tanpa sedikitpun perlawanan. Hanya matanya. Iya, hanya matanya yang menatap Diandra dengan terpentang lebar, dan lalu sekilas ia melirik Adhitya yang berdiri tak jauh dari gadis itu. Pandangan yang aneh. Mungkin penuh dendam, iri, dan dengki. Hanya Tuhanlah yang tahu.
***
"Kurasa, sudah waktunya," gumam Billy seraya memasukkan alat kerja ayahnya ke dalam tas sekolahnya, lalu tertawa terbahak-bahak ketika selintas rencana mencolek benaknya. 
Pukul sepuluh, adalah waktu yang salah untuk sampai ke sekolah. Tetapi tepat jam sepuluh, ia sudah tahu itu adalah waktu yang paling pas untuk mendapati Diandra, yang sedang menempel di dinding kamar mandi cowok, berkeringat, mendesah-desah dibawah ciuman dan remasan Adhitya.
"Di … Diandra?!" betapa terkejutnya Adhitya ketika kepala gadis yang sedang diciumnya berderak hebat lalu terlepas dari lehernya dan menggelinding jatuh ke lantai. Muncratan darah bagaikan kran air menyemprot ke wajahnya. Dan saat tubuh pacarnya ambruk ke lantai, barulah ia menyadari ada sebentuk wajah yang amat buruk, berada di sisinya.
"Kau?!"
"Hai, Dit!" sapa Billy seraya menghunuskan ujung gunting pagarnya ke perut Adithya. Sontak cowok itu terjengkang jatuh kesakitan. "Dont worry, Dit. Itu gak akan membuatmu mati," ucapnya. Dengan sikap yang amat tenang, ia berjongkok mendapati tubuh Diandra, merobek dada gadis yang telah dimutilasinya tersebut dengan gunting pagar, dan mengeluarkan hati gadis itu.
"Brengsek! Apa … apa yang kau lakukan?" teriak Adhitya disisa-sisa tenaganya. Luka perutnya membuatnya mati rasa untuk melakukan perlawanan.
"Tenang, Dit! Aku hanya ingin seperti dia," ucap Billy tersenyum memamerkan gigi-gigi kuningnya. Lalu dengan lahap, dimakannya hati penuh darah yang ada di tangannya. Begitu rakusnya, membuat Adhitya mual dan muntah-muntah.
"Hei, kenapa denganmu, Dit? Masa gini aja muntah?" tanya Billy kesal. Dicabutnya paru-paru Diandra dan memakannya kembali, persis seperti hewan. "Ini akan membuatku memiliki hati dan jantung pacarmu, kan? Setelah ini aku pasti akan cantik seperti Diandra. Dan kau pasti akan suka denganku. Adit, tunggu ya! Tunggu aku menjelma menjadi Diandra. Aku sudah tak sabar untuk bercinta denganmu, setiap pagi sebelum jam sepuluh, di sini!"
Adhitya tak berkutik. Sekuat tenaga ia berusaha untuk pergi dari tempat itu, namun berulang kali ia jatuh terjerembab oleh karena dicekam kengerian yang luar biasa. Billy berdiri dari mayat Diandra yang tak berkepala dan bagian isi tubuhnya telah berceceran di sekitarnya. Darah kental berleleran di jari, tangan serta wajahnya, dan dengan penuh nikmat ia melumat semua darah itu dan bibirnya yang berkilat-kilat menyeringai puas. 
Sementara itu Adhitya meringkuk di sudut ruangan. Kedua matanya terbelalak penuh sementara seluruh urat syaraf di kepalanya seakan pecah. Wajah tampannya kini dinikmati dengan penuh nafsu oleh Billy yang sekarang berdiri tepat di hadapannya. Kedua tangan Billy yang bersimbah darah meraba setiap jengkal tubuh orang yang disukainya itu, meremas serta membelai dengan penuh minat.
"Lo tau, Dit," gumam Billy lirih sembari terus menikmati tubuh temannya itu. "Selama ini gue merana dalam penantian. Gue terluka, di sini," katanya sambil meraba jantungnya sendiri. "Melihat lo setiap saat bercinta penuh nafsu dengan perempuan itu, seperti melihat neraka bagi gue. Sekarang giliran gue, sayang. Guelah Diandra lo sekarang. Ayo Dit, ayo kita bercinta di dinding ini!”
"Jangan, Bill..." rengek Adhitya. Aroma darah membuatnya mual. Pandangannya berkunang-kunang. Lalu tangisannya terlepas begitu saja. "Gue mohon jangan lakukan ini sama gue.Tolong Bil..."
"Cup ... cup ... kenapa lo merengek, Adit sayang?" tanya Billy tersenyum manis menampilkan deretan gigi kuningnya yang jorok. "Lo tau, cinta itu merah. Cinta itu hidup, Dit. Seperti darah ini. Ya, darah ini.”
Dan sebaris goresan yang dalam muncul di dada Adhitya, merobek seragam putihnya yang basah dan bernoda darah. Cairan merah kental merembes deras, sementara mulut penuh seringai Billy dengan rakus dan penuh nafsu memagut lalu menghisapnya.
Adhitya berteriak histeris sebelum gelap menguasainya.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar