Follow

Sabtu, 11 November 2017

Kasih Tak Sampai - Karya Amelia Fiza

“Kita putus!” kalimat sederhana itu keluar begitu saja dari mulut Edwin. Sederhana baginya, tapi tidak untuk gadis di sebelahnya yang tampak shock saat dua kata itu terucap.

“T-tapi.....kenapa, Win?” tanyanya terbata. Bulir-bulir bening tampak mulai menggenang di pelupuk matanya. Mendesak ingin keluar, tapi tetap tertahan, menggantung saja di bola matanya.

“Aku sudah gak nyaman menjalani hubungan ini. Kamu over protektif, cemburuan, egois, dan itu mengekangku, Liz.”

“Tapi aku masih cinta kamu, Win. Tolong pertimbangkan lagi keputusan kamu, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya, aku janji aku akan berubah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Pinta Liz dengan nada memohon, air matanya mulai menetes satu-persatu.

“Ini bukan lagi soal cinta, bahkan aku belum bisa sepenuhnya mencintai kamu. Aku hanya butuh kenyamanan, Liz, yang sekarang sudah hilang.” Edwin mendesah, suaranya tampak putus asa. Ia lalu berjongkok di hadapan gadis yang baru saja diputuskannya, mencoba memberi pengertian, atau lebih tepatnya memaksanya untuk menerima keputusannya yang menyakitkan.

“Aku tau ini menyakitkan. Aku minta maaf. Tapi aku juga gak bisa melanjutkannya lagi, aku capek bertengkar terus, sedang kamu gak pernah mau mengerti dan bersikap dewasa. Liz, cari saja laki-laki lain yang bisa mencintaimu sepenuhnya. Karena dengan begitu kamu akan bahagia.” Jelasnya lagi.

“Bahagiaku cukup dengan adanya kamu, Win. Aku gak minta banyak.”

Edwin bangkit, lantas berbalik memunggungi Liz yang masih duduk lemah di bangku taman. Tempat dimana dulu mereka mengikat komitmen, dan juga melepas komitmen itu sekarang.

“Pulanglah, Liz. Tenangkan hati kamu.” Ucapnya kemudian. Ia lalu pergi meninggalkan Liz yang masih melanjutkan tangisnya, tanpa menoleh lagi.

***

Tidak. Perpisahan ini tidak seharusnya terjadi. Liz yakin ia bisa memperbaikinya lagi, kalau alasan Edwin memutuskannya hanya karena sikapnya yang kekanakan, ia bisa merubahnya. Dan Liz tetap bertekad meminta kesempatan pada Edwin, meminta lelaki itu menjadi pacarnya lagi. Berkali-kali ia minta, berkali-kali pula Edwin menolaknya. Begitu yang terjadi meskipun telah hampir enam bulam mereka berpisah. Dengan menafikan harga dirinya sebagai perempuan, Liz pantang menyerah, mungkin saja Edwin perlahan akan luluh kalau ia terus memohon, pikirnya. Tapi ia salah. Salah besar. Karena Edwin tak lagi mau menoleh padanya.

“Maafin aku, Liz, aku gak bisa nerima kamu lagi. Aku sudah lebih nyaman sekarang, lebih tenang. Lagipula, aku sudah punya pacar, kamu sendiri tau kan hal itu?! Jadi berhentilah memohon dan merengek seperti anak kecil, percuma. Tolong jangan paksa aku, Liz. Aku mohon.” Jawab Edwin menolak dengan tegas—kali ini bahkan dengan penjelasan yang cukup panjang—saat kesekian kalinya Liz memintanya untuk kembali lagi padanya.

“Jadi, benar...kamu...sudah...punya...pacar lagi sekarang?” tanya Liz terbata-bata, mencoba meyakinkan dirinya dengan bertanya langsung pada sumbernya, karena selama ini dia hanya mendengar selentingan kabar itu dari teman-temannya: bahwa Edwin sudah punya pacar baru.

“Iya, kamu sudah dengar beritanya kan? Aku tau, beberapa temanmu mungkin akan bergosip disana-sini, saat aku berdua dengan seorang perempuan dan berpapasan dengan mereka di jalan, atau dimanalah...”

“Apa...dia...mencintaimu? Pacarmu, apa dia mencintaimu? Apa...kamu...bahagia?” tanya Liz lagi, kali ini sambil menahan sesak dan tangis, kentara dari suaranya yang mulai serak. Tapi gadis itu tetap tegar, ia bahkan menatap Edwin tepat di manik matanya. Menantang. Seolah mencari kebenaran di mata itu.

Edwin balas menatapnya, “Ya. Dia mencintaiku, dan aku juga mencintainya. Meskipun belum sebesar cinta yang kamu berikan padaku, setidaknya dia sudah memberiku kenyamanan. Sesuatu yang tidak aku dapatkan darimu.” Tegasnya kemudian, seraya memberi penekanan pada kalimat terakhir.

Liz tertunduk sedih, tak kuasa lagi menatap lelaki di depannya. Ia lantas berbalik, berjalan terseok meninggalkan tempat itu. Tetes demi tetes cairan bening jatuh dari pelupuk matanya, seiring dengan langkahnya yang mulai tak terarah.

***

Tapi...apakah hanya sampai disitu? Apakah air mata itu juga meluruhkan harapannya? Tidak. Gadis itu terlalu keras kepala untuk menyerah.

Edwin boleh melepasnya, membuangnya, bersikap tidak peduli padanya, bahkan melupakannya sekalipun, tapi lelaki itu tetap tak bisa menghapus cinta yang telah ia rawat dengan baik di hatinya. Liz tak berhenti memohon, namun kali ini bukan lagi pada Edwin, melainkan langsung pada Tuhan, Sang Pemilik Cinta. Atau bahkan pada keduanya: Edwin dan Tuhan.

Hanya saja, sekarang dia lebih pasrah. Tak lagi memaksa seperti dulu. Kecuali hari ini, saat ia meminta Edwin menemuinya di taman. Dan terkecuali untuk hari ini juga, Edwin bersedia menemuinya, tanpa keberatan. Di tempat yang sama, di bangku yang juga tak pernah berubah keberadaannya.

“Aku gak akan maksa kamu lagi untuk kembali padaku, kalau itu yang jadi pertanyaanmu saat ini, kenapa tiba-tiba aku minta kita bertemu. Aku hanya ingin melihat kamu, Win, sebelum kita benar-benar berpisah. Emm, dan juga ini...” Liz menggantungkan kata-katanya. Ia mengeluarkan sebuah gantungan kunci dengan bentuk karakter manga dari dalam tasnya lalu menyodorkannya pada Edwin. Lelaki itu hanya mengernyit heran. 
“Ini, tolong kamu simpan dengan baik. Sepertinya memang kekanakan, tapi tak apalah. Dari kemarin aku mencari barang yang pas buat aku kasih ke kamu, tapi aku cuma nemu itu. Anggap saja itu kenang-kenangan dariku, setidaknya kamu akan mengingatku saat melihatnya.” Liz diam sejenak, mengambil jeda untuk sekedar menghela nafasnya yang mulai berat. “Aku minta maaf, Win, untuk semua kesalahan yang pernah aku perbuat ke kamu. Kamu benar, aku masih terlalu kekanakan.”

“Liz, apa...maksud dari semua ini? Hm?” tanya Edwin kemudian. Baru membuka suara karena rasa penasaran yang mendesaknya. Keadaan ini terlalu canggung.

“Aku akan pergi, Win. Dan sepertinya gak akan pernah kembali lagi kesini. Jadi, anggaplah ini pertemuan terakhir kita.”

“Pergi? Kemana?”

“Pulang. Aku akan kembali ke rumah. Mencari ketenangan, memulai hidup baru tanpa kamu. Tapi, tanpa menghilangkan sedikitpun cintaku padamu. Seperti yang aku sering bilang, jika nanti gak ada lagi orang yang mau nerima kamu, aku akan tetap menerimamu, apapun keadaanmu.”
“Apa...kita...bisa... ketemu...lagi?” kali ini Edwin yang bertanya terbata. 

“Bisa, tapi mungkin dengan keadaan yang amat jauh berbeda.” Jawab Liz lebih tenang dari biasanya. Ia lalu bangkit, merapikan roknya, lalu menatap Edwin sekilas. “Aku harus pergi sekarang, Win. Jaga diri kamu baik-baik. Selamat tinggal, Edwin.” Ucapnya kemudian, mengakhiri pertemuan mereka.

Edwin jengah. Ia hanya membiarkan mulutnya terbuka tanpa ada kata yang terucap, entah ‘selamat tinggal juga’, atau hanya sekedar ‘hati-hati’, tapi Edwin tak mengucapkan sepatah katapun. Kerongkongannya tercekat begitu saja. Ia pernah ditinggalkan, sering juga meninggalkan, tapi kali ini rasanya tak sesakit dulu. Meskipun ia telah memutuskan Liz berbulan-bulan lalu—bahkan kini telah mendapat gantinya—ia tau Liz tak pernah benar-benar meninggalkannya. Dan kini, gadis itu dengan mantap mengucapkan ‘selamat tinggal’ padanya. Sedang ia hanya bisa menatap sosok itu yang berjalan semakin jauh, menghilang di kepadatan jalan raya.

Edwin beralih menatap benda kecil yang digenggamnya, sebuah gantungan kunci. Lalu disimpannya benda itu di saku kemejanya, di tempat yang paling dekat dengan hatinya.
Liz pergi, tanpa mau menoleh lagi.

***

10 tahun kemudian...

Edwin berjalan tenang menyusuri areal pertokoan, mencoba berkenalan dengan lingkungan sekitar. Ia baru pindah ke kota ini beberapa bulan yang lalu, dan baru sempat jalan-jalan setelah sebelumnya disibukkan dengan tugas-tugas kantor. Masalah keluarganya yang cukup menyita pikiran, memaksanya untuk berkelana, mencari ketenangan.

Langkahnya tiba-tiba berhenti di depan sebuah toko mainan. Matanya dengan teliti mengamati dari balik kacamata, seorang perempuan berusia 30-an menggandeng seorang anak laki-laki. Keduanya tampak mengamati sebuah mainan yang terpajang di dalam toko. Edwin menghampiri, lalu menyapanya dengan suara pelan, “Rosa? Kamu benar Rosa, kan?” tanyanya hati-hati.

Perempuan itu mengernyit, mencoba mengingat-ingat lelaki di hadapannya. “Edwin ya?” ia balas bertanya, memastikan.

“Iya, kamu masih ingat aku?”

Begitulah pertemuan itu terjadi. Selanjutnya mereka memilih berbincang di kafe terdekat. Bertemu teman lama, nostalgia atau reuni, entah apalah namanya. Yang pasti Edwin punya tujuan tersendiri. Dia senang bertemu orang yang dikenalnya di kota asing ini. Rosa, teman dekat Liz, yang juga teman sekampusnya dulu.

“Itu anak kamu?” tanyanya seraya menunjuk anak laki-laki yang sibuk melahap es krimnya.

“Iya, umurnya baru lima taun. Kamu, gimana? Em, maksudku, keluarga kamu?”

“Aku cerai, Ros, tiga taun yang lalu. Kami tidak memiliki keturunan karena...aku mandul. Keluarganya tidak bisa menerima keadaanku, dan memaksa kami bercerai. Setahun kemudian, mantan istriku menikah lagi, dan mereka sudah punya anak sekarang.” Jelas Edwin sedih.
Rosa hanya tersenyum kalem, tak tau mau jawab apa.

“Em, oh ya, apa kabar Liz? Kamu masih sering ketemu dia?” tanya Edwin lagi, langsung pada tujuannya.

Rosa tampak kaget, diurungkannya niat menyeruput jus mangganya. Ia menatap Edwin, ekspresi wajahnya tak terdefinisi, antara terkejut, bingung, sedih dan menyesal. “Emm, kamu belum dengar kabar? Emm, Liz..... Liz sudah meninggal, Win, tiga tahun yang lalu, terserang kanker hati.” Jawab Rosa dengan intonasi sepelan mungkin, suaranya bahkan nyaris tak terdengar, tapi berhasil menciptakan echo di telinga Edwin.
Bagai tersambar petir di siang bolong, lelaki itu tertunduk lemas, tak berdaya. Ia sudah tak mendengar lagi apa yang dibicarakan Rosa. Pandangannya buram, suara-suara di dalam kafe berganti dengan suara-suara dari masa lalu. Seolah keperkasaannya sebagai lelaki hilang di antara dengungan suara-suara itu, Edwin ambruk. Ia pingsan.

***

“...jika nanti gak ada lagi orang yang mau nerima kamu, aku akan tetap menerimamu, apapun keadaanmu...”. Kalimat itulah yang lantas membawanya ke tempat ini, kampung halaman Liz. Mencari gadis itu saat tak ada lagi orang yang mau menerima keadaannya. Jahat memang, seolah ia hanya datang ketika butuh saja. Tapi begitulah, dulu ataupun sekarang, tetap pada Liz juga ia kembali saat tak ada lagi orang yang menghendakinya. Kini, bahkan Liz pun juga enggan menerimanya.

Edwin pergi ke makam Liz keesokan harinya, berbekal sedikit informasi dari Rosa perihal letaknya, karena ia juga belum hafal betul kota ini. Langkahnya terhenti saat tiba di depan sebuah makam yang tanahnya tak lagi merah basah, tak juga bergundukan karena telah dibangun seperti umumnya kuburan, rumput-rumput yang agak tinggi pun membuktikan bahwa makam ini memang sudah ada cukup lama. Ia menunduk, meletakkan setangkai mawar putih di dekat batu nisan, dan menatap nisan itu lamat-lamat seolah ia bisa menatap seseorang yang tertidur di dalam tanah itu. Hanya bisa begitu, menatap nisannya selama mungkin.

Perlahan tubuh lelaki itu luruh ke tanah, berbagai perasaan menyergapnya. Ia rindu, sedih, marah, juga menyesal. Ya, Edwin amat menyesal ketika ia tetap membiarkan Liz pergi, menyesal pula karena ketika itu ia terlambat menyadari bahwa masih ada tunas cinta dalam hatinya untuk gadis itu. Sekarang ia pun menyesal, karena Liz tidak akan pernah tau betapa ia sangat menginginkannya kembali lagi menjadi kekasihnya, seperti dulu. Dengan rasa yang berbeda, karena kini ia sungguh-sungguh mencintai gadis itu.

Hilang sudah harapan terakhir dan satu-satunya, hilang sudah kekuatannya, hilang sudah segalanya. Jika memang benar air mata bisa menyembuhkan luka dan menghapus penyesalan, maka Edwin menangis.
 
Sesuatu terjatuh dari saku kemejanya ketika dia menarik sapu tangan dari dalamnya. Sesuatu berwarna perak, berbentuk karakter manga, benda yang sepuluh tahun terakhir ini menjadi penghuni tetap saku kemejanya: sebuah gantungan kunci yang diberi Liz sebagai hadiah perpisahan sebelum ia pergi. Edwin menatapnya lekat-lekat, ia lalu kembali berdiri tegak, bersiap untuk pergi. “Selamat tinggal, Liz. Aku mencintaimu.” Ucapnya singkat.

Kembali Edwin menatap gantungan kunci yang digenggamnya, tersenyum sekilas, lalu menyimpannya lagi di saku kemejanya, di tempat yang paling dekat dengan hatinya.

-Selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar