Follow

Senin, 13 November 2017

Rumah Mawar - Karya Sarah Haibara

Cerpen ini adalah Juara 1 event Story Club - From Picture To a Story - Februari 2013

---

Punya rasa benci dan cemburu itu… mausiawi. Ada banyak cara bagi setiap orang untuk mengungkapkannya. Ada yang diungkapkan langsung, ada juga yang hanya dipendam hingga akhirnya menjadi bom waktu. Tinggal bagaimana cara kita memilihnya saja.

***

“Kenapa berenti mobilnya?” tanya Mova saat terbangun dari tidurnya karena mobil yang ditumpanginya bersama teman – teman terasa tidak berjalan.

”Bensinnya habis. Mungkin karena dari tadi kita muter – muter kali.” ucap Danu dari luar.
Para penumpang didalam mobilpun semuanya keluar.

”Habis? Tapikan kita belum sampai ke villa. Lagipula matahari juga hampir tenggelam.” ucap Rica cemas.

”Mau gimana lagi? Kayaknya kita harus jalan kaki deh. Mau nelpon minta bantuan, disini gak ada sinyal. Huh... Restu sih tadi pakai acara kesesat segala.” kata Danu.

”Kok nyalahin aku? Yang tadi nyuruh aku bawa siapa?” jawab Restu emosi.

”Udah deh, kalian ini kenapa sih berantem mulu? Jika benar kita harus jalan kaki, sebaiknya kita mulai sekarang deh jalannya, daripada kemalaman dijalan. Toh, villanya juga paling tinggal 2 kilo.”

”2 kilo itu jauh Mova. Dan yang pasti kita tetap bakalan kemalaman. Lagian siapa juga yang mau jalan kaki malam–malam ditengah gunung yang hutannya masih lebat gini?” Rica bergidik,mendekatkan diri pada pacarnya, Danu.

”Guys, kayaknya kita gak perlu jalan kaki deh. Didepan itu rumah penduduk kan? Kita numpang aja nginap disana semalam ini, besok pagi baru kita lanjutin jalan ke villa.” kata Alvin yang baru bersuara.

”Mana?” tanya yang lain serentak.

”Itu..” tunjuknya kedepan mengarah pada sebuah rumah yang lumayan besar yang entah kenapa bisa ada ditengah gunung seperti ini. Dan yang paling janggal, rumah itu hanya berdiri sendiri.

”Ayo..” ajak Alvin berjalan lebih dulu.

”Vin, kau becandakan kita bakalan nginap disana?” tanya Rica.

”Nginap disana atau jalan kaki ke villa malam–malam?” tanya Alvin tanpa menoleh.

”Aku ikut Vin, tunggu!” teriak Mova menyusul yang tentu saja diikuti yang lain.

Mereka berlima, Mova, Rica, Danu, Restu dan Alvin berencana meu habiskan liburan semester kuliah divilla milik keluarga Mova digunung Salak. Tapi, Restu yang menjadi driver kehilangan arah ditengah jalan sehingga mau tak mau mereka harus memutar yang menghabiskan banyak waktu dan daya. Bensin mereka habis.

***

”Permisi? Ada orang didalam?” teriak Danu hampir putus asa karena telah berkali-kali menggedor pintu rumah yang mereka temukan.
”Mungkin penghuninya lagi pergi, Yang.” ucap Rica.

”Mana mungkin! Lihat aja listriknya nyala kok.” ucap Danu yang masih menggedor pintu sedang Alvin, Mova, dan Restu melihat sekeliling rumah.

”Rica, coba lihat apa yang kutemukan. Disebelah kanan rumah ini ada taman kecil yang ditumbuhi bunga mawar dengan banyak warna.” ucap Mova
”Oh ya? Dimana?”

”Sini!” Mereka berdua melihat taman itu.

”Wow, keren banget Mova. Aku gak pernah lihat yang kayak gini di Jakarta. Kalau siang pasti lebih cantik.”

”Mungkin memang gak ada kali Ca, yang kayak gini di Jakarta. Besok pagi aku mau kesini dulu deh sebelum kita ngelanjutin perjalanan.” ucap Mova terkagum–kagum.

”Guys, ngapain disana? Masuk!” perintah Restu.

”Udah kebuka? Pemiliknya mana?” tanya Mova.

”Udah, tapi pintunya kami dobrak. Soalnya orangnya gak ada sih.” ucap Restu.

”Tahu darimana orangnya gak ada? Ntar kalau orangnya datang gawat lho..”

”Tenang aja. Gak bakal.” ucap Restu penuh keyakinan.

”Yakin banget. Tahu darimana?”

”Eh, em... kalau itu...”Restu gelabakan.

”Darimana aja sih, Yang?” tanya Danu melihat kami yang baru saja tiba didepan pintu masuk.

”Kan tadi udah tahu kalau aku sama Mova pergi ketaman bunga disamping.” jawab Rica sambil bergelayut manja pada Danu.

”Oh, iya aku lupa.”

”Aku... duluan Ya Mova.” ucap Restu pergi.
Mova memendarkan pandangan ke segala arah dalam ruangan itu.

”Ini...” ucapnya terputus. ”

Kenapa? Meras De javu?”

”Apa?” tanya Mova pada si empu suara yang berdiri dibelakangnya, Alvin.

“Kau merasa pernah melihat tempat ini kan?” tanya Alvin lagi.

“Kau tahu? Aku juga terkejut saat melihat isi ruangan ini. Sangat mirip dengan yang pernah dilukis seseorang. Ruangan yang penuh dengan bunga mawar yang disalah satu sisinya ada aquarium berisi ikan koi.” jelas alvin.
Lukis? Maksudmu Restu?” Alvin hanya mengangkat bahu.

Mereka berlima berteman karena mereka satu kampus. Hobi mereka semua berbeda. Mova gemar membaca. Rica sangat senang sekali belanja. Danu si atlet basket dan Alvin sipenyuka photografi. Hanya Restu diantara mereka yang senang dengan seni lukis.

”Mova, coba lihat. Keren deh! Ikan Koinyagede – gede. Lagi pula banyak batu yang aneh. Lihat itu, bintik – bintik. Lucu banget!” Dilihatnya deretan batu dalam akuarium itu. Banyak sekali macamnya. Ada Obsidian, Kwarsa, dan Mika.

”Iya lucu Ca. Danu sama Restu kemana?”

”Tadi katanya mau kedapur. Mau lihat ada gak makanan yang bisa kita makan.”

”Kok mereka sih yang nyiapin makanan? Bantu yuk..”

”Eh, tapi aku mau lihat ini.”

”Rica!”

”Gak perlu Mova, makanannya udah siap kok. Kami nemuin makanan cepat saji.” kata Restu keluar dari sebuah pintu.

”Yuk, kita makan sama-sama didapur.” ajaknya lagi.

”Wah, Restu hebat. Kau ini seperti sudah tahu seluk beluk rumah ini dengan baik ya?” ucap Rica.
”Eh...” terlintas pikiran aneh yang baru disadari Mova dihatinya.

”Benar kata Rica, Restu terlalu banyak tahu tentang rumah ini.” ucap Alvin dibelakang Mova.
”Apaan sih Vin?”

”Yuk kita makan!” ajak Alvin sambil meninggalkan Mova sendiri.

***

Mereka semua makan dengan tenang didapur.
”Setelah ini kita istirahat ya. Tadi aku udah susurin rumah ini. Kamarnya lumayan banyak. Jadi kita bisa tempatin satu orang satu kamar.” ucap Restu.

”Kita berdua aja ya Mova?” tanya Rica.

”Iya.” Setelah selesai makan, mereka semua beristirahat. Namun ditengah malam...

”Aaaa...” terdengar suara teriakan seseorang dari arah sebelah kanan rumah. Taman mawar.

”Rica?” cari Mova saat tidak ditemukannya Rica dikamar. Segera dia keluar mencari sumber suara. Semua temannya sudah ada diluar, tapi ada yang aneh.

“Dan, kamu kenapa nangis?” tanya Mova pada Danu yang terdiam didepan pintu masuk.

“Rica...” ucapnya bergetar menunjuk kedepan. Mova mengalihkan pandangannya kearah yang ditunjuk Danu. Restu dan Alvin sedang berjongkok didepan sebuah tubuh wanita yang terkapar dengan darah yang masih mengalir dari lehernya. Dari pendar cahaya lampu taman, dapat terlihat darahnya juga mengenai beberapa mawar yang membuat warnanya menjadi merah darah. Nyaris menghitam.

“Rica?” ucapnya tak percaya.

“Gimana?” tanya Mova pada Alvin setelah dia selesai memeriksa Rica yang telah dibawa kedalam rumah.

“Urat lehernya terpotong benda tajam, darahnya terlalu banyak keluar.”

“Terlambat ya?” tanya Restu sedang Danu menangis sejadi-jadinya.

“Gak mungkin! Kita harus lapor polisi. Kita harus katakan kalau teman kita ada yang terbunuh.” kata Mova penuh ketakutan.

”Sudah kucoba Mova. Tapi tetap saja. Tidak ada sinyal.” jawab Restu.

”Kalau gitu kita harus cari bantuan.” kata Mova tambah panik. ”Kau kan tahu disekitar sini tidak ada rumah penduduk. Pemukiman terdekat ya yang kita lewati tadi siang. Sekitar satu kilo dari sini. Tapi jalan malam-malam kayak gini sama saja nyari mati.” ucap Restu lagi.

”Trus Rica gimana? Gak mungkin kan kita biarin jenasahnya disini?”

”Tapi kita juga gak mungkin keluar Mova. Apalagi sekarang hujan mulai turun.”

”Tapi...”

”Daripada berdebat tentang itu, aku jadi penasaran siapa pembunuhnya. Kita semua tidak melihat Rica keluar kan?” tanya Alvin.
”Lagipula sepertinya pembunuhnya ada diantara kita.” ucap Alvin lagi.

”Atas dasar apa kau bilang begitu? Kau menuduh kami? Rica itu pacar aku mana mungkin aku membunuhnya. Hah, iya mungkin kau yang membunuhnya karena kau yang pertama kali menemukannya kan?” tuduh Danu.

”Danu! Jangan bilang begitu. Kita memang tidak tahu siapa pembunuhnya, tapi setidaknya kita tidak perlu saling tuduh kan?” lerai Mova, ketakutannya tampaknya sudah mulai memudar.

”Dan kau Alvin. Benar kau yang menemukan mayat Rica pertama kali?” tanya Mova penuh selidik.

”Iya!”

”Apa kau lihat sesuatu yang mencurigakan?”

”Tidak, ketika aku datang Rica sudah terbaring.” jelasnya. Mova menatapnya tajam.

”Kau mencurigaiku?” tanya Alvin.

”Seperti yang kau bilang, semua orang diruangan ini bisa saja pelakunya.”

”Daripada ngomongin itu, boleh aku kekamar kecil sebentar? Aku mau nyuci bekas darah Rica yang menempel di tangan dan bajuku.” kata Restu yang memang dia yang telah mengangkat Rica masuk.

”Tidak ada yang melarangmu!” jawab Mova. Restu mendelik mendengar perkataan Mova.

”Ok, baiklah.” kata Restu sambil berjalan ke salah satu sisi ruangan yang ada akuariumnya. Dia berhenti sebentar didekat akuarium itu.

”Em, kamar mandinya disebelah mana ya?” tanyanya. ”

Tadi kau bilang sudah berkeliling. Masa gak tahu? Kamar mandinya kan ada didekat dapur.” teriak Alvin.

”Oh, soal itu...” ucapannya terputus, dia terlihat berpikir sejenak.

”Lupakan!”

***

Petir menggelegar diluar. Hujan yang turun kini semakin deras. Mereka semua beringsut berkumpul ditengah ruangan, menjaga jenazah Rica. ”

Tidurlah Mova, kau terlihat sangat mengantuk.” ucap Restu.

”Tidak. Aku mau disini. Menunggu Rica.”

”Disini ada kami.” tunjuk Restu pada dirinya, Alvin dan Danu yang entah mengapa masih saja menangis.

”Kubilang aku mau menunggunya!”

”Mova...” ucapnya lembut.

”Menurut kalian, senjata apa yang digunakan pelaku untuk membunuh Rica?” tanya Alvin.
”Sudah pasti pisau kan?” jawab Restu.

”Kau bahkan tahu kalau dirumah ini sama sekali tidak ada pisau. Bukan hanya itu, semua benda tajam seperti peralatan berkebun juga gak ada.”
”Tahu darimana?”

”Kami kan sudah mengeceknya tadi.” ucap Alvin.

”Kecuali pelakunya adalah orang luar. Mungkin pemilik rumah ini yang tidak senang sama kehadiran kita, senjatanya pasti sudah disembunyikanya atau mungkin sudah dibuang.” ucap Danu.

”Tunggu, tadi kalian bilang tidak ada pisau kan? Terus bagaimana kalian membuka makanan kaleng tadi?”

”Pakai pengungkit yang ada didapur.” jawab Danu lagi.

”Tapi bisa saja dirumah ini ada pisau dan kita hanya tidak ketemu.”

”Jika memang begitu, itu artinya pembunuhnya ada diantara kita, dan dia pasti sudah hafal benar seluk–beluk rumah ini.” jelas Alvin lagi.

”Tapi bagaimana dengan kemungkinan pisau itu sudah dibuang?”

”Kita sudah menyisir TKP kan? Yah, walaupun sebentar.”

”Hmm. Kau benar.” ucap Mova lagi.
Mereka semua terdiam. Lambat laun akhirnya Mova tertidur juga ditempat duduknya sambil bersandar.

”Arrghh....” suara terpekik kembali membangunkan tidurnya. Mova terkejut melihat apa yang tersaji dihadapannya.

”Danu?” ucapnya tertahan. Lagi. Satu teman mereka kembali kehilangan nyawa dengan cra yang sama, kehilangan banyak daraj akibat urat leher yang terputus. Mayat Danu terbaring didepan pintu masuk kali ini. Darahnya juga menghambur seperti darah Rica yang juga mengenai mawar dalam guci yang berada dilemari tak jauh darinya.

”Danu?” ucap Mova tak percaya. Dia ikut berjongkok seperti temannya yang lain.
”Sebaiknya kita bawa jasadnya kedalam agar kita bisa menutup pintunya.” Ucap Restu yang tanpa disetujui langsung mengangkat mayat Danu dan meletakkannya disebelah mayat Rica, sedang Alvin buru – buru menutup pintu setelah itu.
”Kenapa ini bisa terjadi lagi?” tanya Mova frustasi. Temannya yang ditanya hanya diam.

”Aku juga tak tahu Mova, setelah mendengar teriakan Danu, aku terbangun dan melihatnya sudah terkapar didepan pintu dan Restu sudah lebih dulu disebelahnya.” ucap Alvin.

”Sepertinya pelakunya memang orang luar. Pintunya terbuka kan?” tanya Restu.

”Aku tak tahu, yang jelas nyawa kita juga dalam bahaya sekarang, sebaiknya kita pergi meninggalkan rumah ini secepatnya sebelum ada korban lagi.” ucap Alvin.

”Tadi kau bilang sebaiknya kita menginap disini semalam.sekarang malah mau pergi.” sergah Restu.

”Keadaannya sudah lain Res, dua teman kita sudah meninggal.” kecam Alvin. Mova hanya bisa terdiam dengan airmata yang membasahi wajahnya melihat dua temannya beragumen dan juga jasad kedua temannya. Tiba-tiba lampu diruangan ini berkedip.

Ada apa ini?” tanya Mova ketakutan.

”Entahlah, sepertinya ada masalah dengan mesin gensetnya.” jawab Restu.

”Genset? Listrik disini dinyalakan dengan genset?”

”Iya, ada digudang.” jawab Restu.

”Kapan kau memeriksa gudang? Kita bahkan tak keluar rumah semenjak jasad Rica kita ketemukan sedang sebelum itu kita juga berkumpul diruangan ini kan? Dan tak mungkin kau pergi saat kita sedang tertidur karena kau tidur lebih dulu dariku.” tanya Alvin pada Restu.

”Oh, itu aku tak sengaja temuin pas kita memeriksa rumah ini tadi sewaktu kita baru datang. Sumpah!” ucap Restu seperti sedang menutupi sesuatu.

”Tak penting soal itu sekarang! Sebaiknya kita ambil bensinnya dan isi kemobil!” ucap Mova.
”Bensin?”

”Iya, genset kan dinyalakan dengan bensin.”

”Kau benar Mova, harusnya aku sadar dari tadi.” ucap Restu berpikir.

”Bofh..” listriknya benar–benar mati sekarang.

”Ah.. sial!” umpat Alvin. ”Sebaiknya kita kegudang sekarang mengambil bensinnya. Gunakan cahaya dari ponsel kalian. Mova sebaiknya tinggal disini. Biar aku dan Restu yang pergi.” perintah Alvin.

”Baik.” katanya.

Sepeninggal mereka berdua, Mova hanya sendiri diruangan itu ditemani 2 jenazah temannya. Cahaya redup dari ponselnya menerangi. Dia berjalan kearah dinding didekat akuarium.

”Apa sebenarnya yang terjadi?” ucap Mova sambil memandang akuarium itu seperti sedang berbicara pada ikan-ikan didalamnya. Tak sengaja matanya menangkap hal yang aneh pada akuarium itu.

”Jejak air? Kenapa air dalam akuarium ini berkurang?” tanya Mova pada dirinya sendiri. Dia mengawasi setiap inci dari isi akuarium itu dan terkejut mendapati kenyataannya.

”Batu Obsidiannya tidak ada.” ucapnya tertahan.
”Kalau tidak salah, tadi Restu memegang akuarium ini ketika mau mencuci darah Rica kan? Berarti sekarang Alvin dalam bahaya!” ucapnya setengah menjerit sambil berlari kearah gudang.

***

”Mova lari...” terdengar suara Alvin berteriak saat dilihatnya Mova berlari mendekati gudang sebelum tubuhnya terjatuh kelantai dengan luka dikepala.

”Restu... apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu...” ucap Mova terputus karena melihat Restu yang membawa sebongkah batu Obsidian yang telah runcing salah satu sisinya yang juga diselubungi darah.

”Ini memang harus kulakukan Mova, karena mereka hanya sampah!” jawab Restu sambil berjalan kearah Mova.

”Apa maksudmu?” dia berusaha menjaga jarak dengan Restu.

”Kau masih bertanya apa maksudku? Kau tak paham ya?” ucap Restu marah.

”Sudah berapa kali aku menyatakan cinta sama kamu, Mova? Sudah berapa kali! Tapi kau sama sekali tidak menggubrisnya kan? Pasti alasannya karena kau menyukai Alvin. Jadi tentu saja dia pantas mati karena sudah mengambilmu dariku.”
”Apa yang kau katakan?”

”Dan kenapa aku juga membunuh Danu dan Rica? Ya. Karena Danu itu pacaran sama Rica hanya untuk mendekatimu. Dia tidak sungguh – sungguh mencintai Rica, sahabatmu itu. Dan Rica? Dia itu hanyalah gadis bodoh yang bisa dimanfaatkan, jadi daripada dia hanya jadi mainan lebih baik dia mati!”

Mova terus beringsut kebelakang, namun langkahnya terhalang karena rumpun mawar, tubuhnya terhenti.

”Rumah ini sudah kupersiapkan untuk kuburan mereka, aku baik kan? Aku sudah memberikan mereka rumah yang indah untuk peristirahatan mereka yang terakhir, rumah yang sangat kau sukai karena dipenuhi dengan bunga mawar, bunga kesukaanmu. Dan sekarang maukah kau jadi pacarku dan menikah denganku, My honey?”ucap Restu makin mendekat.
Dia masih membawa batu Obsidian itu ditangannya.

”Kau gila!”

”Jika kau menolak, rumah ini juga akan jadi kuburanmu.”

”Kalau begitu aku lebih baik mati!”

”Kau memilih mati? Kau tidak ingin bersamaku? Baiklah, tapi kau yang minta Mova.” ucapnya lalu dengan satu gerakan dia berusaha menangkap tubuh gadis itu. Tapi Mova berhasil lari.

”Kau tak kan bisa lari, Mova.” Restu mengejarnya, Mova tertangkap karena kekuatannya tak sebanding dengan Restu.

”Kau harus mati, Mova!”

”Lepas Restu..”

”Bukkk...” Restu terjatuh, dia dipukul seseorang dari belakang dengan tongkat.

”Maaf Nona, saya terlambat datang!” ucap orang yang telah menolongnya itu, seorang Bapak tua.

”Terima kasih, apa dia meninggal?” tanya Mova menunjuk Restu.

”Saya tidak tahu, Nona. Sebaiknya kita periksa.” ucap Bapak itu. Tapi hanya Mova yang berjongkok memeriksa tubuh Restu.

”Syukurlah, dia hanya pingsan. Oh ya, Bapak ini siapa?” tanya Mova pada Bapak itu sambil mendongak. Belum sempat dia mendapat jawaban pandangannya menghilang, hanya gelap. Dia terbaring ditanah dengan kepala yang penuh darah akibat dihantam benda tumpul.

”Maaf Nona, Tuan Restu yang ingin rumah ini jadi kuburan bagi kalian saat aku mulai bekerja untuknya. Dan ketika pesta darah ini dimulai, bagiku tak ada yang boleh pulang dengan selamat!” ucap Bapak itu misterius, lalu pergi kegudang dan mengambil segalon minyak yang disiram kesekeliling rumah lalu menyulut api membakar rumah itu dan kelima jasad mahasiswa didalamnya.

”Selamat jalan semua.” ucapnya sadis.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar