Follow

Selasa, 14 November 2017

Jodoh Pilihan Mama - Karya Sri Marflowers

Mardova membanting pagar, menutup telinga rapat-rapat. High heels sebelah kanan melayang ke depan beberapa meter seiring tubuhnya memasuki rumah. Ponsel touchscreen dalam genggaman lagi-lagi berdering. Kesal, ia menanggalkan sebelah sepatu yang tersisa, melempar tepat mengenai daun pintu.

“Mardova!” teriak Ibunya, delapan oktaf. Telinga Mardova berdesing. Ternyata, tidak cukup meneror putrinya dengan desakan ‘cepat pulang’, wanita berusia empat puluh tujuh tahun tersebut juga menjelma menjadi satpam rumah, menunggu kepulangan Mardova dengan berkacak pinggang.

“Sudah Mama bilang ribuan kali, anak perempuan tidak boleh seperti itu!”

Hanya ringisan kecil yang terlihat, diikuti tapak beratnya masuk ke rumah, menyandarkan diri di sofa. “Mama tahu tidak? Mama sudah menelpon Mar sepanjang hari. Itu mengganggu, Ma.”

“Lantas, kenapa kamu tidak menjawab?”

“Mar kerja, Ma. Mama mau Mar dipecat?”

“Kantor itu milik Paman-mu, Mar. Jangan mengada-ada.”

Mar menarik napas, memijit-mijit pangkal kaki yang terasa ngilu. Jam dinding berdetak sembilan kali.

“Berapa umurmu sekarang, Mar?”

“Dua lima, Ma, dua lima. Masa’ punya anak sebiji saja lupa umurnya,” rungut Mar, semakin gemas menghadapi wanita paruh baya di sampingnya.

“Baca ini!” perintah Ibunya. Meletakkan selembar kertas putih di pangkuan Mar. “Isi dan ikuti kompetisi itu.”

“Sebentar-sebentar,” jeda Mar, “kompetisi apa ini, Ma?” tanyanya, tak yakin dengan apa yang baru dibaca. Mardova melihat wajah Ibunya dengan seksama. Sama sekali serius, membuatnya merinding. “Jangan bercanda, Ma ...,” lirihnya, kaku, menelan air liur dengan paksaan.

“Mama tidak bercanda, Mar!”

“....”

***

Dua minggu semenjak beredarnya kabar bahwa ‘pria kaya’ mencari istri itu terdengar, seluruh sudut kota gempar. Topan menjadi buah bibir, topik hangat perbincangan berbagai kalangan. Mardova hanya pernah melihat Topan dari tv, tanpa kacamata pembesar pun—bisa dipastikan—pria tersebut sangat amat tampan. Terlahir dari keluarga kaya dengan Ayah yang memiliki jaringan terbesar bisnis properti, dan Ibu pembisnis berlian. Lantas Topan? Pria itu mewarisi sifat orangtuanya dalam mencari uang, menciptakan lapangan pekerjaan dengan kepintaran menjadi desainer ternama.

“Ma... dengar! Sekarang kulit manggis saja sudah ada ekstraknya, masa’ jodoh-jodohan lebay kayak gini masih berlaku?” geramnya, sakit hati. “Lagi pula, Topan kurang apa, sih? Cari istri kok pasang iklan di mana-mana. Dipikir zaman kerajaan!”

“Bukan dia yang menginginkan ini, Mar, tapi Ibunya.”

“Siapa pun itu, Ma. Please ... Mar nggak mau!” rengeknya, melihatkan wajah memelas.

“Kau harus mau!”

***

Mardova memasukkan empat pakaian ke dalam ransel cokelat, mendesak-desakkan dengan keperluan yang lain. Dia tidak perlu mencoba satu persatu baju itu seperti yang sering disiarkan di dalam sinetron, atau melototkan mata memastikan gaun mana yang paling cantik untuk digunakan. 
Hanya satu minggu, Mar, dan semuanya akan berakhir! Hiburnya sendiri.

Kata Ibu-nya, peserta yang ikut memperebutkan kemenangan—kecuali Mardova—menginap selama tujuh hari di sebuah Villa. Karantina elegan sebutannya. Hal tersebut memang menjadi kewajiban bagi mereka yang ingin diperistri Topan. Cih!

Tak habis pikir. Untuk urusan ekonomi, keluarga mereka sudah memiliki apa yang diinginkan—jauh dari kata kurang. Mardova bergaul baik dengan semua orang, pekerjaan juga bagus. Lantas wajah? Wanita dengan tinggi seratus tujuh puluh empat itu punya tulang pipi tirus, bibir mungil, mata bulat, dan rambut yang selalu diikat ke belakang, menyerupai ekor kuda. Tomboy memang, namun tetap saja sebutan ‘cantik’ sering terdengar di telinga. Hanya saja ... yah ... ini pasti karena statusnya yang belum menikah. Lagi-lagi.

***

Mirip di negeri dongeng. Villa mewah yang kini ditempati oleh tujuh puluh tiga wanita—termasuk Mardova—terlihat menakjubkan. Pohon rimbun mengelilingi bangunan megah tersebut, kolam renang memanggil-manggil siapa saja yang korneanya bertubrukan ke arahnya.

Mardova mendapat kamar di lantai bawah, kamar raksasa yang membuatnya melemparkan koper sesuka hati. “Tenanglah... seminggu bukan waktu yang panjang, kok.” Hela napas Mardova teratur, memandang keadaan sekeliling.

Memiliki kebiasaan susah beradaptasi dengan lingkungan baru, tak ayal matanya belum juga bisa terpulas lemas di saat jarum pendek jam mengarah pada angka satu dini hari. Dengan kesal, dia membanting guling ke sisi kamar, beranjak dari atas kasur dan membuka pintu. Angin kencang membelai rambut yang tergerai, membuat bulu kuduk Mardova merinding.

Sebuah tangan menarik kasar tubuh Mardova dari samping, membuat wanita dengan baju tidur berwarna biru laut itu sukses terseret ke sudut Villa. Mardova memberontak, namun nihil. Erangan yang keluar dari mulut bahkan tidak bisa di dengarnya dengan jelas. Tangan itu terlalu perkasa membekap mulutnya.

“Tenanglah ...,” pinta suara yang diyakini Mardova milik seorang pria. “Aku bukan orang jahat.” Kemudian dia mengendorkan bekapan tangan dari mulut Mardova. “Auuu ...,” erangnya menahan sakit, setelah sukses gigi taring Mardova melekat di sisi telapak tangannya.

“Siapa kau?”

“Sudah kubilang diam!”

“Aku tidak mau!”

“Dan kau akan tertangkap basah sudah melanggar aturan di Villa ini. Ingat, tidak ada yang boleh keluar dari kamar sebelum pukul enam pagi. Kau akan terdiskualifikasi jika mereka tahu tindakkanmu sekarang.”

“Kau pikir aku peduli? Aku akan menjerit senang jika hal itu terjadi!”

“Dan harus membayar denda puluhan juta!”

“Aku punya tabungan untuk itu!”

“Kau kehilangan kesempatan diperistri pria kaya tampan!”
“Aku tak membutuhkannya.”

Hening... pria di hadapan Mardova terdiam, melihat inci demi inci pemilik wajah yang sedang bersitegang dengannya. Mardova memicing mata, memperhatikan alis pria tersebut saling bertautan, membuatnya semakin terlihat gagah. Mardova menggigit bibir, manakala angin kencang kembali mengelus tubuhnya.

“Lantas apa yang membuatmu ke sini?” pria dengan jaket hitam tersebut akhirnya kembali bersuara. “Kupikir kau seperti wanita kebanyakan.” Vonisnya.

“Apa aku wajib menjawab?”

Pria tersebut menggeleng, membuka jaket dan merapatkannnya ke tubuh Mardova. “Masuklah. Aku tidak mau kau demam.”

Beberapa detik berlalu, Mardova hanya melihat punggung pria tersebut semakin menjauh, menghilang dalam pekat malam.

***

Pelan namun pasti, Mardova membuka pintu kamar, menyeret langkah seringan mungkin. Tapak demi tapak pendek membawa Mardova di sudut ruangan, di mana malam kemarin bertemu dengan sesosok yang entah mengapa terus menari di pikirannya. Mardova mendongak, menyaksikan cuaca pukul dua belas malam di Villa megah tersebut. Beberapa menit berlalu, tidak ada tanda-tanda seseorang akan datang. Perasaan aneh hinggap. Wanita bermata bulat itu kecewa.

Bukan hanya malam kedua, Mardova terus mendapati diri terjaga di atas tengah malam, keluar dari dalam kamar dan menghabiskan waktu melihat bintang dari sudut Villa—berharap pria itu datang lebih tepatnya. Besok adalah hari di mana dia dan wanita-wanita yang lain akan bertemu dengan Topan, itu juga berarti dia tidak akan pernah lagi mempunyai kesempatan bertemu dengan sesosok pria misterius yang belakangan ini terus menghantui kerja otaknya.

“Kau menungguku?” kaget sebuah suara, membuat Mardova tersentak.

“Tidak,” sangkalnya.

“Bohong! Aku melihat kau setiap malam ke sini.” Gigi putihnya terlihat jelas, membuat Mardova merona. Tertangkap basah.
“Bagaimana jika malam ini kau kuculik?”

Mardova mengernyitkan dahi. Ide gila tersebut entah mengapa membuat ulu hatinya berbunga-bunga. Oh Tuhan ... baru kali ini ada orang yang bahagia ingin diculik.

“Lakukan jika kau bisa.”

Tidak ... ini tidak benar! Kenapa Mardova malah menantang hal gila tersebut? Ke mana urat malunya? Ke mana sikap cueknya selama ini?

Tanpa menunggu aba-aba, dengan gesit pria tersebut menarik pergelangan tangan Mardova, menuntuntun mengendap-endap di bawah pohon cemara yang tumbuh subur sepanjang jalan ke luar Villa. Tidak ada perlawanan sama sekali dari pihak Mardova. Memalukan!

Tampak beberapa penjaga yang ditugaskan di luar Villa, sedang bercengkerama menggunakan baju berwarna hitam. Entah keahlian dari mana, pria miterius tersebut sama sekali tidak kesuliatan membawa Mardova keluar dari Villa, mereka kini duduk anggun di dalam mobil .

“Aku Desmond,” katanya, memperkenalkan diri.

“Desmond ... Desmond ... maksudmu?” Mardova tidak asing dengan nama yang disebutkan. Bisa dipastikan bahwa nama itu milik...

“Ya! Aku Kakak Topan,” akunya, tersenyum. “Kau tahu aku?”

“Sedikit,” jawab Mardova, jujur. “Lantas?” Mardova bingung sendiri dengan apa yang dialaminya. Dia tahu Topan memiliki Kakak tertua yang juga belum menikah, tapi sama sekali—lebih tepatnya—jarang terlihat di media.

“Aku tidak mau kau terpilih oleh Topan di acara besok.”

Mardova tertawa lepas, “Jangan bercanda. Bahkan untuk ukuran style saja, aku jauh di bawah rata-rata wanita pilihan Topan.” Mardova ingat betul bahwa gelar ‘tomboy’ masih melekat di dirinya.

“Topan gay. Dia menyukai wanita sejenismu.” Ungkap pria tersebut, tanpa ragu-ragu.

“Apa?”

“Itu alasan kenapa Mama memintanya untuk segera menikah, dan ... memutuskan mengadakan acara perjodohan ini.”

“Jadi? Kau menculikku karena alasan ini?”

“Salah satunya,”

“Berarti ada yang lain?”

“Karena aku menyukaimu,” akunya, tanpa basa-basi.
Rupanya, Desmond penganut paham tembak langsung.

‘Mama ... aku hanya perlu menikah, kan? Meski itu bukan dengan Topan?’ Mardova bergumam dalam hati, menyemburkan kembali semeraut merah di wajahnya.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar