Follow

Senin, 13 November 2017

Kakakku Seorang Pembunuh - Karya Lindsay 'Lov

Hari masih gelap saat aku tersentak dari lelap tidurku. Sebuah suara yang nyaring dan tajam langsung terdengar memekakkan telinga. ‘Suara itu lagi!’ Pikirku kesal. Suara beradunya dua benda tajam, saling mengikis seraya mengeluarkan suara sayatan yang membuat gigi terasa ngilu. Suara yang paling tidak kusuka dan yang membuatku terbangun. Suara yang...ih, sungguh mengejutkanku. Juga menggangguku! Sekilas kulirik jam dinding di kamarku. Ternyata masih jam empat pagi.

‘Pasti Kakak!’ bisikku meninju bantal. Terbayang olehku wajah serius Kakak yang tengah melakukannya. Ia pasti akan tersenyum puas saat mendapatkan sebuah benda yang amat tajam hingga bila ada kertas yang terjatuh ke atasnya, maka akan terbelah dengan sendirinya.

“Apa yang Kakak lakukan?” tanyaku gelisah. Aku berdiri di ambang pintu kamar kerja Kakak yang terbuka.

“Seperti yang kau lihat, aku mengasah pisau.” Jawab Kakak tanpa menoleh. Jelas sekali nada suaranya ringan dan santai seolah tidak akan terjadi apa-apa.

Aku menghentakkan kaki karena kesal, “aku tahu. Maksudku…kenapa, kak? Kenapa harus mengasah pisau lagi?”

Kulihat kakak tertawa menyeringai, “kau ini ada-ada saja. Menanyakan hal yang kau sendiri sudah tahu jawabannya.”

“Karena aku tidak suka dengan apa yang akan kakak lakukan.” Ucapku tegas. Dan ucapan itu tampaknya membuat Kakak tertegun dan menghentikan pekerjaannya. Lalu menoleh ke arahku.

“Kita sudah lebih dari seratus kali membahas masalah ini. Sudahlah. Lanjutkan tidurmu dan biarkan Kakak sendiri.” Tegas Kakak kembali melanjutkan pekerjaannya. Kembali suara beradunya dua benda tajam yang menulikan telinga terdengar menyayat kalbu.

“Kak, tidak bisa kah Kakak mencari pekerjaan lain?”

“Tidak.”

“Kenapa? Kakak belum mencoba, kan?”

Kakak tidak menjawab. Hanya tangannya yang tetap bergerak sibuk menipiskan mata pisaunya yang tampak berkilatan dan sangat menakutkan.

“Carilah pekerjaan lain, kak. Yang tidak berhubungan dengan pisau. Yang tidak membaluri tangan kakak dengan darah. Yang tidak mencabut nyawa…”

“Jangan mendikteku, Lativa!” penggal kakak tampak tak senang. Wajahnya yang tampan berubah kelam, “kau tahu aku tidak punya kemampuan lain selain menggunakan pisau.”

“Banyak, Kak, pekerjaan yang menggunakan pisau tetapi tidak harus membunuh…”

“Maksudmu menjadi tukang masak, gitu?”

“Apa saja,kak, Asalkan tidak seperti ini.”

Kakak tampak menggeleng. Lamat-lamat dia kembali meneruskan pekerjaannya.“Aku harus melakukannya, Lativa. Mereka sudah membayarku untuk melakukannya.”

“Tapi aku tidak suka, kak!” rengekku hampir menangis. “Aku tidak ingin kakak menghabisi begitu banyak nyawa karena perintah orang-orang itu.”

“Kenapa kau ini?” tanya kakak menatapku heran, “kau lupa kalau pekerjaan ini sudah turun temurun dikeluarga kita? Dari kakek turun ke ayah. Dan setelah ayah tidak ada, akulah yang harus mengambil alih pekerjaan ini. Kita tidak bisa keluar dari lingkaran pisau dan darah, Lativa. Pahami itu.”

“Justru itu, kak. Biarlah hanya kakek dan ayah saja. Kakak jangan mengambil alih tugas kejam ini. Membunuh adalah perbuatan berdosa!”

Kakak tertawa terbahak-bahak mendengar serangkaian protesku, “Suka atau tidak, kau harus menerima pekerjaan kakak ini!”

“Kakak sudah kehilangan rasa kasihan, rupanya.”

Kakak diam tak menjawabku.

“Kak…”

“Lativa! Aku tidak mau beradu argumentasi lagi denganmu. Kita sudahi saja pembicaraan ini sampai di sini.” Ucap Kakak dengan tegas. Kulihat ia memasukkan kedua pisaunya ke dalam kotak perlengkapannya. Lalu mencabut jaketnya dari gantungan di dinding. Saat itulah sebuah fhoto terjatuh dari saku jaket kakak, dan melayang hingga jatuh di ujung kakiku. Aku segera meraih fhoto itu dan melihat dengan mata terbelalak.

“Kak! Bukankah ini…ini…Awang?” tanyaku bagai disambar petir.

“Kau kenal?”

“Dia…dia temanku sejak kecil, Kak. Kenapa fhotonya bisa ada sama Ka…” aku terdiam sejenak. Kulihat wajah Kakak berubah sedikit keruh. “Kak! Kakak akan…MEMBUNUH AWANG?” pekikku tertahan.

Kakak tidak menjawab. Dia hanya menatapku dan mengangguk lemah.

Aku langsung merasa dunia akan roboh seketika, “ta…tapi kenapa kak?”

“Aku diperintahkan untuk…”

“TIDAK!” teriakku menggeleng keras, ”Kakak tidak boleh membunuh Awang.”

“Aku harus, Lativa. Aku sudah dibayar. Dan uanganya…”

“Kembalikan uangnya, Kak! Tolong kembalikan!”

“Itu akan menjatuhkan reputasiku!”
“Aku tidak perduli! Pokoknya Kakak tidak boleh membunuh sahabatku, Awang!” ucapku memukul-mukul dada Kakakku dengan marah.

“Hei! Hei! Kenapa kau jadi seperti kesurupan gini? Awang bukan sahabatmu. Dia pernah menyakitimu hingga kau masuk rumah sakit. Kau lupa?” bentak Kakak seraya menangkap tanganku dan berusaha menghentikan kemarahanku.

“Itu sudah lama sekali, kak. Dan lagi aku tahu Awang tidak sengaja melukaiku saat itu.”

“Hah!” Kakak mengibaskan tangannya, “tapi tetap saja kau hampir kehilangan nyawa gara-gara si gila itu! Dan kau mana tahu sudah berapa orang yang ia sakiti karena kau tidak tinggal disini semenjak SMU? Semua orang diganggunya. Dia seperti iblis yang berkeliaran disekitar sini dan menakuti banyak orang. Awang tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama lagi.”

“Tapi bukan berarti Kakak berhak membunuhnya, kan?”

“Aku sudah mendapat hak untuk menghabisi nyawanya.” Tegas Kakak seraya menyelempangkan tas perlengkapannya di bahu.

“Kakak…”

“Lativa! Ini adalah hukum alam. Kau harus dapat menerimanya.” Ucap Kakak tegas. Lalu matanya menatapku dengan pandangan tajam. Namun bagai ada danau teduh di dalamnya untuk memberiku kenyamanan. Sesaat. Setelah Kakak pergi, aku langsung kembali ke kamar dan menghempaskan tubuh ke ranjang.

“Kenapa, Kak? Kenapa kakak harus membunuh Awang? Apa karena dia jahat atau karena harga daging sapi di pasaran sudah begitu mahal dan semua orang ingin membeli dagingnya? Jangan bunuh, Awang, Kak. Sekalipun dia sapi yang nakal!” bisikku seraya menghapus air mata.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar