Follow

Selasa, 14 November 2017

Janji Indah - Karya Lady

Aku memandang keluar melalui jendela pesawat, memori masa lalu kembali melintas. Setelah memberikan senyum manis pada pilot yang mengucapkan terima kasih pada setiap penumpang, aku melangkah agak cepat. Sangat buru-buru. Hanya saja yang kukhawatirkan terjadi. Pria itu berdiri di bawah eskalator, tersenyum sumringah tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Seharusnya Papa tunggu diluar, bukan penumpang kan dilarang masuk,” ujarku sambil mencium kedua pipinya. Kumis Papa masih tajam seperti dulu, aku meringis pelan.

“Itu aturan untuk masyarakat sipil,” jawabnya acuh, aku menaikan sebelah alis, “Papa kan sipil plus-plus,” dasar tentara sableng! Kami berdua berjalan menuju taksi yang sudah dipesannya. “Beda kamu sama Mama kamu yang Papa suka, kamu anak Papa yang gak ribet, ndak perlu bawa pakaian berkoper-koper,” eh! Apa?

Aku mematung dan menepuk dahiku. “Pa, bagasi..,” suaraku mencicit. Haish!

***

Pria itu berdiri disana. Sepanjang yang bisa aku ingat, dia selalu menghabiskan waktunya di pinggir dekat sungai. “Apakah saat kita bertemu akan selalu di tempat ini?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia berbalik. Menampakkan wajahnya yang penuh wibawa.

“Apa kau bosan bertemu disini?”

“Tidak juga, semakin sering berada disini, aku semakin menyukai tempat ini,” dia menegang. Sebelah tangannya menyentuh pipi kananku.

“Jangan pergi lagi,” pintanya.

“Tidak akan.” Aku menengadah melihat langit malam yang pekat, hanya ada bulan tanpa bintang. Aku melenguh pelan, dia membisu membiarkan aku sama seperti bulan yang kesepian.

“Kau lebih indah dari bulan, Indah,” katanya seolah mendengar pikiranku. “Aku hanya menerka isi pikiranmu,” aku menatapnya tajam, dia tersenyum acuh. Permana selalu tahu cara mengacaukan pikiranku, “Sungguh aku tak tahu itu,” kali ini ia tersenyum geli, “sebaiknya kau pulang, subuh akan segera tiba,” dia mengecup keningku lalu membalikan tubuhku.

Air sungai yang pasang menyapu kakiku yang terus berjalan menjauh dari tempat itu. Waktu selalu mempermainkanku saat bertemu dengan Permana. Waktu yang lama terasa begitu singkat.

***

Keesokan harinya, kami bertemu lagi. Jam yang sama dan tempat yang sama. Aku mengikat rambutku tinggi-tinggi. Tapi dia, tanpa ba-bi-bu, melepaskan kuncir rambutku dan mengenakan di tangannya. Aku tersenyum, Permanaku selalu tampan dan sangat kurindukan.

“Aku memang tampan dan aku juga merindukanmu, Indah,” lagi-lagi ia menjawab kata-kata yang ada dipikiranku. “Karena matamu begitu bening, aku bisa membacamu dengan mudah,” benarkah? “Benar.”

Aku menggeram frustasi, “Jelas ada yang salah disini, Permana,” ia tersenyum geli.

“Tidak ada yang salah dari mencintai dan dicintai,” katanya. Aku tak bisa menjawab apa-apa, wajahku memanas. Syukurlah menit selanjutnya kami hanya menikmati malam yang indah. Dan akan selalu indah jika bersamanya.

***

Sejak hari pertama aku tiba di Palembang hingga hari ini, setiap malam aku selalu bertemu dengan Permana. Kami sudah kenal lama, saking lamanya aku bahkan sudah lupa kapan pertama kali bertemu, tapi hubunganku dengannya seperti jalan di tempat. Aku sudah berjanji padanya untuk tetap berada disini, tapi tinggal di Palembang dan meninggalkan semua kerjaanku, itu lain cerita. Setidaknya aku harus mengurus kepindahanku dan minta izin dengan Mama.

Permana bukan pria yang mudah, dia sulit untuk kumengerti. Sebab itu, menyampaikan perpisahan sementara ini membuatku sakit kepala sejak tadi pagi. “Mau kemana Yu’ malam begini?” tanya Papa tumben. Aku mengernyit heran.

“Gak kemana-mana, cuma mau duduk di teras,” jawabku setengah berbohong. Rencananya setelah duduk-duduk nggak jelas di teras, aku ingin bertemu Permana.

“Malam ini jangan kemana-mana, di rumah saja,”

“Kenapa?”

“Pak Cik kamu mau berkunjung,” lagi-lagi aku mengernyit. Adik bontot Papa, Pamanku yang satu itu, hobinya aneh, salah satunya tidak pernah ‘hanya’ sekedar berkunjung. Setiap kali dia berkunjung, pastilah ada hal-hal irrasional yang jadi urusannya. Dan sekarang, ia mau berkunjung di hari terakhir aku di Palembang. Aneh!

“Oh, okey, aku cuma di teras kok Pa,” kataku acuh dan berjalan keluar. Aku memandang lesu langit yang benar-benar gelap tanpa bulan maupun bintang, angin malam yang berhembus membawa uap panas di kulitku. Sejujurnya, aku dan kota kelahiran Papa sama sekali tak cocok. Satu-satunya yang membuatku sering datang berlibur hanyalah 2P, Papa dan Permana.

Saat Papa benar-benar lengah, aku mengendap turun dan pergi menuju tempat biasa kami bertemu. Aku berjalan cepat melalui jalan kecil yang terbuat dari kayu untuk bisa lebih dekat ke sungai. Karena terlalu cepat dan tak hati-hati, aku terpeleset. Kalau bukan karena Permana menahan tubuhku, aku pasti sudah terjungkal.

Aku menghembuskan napas lega, “Jalannya licin,” kataku basa-basi berusaha menghilangkan grogi berada dalam pelukan Permana. Ya Tuhan, Permana sungguh tampan.

Dia hanya memandangku dengan seringaian kecil. Aku merasa ada hal yang berbeda dari Permana malam ini, dan itu terbukti saat ia mencium bibirku. Aku memejamkan mata. Dan semua ingatan yang terkubur jauh kembali terkuak. Permana adalah priaku. Dia yang menggodaku untuk terjun ke sungai tanpa takut kenyataan bahwa aku tak bisa berenang. Dia yang membuatku bernapas. Dialah sepasang mata yang ada didasar sungai saat itu. Dia...Permanaku.

Napasku tercekik. Aku bisa merasakan ada yang menghilang dari dalam tubuhku. Sebelum kehilangan kesadaran aku membuka mataku. Pria ini, yang kini sedang menciumku, bukanlah Permana yang bertemu denganku hari-hari sebelumnya, ia bukan Permanaku. Ia tak memakai kuncir rambutku di tangannya.

Jalannya licin.

Tanpa bulan.

Ini semua salahku.

Ia sudah melarangku datang hari ini.

Papa, Mama.

Permana. Maaf. Tapi aku bersyukur bisa menepati janjiku.

***

Hendra menggeram kesal. Ia teledor malam itu. Putrinya kini menghilang. Adiknya Hajar masih mencari Indah. Mereka bersama beberapa warga menyisir sungai untuk menemukan –setidaknya- jasad Indah. “Pak Cik! Pak Cik!” teriak Arya, “Ada buaya di rumah dekat Mang Dolah!”

Hendra naik pitam, “Kita mencari putriku! Bukan buaya!” bentaknya.

“Sabar Kak, kita lihat dulu sebentar,” kata Hajar tenang, jika yang berucap bukan adiknya, Hendra tak sudi menurut. Mereka pergi ke tempat buaya yang sedang mengamuk, seolah berusaha agar tak ada yang bisa maju sedikitpun.

Semua menyingkir saat Hajar datang. Ia dan buaya itu saling menatap sesaat. Tak lama, buaya itu menjauh dan menceburkan dirinya ke sungai. Beberapa warga berbalik. Tapi Hajar tetap berdiri di tempatnya. Hingga jasad itu mengapung, muncul dari tempat buaya itu tercebur.

“Indah!” bisik Hendra pias.

-the end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar