Follow

Rabu, 15 November 2017

Boneka Lilin - Karya Wulan Dadi

Aku menatap puluhan lilin yang mulai padam. Untuk kesekian kalinya, aku menarik nafas berat, berharap semuanya tak terasa begitu menyakitkan.

Semilir angin malam memainkan dekorasiku. Rancangan spesial untuk dia yang paling istimewa.

Hari ini adalah hari kelahiran Ariana, wanita yang sudah menyita waktu dan pikiranku selama 5 tahun belakangan ini.

Aku sangat mensyukuri adanya hari ini, karna tanpa hari ini, aku tak akan bertemu dengan dia. Wanita pujaanku.

Ariana Septiani, cantik, manis, ramah, namun sangat tegas dan berpendirian. Meski aku tau betul, di balik sosoknya yang terlihat tegar dan kuat, dia tetaplah perempuan rapuh, dan membutuhkan perlindungan. Hal itu lah yang membuat aku tak bisa melepaskan pandangan dari sosoknya.

Awalnya, tak ada yang spesial darinya, pertemuan kami pun hanya biasa saja. Kami menjadi dekat karna berada di sekolah yang sama, di SMA.

Kucing, yah... yang membuat aku dekat dengan Ariana adalah seekor kucing. Aku pernah memergokinya sedang hujan-hujanan, dengan seragam yang basah kuyup dan menerawang, sementara payung yang dibawanya di biarkan tergeletak begitu saja di tanah.

Iba melihat dia yang menggigil dengan bibir pucat, aku menepikan motorku, dan menghampirinya.

"Ngapain, kamu? Kok hujan-hujanan? Payungnya kenapa?" aku menodongnya dengan setengah berteriak, agar suaraku tak tertelan derasnya hujan.

Ariana hanya diam, mengundang tanya di benakku. Dia menarikku dan memperlihatkan seekor kucing kecil yang di tutup di balik payungnya.

"Kamu mau meliharanya?" dia menatapku penuh harap, aku hanya terdiam, menimbang-nimbang sebelum memutuskan.

"Naik dulu! Nanti kau sakit, kita ke rumahku!" aku menarik Ariana spontan, tapi dia mengibas tanganku.

Kutatap dia dengan tajam, tak terima jika niat baikku di tolak. Namun, nyatanya Ariana mengambil karton berisi kucing itu, dan tetap memayunginya, tak peduli dengan tubuhnya yang basah, dan sudah memutih, pucat.

Aku tersenyum kecil, sembari menghidupkan sepeda motor, dan membawa kami melaju menuju kediamanku.

***

Bi Lela menghidangkan kami coklat panas, lengkap dengan beberapa jenis roti yang menghiasi. Setelah mengganti pakaian dan mengeringkan badan, aku menghampiri Ariana yang masih kuyup dan bermain dengan kucing putih yang di bawanya.

Kuserahkan sepotong baju dan celana padanya, dia menolakku halus.

"Pake aja, kamu udah basah kuyup begitu, kalo nggak di ganti bajunya pasti besok sakit."
Ariana menggeleng pelan.

"Ini cukup, kok." Dia memamerkan handuk yang di berikan Bi Lela.

"Kamar mandinya di sebelah sana, kamu harus ganti baju. Atau aku akan dapat tontonan gratis."

Wajah Ariana memerah seketika, dia menyambar pakaian di tanganku dan berlari kecil menuju kamar mandi, membuatku kesulitan untuk menahan tawa, melihat tingkahnya.

Aku mengambil pengering rambut dari kamar Shashy, adik sepupuku yang juga tinggal di rumahku, dia duduk di kelas 3 SMP waktu itu.

Dan detik berikutnya, aku sudah sibuk mengeringkan bulu kucing itu.

Tak lama, kulihat Ariana memasuki ruangan dengan malu. Kemudian aku tergelak saat mengetahui penyebabnya.

Baju yang kuberikan sangat pendek baginya, hingga pusarnya mengintip. Dan celana yang biasanya menutupi lutut, saat dipakai Shasy, sekarang berada di atas lutut, hingga sedikit memamerkan paha Ariana yang tampak putih dan terawat.

"Aku mengerti!" ucapku dengan ceringai, meninggalkan ruang tamu itu dan menuju kamar. Kuambil baju kausku dan celanaku. Kemudian kembali menghampiri Ariana.

"Aku lupa, ternyata kau jauh lebih tinggi dari sepupuku."

Ariana tersenyum, sangat memikat. Sebelum menyambar bajuku, dan mengenakannya.

Saat Ariana kembali muncul dengan kausku. Aku kembali terkekeh, karna baju itu terlihat kedodoran di tubuh ramping milik Ariana, namun lebih baik daripada memamerkan pusar.

"Kenapa celananya nggak diganti, juga?" tanyaku saat tawa mulai mereda.

"Nggak usah, ini aja. Maaf merepotkan."
Ariana menaruh celana itu di atas sofa. Perhatiannya pun kembali teralih pada kucing putih yang ada di gendonganku.

Dia mengambil kucing itu, seraya membelainya lembut.

"Makasi ya. Hhhmmm nama kamu siapa, ya? Aku lupa."

Aku tertegun melihat Ariana yang tersipu malu.
Kemudian tawaku pecah,
"Kamu mau ikut denganku, tapi tak tau namaku? Hahahaaa..."

Ariana hanya tertunduk malu.
"Aku tau kamu, karna banyak anak perempuan yang membicarakanmu. Hanya saja aku lupa, siapa namamu."

Aku memandang Ariana penuh selidik.

"Oke, ku akui. Aku tak tertarik saat mereka membicarakanmu. Atau cowok lain." Tambahnya menjelaskan.

"Hahhahahaaa kau bahkan tak sadar, bahwa kita berada di organisasi yang sama." Ujarku yang membuat warna merah, makin tergambar di wajah gadis itu.

"Aku Randy, Randy Dwi Sanjaya . Dan kamu Ariana, Ariana Septiani." Ucapku, berkonsentrasi dengan coklat panas yang mulai mendingin.

"Kamu tau nama lengkapku?" dia tampak takjub, padahal menurutku, bukan sesuatu yang aneh, jika aku hafal namanya. Karna aku adalah seniornya, dan sudah 1 minggu bernaung di organisasi yang lebih di dominasi dengan perkenalan.
OBSESI adalah singkatan dari Organisasi Bidang Seni dan Sastra Indonesia, sebuah organisasi pecahan dari OSIS yang ditugaskan mengurus segala yang berhubungan dengan seni dan satra, disanalah aku tau nama lengkap Ariana, dari data para anggota tentunya.

"Maaf Randy, aku agak kesulitan menghafal wajah orang, kecuali mereka yang benar dekat denganku." Ariana terlihat makin malu, wajahnya sudah semerah tomat sekarang.
Aku hanya tersenyum paham.

'Ada berapa banyak kepribadian unik, yang di miliki gadis ini?' Batinku penasaran.

"Randy, mungkin dalam 3 jam terakhir ini, aku sudah merepotkanmu. Tapi, maukah kau merawat kucing putih ini untukku?" Ariana bertanya ragu-ragu.

Jujur, aku enggan memenuhi permintaannya.

"Kenapa tak pelihara sendiri? Kamu terlihat lebih menginginkannya?"

"Aku gak bisa, karna sekarang ini aku tinggal di apartemen dengan tanteku. Di sana, kami gak diperbolehkan memlihara binatang." Jelas tergambar raut kecewa di wajah itu, tanpa pikir panjang aku menerima tawaran Ariana. Membuat gadis berambut panjang itu, menghambur ke pelukanku spontan.

"Ups, maaf... Dan, terimakasih."

Aku hanya mengangguk geli, menyaksikan Ariana yang salah tingkah waktu itu.

Peristiwa itu, masih tergambar jelas di memory otakku. Kembali terputar bagai film dokumenter, menampilkan potongan adengan yang sangat jelas.

'Meeeoooww'

Suara si putih membawaku kembali kedunia nyata, si kecil yang kurus itu sudah berubah menjadi gendut dan kuat sekarang. Dengan manja, dia menggesekkan tubuhnya pada kakiku yang kulipat. Kuraih dia, dan kuelus lembut.

Semenjak itu, aku dan Ariana menjadi sangat dekat. Banyak waktu yang kami habiskan bersama, tak hanya di sekolah. Karna Ariana kerap bermain ke rumahku, untuk mengunjungi si putih di waktu libur.

Pribadinya yang ceria, dan semua tingkah konyolnya menarik perhatianku. Hingga aku tak keberatan dengan rumor pacaran yang beredar, membuatku sulit untuk berdekatan dengan cewek lain. Tapi, aku tak keberatan, karna Ariana sudah lebih dari cukup untukku. Walaupun sebenarnya aku tak berpacaran dengannya.

Benar saja, dia memiliki banyak kepribadian unik. Walau tak semua kisah hidupnya menyenangkan.

Orang tuanya memilih berpisah saat dia akan mengenakan seragam abu-abu.
Pertengkaran di antara mereka masih terpicu, saat pengadilan mengambil keputusan tentang hak asuh. Sehingga, Ariana lebih memilih untuk dirawat tantenya ketimbang salah satu orang tuanya.

Untuk pertama kalinya, Ariana meluapkan emosinya di hadapanku. Di sebuah rumah pohon, yang di buatkan orang tuaku saat aku kecil. Dia mengungkapkan betapa tertekan batinnya saat pertengkaran selalu mengisi harinya di rumah, hal itu mengganggu kondisi psikisnya, hingga gadis itu tak pernah percaya pada pria. Yang menjadi alasan utama, kenapa dia tak pacaran seperti kebanyakan gadis usia kami.

Aku masih ingat, saat aku menghapus air matanya perlahan, dan memeluknya. Meminjamkan dada bidangku untuk meringankan beban yang di rasakannya. Saat itu, aku berjanji di lubuk hatiku. Bahwa, aku akan selalu melindunginya, dan tak akan pernah menyakitinya sepanjang hidupku.

Tekat itu membuat Ariana menempati posisi istimewa di kerajaan hatiku.

Namun, hubungan kami merenggang. Saat dia mulai dekat dengan seseorang kakak kelas 3.
Oh ya, aku lupa memberi tahu, waktu itu aku duduk di kelas 2, dan Ariana di kelas 1 SMA.

Awalnya, aku tak keberatan atas kedekatan mereka, walau rasa risau tak terhindarkan di hatiku.

Tapi hatiku benar-benar hancur, saat dia dengan penuh keceriaan dan dengan wajah tersipu khasnya, menceritakan bawa dia dan Nico sudah menjadi sepasang kekasih.

Kurutuki kebodohanku yang tak mengaku cinta padanya, tapi meski tak ada kata yang terucap, harusnya dia mengerti betapa tiap aksinya selalu mengundang perhatianku, yang kurasa, sudah kuberi lebih dari seorang sahabat.

Itu adalah patah hati pertama yang ku alami, walau sebelumnya aku bisa dengan mudah menolak cinta yang di tawarkan banyak gadis di sekitarku. Karna, memang wajah dan kemampuanku yang cukup menyita perhatian (tak bermaksud meninggi, tapi itu pendapat orang tentang aku).

Kuakui aku berantakan saat itu. Tak hanya hati, tubuhku pun tak terurus dengan benar. Aku juga kerap absen sekolah, hanya untuk menghindari Ariana.

Tapi dengan wajah polosnya, gadis itu menemuiku dengan beruraian air mata.

"Kamu kenapa, Ran?"

Aku hanya menatap Ariana tanpa ekspresi, saat dia menemuiku yang sedang berkumpul dengan teman-temanku.

Mereka seperti mengerti, bahwa aku dan Ariana dalam kondisi tak bisa di ganggu. Maka dengan penuh kesadaran, mereka meninggalkan kami di studio musik itu, hanya berdua.

"Gak apa-apa," jawabku sembari memalingkan muka, dan kembali menghisap rokok yang kuapit di telunjuk dan jari tengah.

Ariana merebut rokok itu, mematikannya dengan amarah.

"Berhenti menghindariku! Kamu juga sudah habiskan begitu banyak benda ini!" Ariana memperhatikan sekelilingku yang penuh dengan puntung dan sisa bungkus rokok.

Aku hanya menghirup nafas berat.

"Kenapa kamu menghindari aku? Jawab Randy!"

Tak tega aku melihat air mata mulai membasahi pipinya lagi.

Aku memperbaiki posisi dudukku.
"Kurasa itu yang terbaik," ucapku mencoba terdengar se-biasa mungkin.

"Apa masalahnya? Aku tak kan mengerti jika kamu tak bicara!" Ariana tampak berada di ambang kesabarannya.

"Aku tak mengerti dengan cara pikirmu, Ran! Apa persahabatan yang selama ini kita jalin, belum bisa membuatmu terbuka padaku? Aku kecewa, Ran! Kukira, selama ini kita memang sahabat. Tapi ternyata aku tak berarti apapun bagimu!"

Aku memalingkan wajahku, hatiku teriris melihat sosok Ariana yang tampak begitu menyedihkan.

"Lihat aku, Randy!" Ariana menarik tanganku, membuat aku berpaling menatapnya.

"Masalahnya, apa? Jelaskan biar aku mengerti! Aku tau semua tak berjalan seperti biasa, baru kali ini aku melihatmu begitu terpuruk." Suara Ariana yang bergetar memancing emosiku.

"Kamu menginginkan aku lebih berantakan dari pada ini?" sinisku, sembari menarik kasar tanganku dari genggamannya.

"Kamu tau apa yang membuatku hancur? Karna kamu memilih dia! Karna kamu tak bisa rasakan betapa besar cintaku selama ini padamu! Karna kamu tak mampu melihat pengorbananku, walau sedikit saja! Aku cinta kamu! Aku mencintai Ariana Septiani, jauh sebelum kepar*t itu mengenalmu! Dan sekarang, dangan mudah dia menyita perhatianmu! Bahkan mampu merebut hatimu yang begitu tertutup untukku!" aku mulai menceracau emosi.

Ariana memelukku, mencoba menenangkan aku dengan hatinya yang kurasa juga tak tenang. Kami hanya terdiam di ruangan itu.

Hening, tanpa kata. Yang ada hanya air mata Ariana yang terus mengalir membasahi bajuku.

Aku melepas pelukan gadis itu, kuusap lembut air matanya, dan tersenyum kecut, menyadari kenyataan, bahwa aku sudah melanggar janjiku untuk tidak menyakitinya.

"Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan hatiku, dan setelah itu, kupastikan semua akan kembali seperti sedia kala. Aku tak akan mengganggu hubunganmu dengan Nico, dan aku juga tak akan pernah meninggalkanmu."

Terukir senyuman dari bibir mungil itu, ingin rasanya aku mengecupnya. Tapi aku tak cukup gila untuk menyakitinya lagi. Jadi aku hanya bisa diam, dan menggigit bibir bawahku.

"Aku tak bisa tanpamu, Ran! Aku mencintaimu, lebih dari pada Nico." Ariana berbicara seraya sesegukan.

'Kamu hanya perlu meniggalkannya, 'kan? Dan pilih aku!' ujarku tercekat di tenggorokan. Karna aku yakin, dia pasti menguras lagi air matanya, jika aku ucapkan itu.

"Aku mencitaimu sebagai sahabatku! Dan itu jauh lebih dasyat dari pada cinta untuk kekasih. Mengertilah, aku juga berantakan tanpamu." Ariana, lebih terdengar seperti merintih.

Kutarik dia kembali ke pelukanku, dan kuusap rambut panjangnya lembut.

"Maaf," lirihku, nyaris tanpa suara.

***

Dering ponsel pertanda sms mengagetkan lamunanku, kuturunkan si putih dari pangkuanku seraya meraih Blackberry itu tanpa semangat.

'Aku agak terlambat, Randy! Nico tiba-tiba muncul dan memaksaku untuk mengikutinya ke suatu tempat, hanya sebentar. Dan kupastikan, aku berada di atap sekolah sebelum kau menyadarinya.'

_Ariana_

Begitu yang tertera di layar ponselku. Sudah kuduga, Nico lah yang menjadi alasan keterlambatannya.

Kulirik jam tanganku, yang menunjukkan jam 9 malam.

Nafas berat kembali memenuhi ruang paru-paruku. Berkhayal bahwa ini tak begitu menyakitkan, seraya merebahkan badanku dan berbaring di atap yang terasa dingin itu.

Sudah lama aku harus memendam rasa sakit, tiap kali melihat senyum ceria Ariana tak lagi tertuju untukku seorang. Itu pula yang membuatku dapat melakukan hal gila, yaitu mengirim Nico ke rumah sakit dan mendapat perawatan selama seminggu.

Aku sungguh tak bisa terima, saat menyaksikan air mata Ariana tumpah karna bajing*n itu. Meski Ariana menyembunyikan semuanya padaku, aku mengetahui bahwa ternyata Nico menghianatinya dengan bersama wanita lain.

Kontan saja, darahku mendidih hingga kepala. Tanpa pikir lagi, aku menemui Nico yang waktu itu tengah melakukan observasi karya tulisnya.

Tak terhitung banyak pukulan dan tendangan yang kulayangkan padanya, mungkin jika tak ada Ariana yang melindungi cicunguk itu, aku pasti sudah mengirimnya ke neraka. Harga yang pantas untuk penghianatannya, kurasa.

Namun Ariana tak begitu, dia memaafkan Nico. Walau dia pura-pura tak peduli pada cicunguk itu. Tapi aku tau, Ariana selalu curi kesempatan untuk membesuk Nico.

Bukannya aku merasa senang di atas kesedihan Ariana, tapi aku merasa dia jauh lebih membutuhkan aku di banding saat dulu. Dengan rajin kuhibur dan kumanjakan dia penuh perhatian, selalu mencoba ada saat dia butuh aku.

Walau faktanya, semua itu hanya sia-sia. Karna 1 bulan setelahnya, Ariana memilih memaafkan Nico dan kembali bersama.

Aku tersenyum hambar, menyadari betapa bodohnya aku. Apa yang kuharapkan dari semua ini? Ariana membalas cintaku? Kurasa, hingga kiamat menjemput itu tak akan kudapat.

Kulirik lagi jam tanganku, ternyata sudah jam 1 malam sekarang. Semua lilin yang kupersiapkan dari pagi itu sudah padam, dan tinggal lah aku dalam kegelapan, tanpa sedikitpun cahaya kehidupan.

Aku hanya bisa pasrah, karna memang akulah yang bodoh untuk menunggunya di sini. Berharap dia akan merayakan hari kelahirannya hanya denganku, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Tapi entah kenapa, Arianaku makin menjauh sekarang. Jurang pembatas antara kami sudah melebar, jauh dari apa yang kuperkirakan.

Aku menggendong si putih yang sudah terlelap sembari tersenyum, mengejek diriku yang pecundang.

"Kita pulang, semuanya sia-sia sekarang. Dia sudah bisa melupakan kita. Kau dan aku! Kau mengerti?" bagai orang idiot aku bicara dengan kucing itu, yang hanya diam tanpa menjawab ucapanku.

Entah dia ikut sedih, atau hanya ngantuk, yang jelas, dia tak akan mungkin meladeni ucapanku.

***

Paginya, aku mendapati Ariana tersenyum tanpa dosa di depan pintu kamarku.

Tak tau aku harus berucap apa dan bagaimana.

"Randy, maaf! Kemarin Nico mengajakku ke sebuah pameran, dan sudah larut malam kami meninggalkan tempat itu, jadi kupikir kamu pasti sudah pulang."

Aku hanya melihatnya datar, tak tau harus senang atau sakit hati melihat gadis ini.

"Ran, aku beli ini kemarin. Khusus untukmu... Dan ini untuk si putih, mana dia? Aku juga harus minta maaf padanya."

Senyum Ariana menusuk tepat di jantung hatiku.

Dimana sumpah serapah yang semalam ingin kusalaurkan?

Mana rasa benci itu?

Aku hanya menyunggingkan senyum, saat melihat gadis itu bermain santai dengan si putih. Tak menyadari betapa aku uring-uringan dan sakit hati karenanya.

Kubuka perlahan kotak itu, kudapati boneka lilin berupa kucing di dalamnya.

"Lucu, 'kan? Aku langsung ingin memberikannya padamu, saat melihatnya kemarin. Dan lihat, aku juga punya bel untuk si putih, agar dia terlihat lucu dan tak hilang." Ariana memasangkan sebuah lonceng yang berupa kalung pada putih.

"Harusnya kamu berterima kasih, karna kenyataannya aku selalu mengingatmu. Meskipun kamu tak mengingatku, kamu bahkan tak ingat bahwa kemarin ulang tahunku! Jangankan kado, ucapan happy birthday-pun tak kuterima darimu." Ariana memajukan bibirnya, yang terlihat menggemaskan bagiku.

'Tak tau kah dia, betapa aku mati-matian mempersiapkan semuanya kemarin? Tapi semua hanya sia-sia.' Kesalku membatin.

"Jangan bermimik seperti itu! Minta maaf kek, karna udah lupa! Kasih ucapan sama kado gitu, katanya sahabat." Ariana melemparku dengan bantal.

"Aku seperti orang bodoh, tau! Masa aku ngasih kamu kado di hari ulang tahunku? Harusnya aku dong yang di kasih kado." Ariana mulai merajuk.

Aku terkekeh melihat prilakunya, kudekati dia yang masih cemberut.

"Happy birtday, jelek! Maaf udah lupa, dan nggak bisa ngasih kado. Aku bokek!" ucapku membuat Ariana makin kesal.

Dia memukul lenganku tanpa ampun. Di sertai tawa dan canda kami.

"Randy! Kamu ngeselin!" ucapnya dengan muka merah karna marah.

Aku hanya cengengesan.
Biarlah kusimpan kesedihan, kekesalan, dan kekecewaanku semalam. Biarkan yang dia lihat di wajahku hanya sebuah senyuman.
'Mungkin aku hanya mampu menjadi sebatang lilin di hidupnya, dengan cahaya remang dan tak berarti apa-apa. Namun aku akan menjadi boneka lilin terindah, yang membiarkan tubuhnya mencair dan tersakiti untuk setitik cahaya kebahagiaan. Panggil aku idiot, karna mempertahankan rasa ini, namun suatu saat nanti aku yakin, dia pasti bisa sadari, tak ada yang mencintainya, setulus cinta yang kuberikan. Meski untuk itu, aku harus merasakan sakit, namun janjiku untuk selalu melindungi tak kan pernah kuingkari, hingga saatnya kelak. Saat aku harus padam, dan melepasnya untuk melakukan janji suci dalam sakralnya sebuah pernikahan.' Aku membatin sembari memandang bidadari yang tak akan mungkin kuraih itu, dengan penuh makna.

**The End**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar